Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengelar soft launchingPembaruan Peta Kekerasan Pengalaman Perempuan pada Senin, (15/12/2025). Pembaruan peta kekerasan ini terfokus pada kekerasan berbasis gender (KBG) ranah personal, sebagai salah satu dari tiga ranah kekerasan yang dikembangkan sebelumnya.
“Sejak publikasi peta kekerasan tahun 2002 lalu, kita melihat kekerasan terhadap perempuan semakin kompleks. Banyak sekali pola baru dalam kasus kekerasan terhadap perempuan. Dengan mengambil fokus pada ranah personal ini, kita berharap masing-masing bentuk kekerasan dapat dikenali dengan lebih baik,” ujar Chatarina Pancer Istiyani, Ketua Resource Center Komnas Perempuan.
Dalam paparannya, Chatarina menyampaikan bentuk-bentuk kekerasan di ranah personal, seperti kekerasan terhadap istri, kekerasan terhadap anak perempuan, kekerasan terhadap pacar dan serupa pacar, kekerasan mantan pasangan, dan kekerasan dalam relasi personal lainnya. “Bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan terus berevolusi mengikuti perubahan sosial dan teknologi. Pandemi dan perkembangan internet telah menunjukkan peningkatan dan perubahan pola kekerasan,” terangnya lebih lanjut.
Menanggapi hal tersebut, Dewi Novirianti, Managing Partner dan Gender Analysis Specialist N & P Law Firmmenyampaikan, Komnas Perempuan memiliki tantangan yang lebih besar dengan perkembangan situasi ini. Sebagai salah satu penulis Peta Kekerasan pada 2002 lalu, ia melihat Komnas Perempuan tetap konsisten melakukan pemetaan dengan pendekatan yang sama dari sisi korban. “Meskipun peta kekerasan ini juga membicarakan aspek hukum penanganan dan aparat penegak hukum, pemetaan yang dilakukan ini memberikan porsi yang besar untuk penyintas,” ulas Dewi.
Dengan kompleksitas situasi dan ragam kebutuhan untuk menyikapi kasus kekerasan, Dewi menyarankan Komnas Perempuan dapat menguatkan analisis dengan mencari pendekatan yang lebih inovatif. “Komnas Perempuan perlu membuat roadmap atau semacam workplan dalam memperbaiki pemetaan ini. Begitu juga lingkup pembahasannya perlu dipertajam dengan mengaitkan pengalaman penyintas, dengan regulasi-regulasi yang ada, termasuk pada soal yang wilayah hukumnya masih abu-abu,” terangnya lagi.
Hal yang sama disampaikan Khotimun Sutanti, Koordinator pelaksana Asosiasi LBH APIK Indonesia. Ia memandang, meskipun penegakan hukum sudah mengalami kemajuan sejak pertama kali pendokumentasian peta kekerasan pada 2002 lalu, penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan masih menghadapi kendala di lapangan. Ia mencontohkan masih adanya aparat penegak hukum yang tidak berperspektif korban.
“Misalnya pada soal penelantaran ekonomi oleh pasangan, terlebih lagi mereka (pasangan) kawin secara adat. Korban sering kali tidak dianggap. Saat terjadi penelantaran ekonomi, sering kali polisi tidak mau menerima karena dianggap tidak memenuhi unsur dalam KDRT,” ucap Khotimun.
Penguatan substansi pemetaan pada aspek hukum ini juga perlu diiringi dengan memastikan dukungan pemulihan dan restitusi untuk perempuan korban. Demikian disampaikan Ali Nursahid, Tenaga Ahli Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Dalam menanggapi pemetaan yang dilakukan Komnas Perempuan ini, Ali turut berharap Komnas Perempuan dapat melanjutkan pengembangan pengetahuan dengan menyusun pemetaan tentang kebutuhan penyintas, termasuk bilangan restitusi yang perlu dibayarkan untuk mengganti kerugian imateril korban.
“Saya kira rekomendasi Komnas Perempuan dapat dikembangkan untuk LPSK terkait bagaimana penghitungan restitusi untuk korban. Bagaimana menghitung kerugian materil dan imateril, yang mesti dibayarkan oleh pelaku. Bagaimana mengukur kerugian trauma delay, misalnya. Ini akan memperkuat perlindungan untuk korban,” timbal Ali.
Merespons usulan dan catatan dari para penanggap, Maria Ulfah Anshor, Ketua Komnas Perempuan yang turut hadir, menyampaikan berbagai masukan itu menjadi pekerjaan rumah yang mesti dilakukan Komnas Perempuan ke depan. Peta Kekerasan yang disusun saat ini masih perlu dilanjutkan dengan menganalisis pada ruang dan wilayah lain, seperti ranah publik dan negara.
“Komnas Perempuan memosisikan upaya penyusunan peta kekerasan ini sebagai langkah reflektif. Tidak hanya berfokus pada memperbarui data, tapi harapannya juga mampu membangun pengetahuan baru yang lebih kontekstual dengan dinamika perubahan sosial di masyarakat. Ke depan, untuk advokasi, peta kekerasan ini harapannya dapat menjadi dasar yang dapat dipertimbangkan dalam penyusunan kebijakan yang lebih berpihak pada korban,” pungkas Maria.
