Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menggelar dialog kebijakan dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk membahas situasi kekerasan terhadapperempuan di daerah pada Jumat (5/12/2025), tantangan layanan pemulihan, serta sejumlah kebijakan diskriminatif yang masih berlaku. Pertemuan diterima langsung oleh Wakil Menteri Dalam Negeri Ribka Haluk bersama jajaran Ditjen Bina Pemerintahan Desa, Ditjen Bina Pembangunan Daerah, dan Ditjen Bina Administrasi Kewilayahan. Komnas Perempuan diwakili oleh Wakil Ketua Dahlia Madanih, Komisioner Irwan Setiawan, serta unsur Badan Pekerja.
Dalam paparannya, Dahlia memaparkan tren kekerasan terhadap perempuan dalam CATAHU, yang menunjukkan tingginya kasus di Jawa Barat dan wilayah Indonesia tengah, serta rendahnya pelaporan di beberapa daerah akibat terbatasnyalayanan, minim SDM, dan belum meratanya akses pemulihan. Komnas Perempuan menyoroti hambatan struktural, mulai dari layanan korban yang belum sepenuhnya terintegrasi dalam skema BPJS, pemahaman pemerintah daerah yang belumselaras dengan UU TPKS, hingga keberadaan kebijakan diskriminatif seperti aturan pemaksaan busana dan pembatasan ruang gerak perempuan. Diskriminasi juga dialami perempuan penghayat kepercayaan dalam layanan administrasikependudukan.
Komnas Perempuan kemudian menyampaikan sejumlah rekomendasi strategis, termasuk percepatan pembentukan dan penguatan UPTD PPA dengan SOP yang sesuai UU TPKS, evaluasi regulasi daerah yang diskriminatif, serta pengarusutamaanisu kekerasan berbasis gender ke dalam siklus perencanaan dan penganggaran daerah. Komnas Perempuan juga menekankan pentingnya penyelarasan sistem pemulihan lintas kementerian—khususnya terkait hambatan layanan medis. Selain itu, Komnas Perempuan juga menekankan untuk adanya penguatan perlindungan masyarakat adat, khususnya perempuan dan pemuda adat dalam revisi Permendagri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Perlindungan dan Pengakuan Masyarakat Hukum Adat.
Dalam pertemuan ini, Komisioner Irwan Setiawan memaparkan situasi perempuan pekerja berdasarkan hasil pemantauan Komnas Perempuan. Ia menyoroti praktik penampungan PMI yang rentan terhadap kekerasan, pembatasan mobilitas, dan perlakuan tidak manusiawi, serta kerentanan perempuan pekerja rumahan yang bekerja tanpa pengakuan hukum, tanpa kontrak, dan tanpa perlindungan sosial. Irwan juga menggarisbawahi belum komprehensifnya perlindungan hak maternitas—meliputi cuti haid, melahirkan, dan keguguran—serta standar K3 yang belum inklusif gender. Komnas Perempuan mendorong Kemendagri untuk memperkuat regulasi daerah yang melindungi perempuan pekerja, termasuk replikasi kebijakan daerahyang progresif, peningkatan penganggaran daerah untuk perlindungan perempuan pekerja, serta implementasi SE 842.2/5193/SJ agar perempuan pekerja informal memiliki akses jaminan sosial ketenagakerjaan.
Menanggapi hal tersebut, Wakil Menteri Ribka Haluk menyatakan komitmen Kemendagri untuk menindaklanjuti rekomendasi yang disampaikan. Ia menegaskan pentingnya pemetaan daerah yang belum memiliki UPTD PPA, peninjauan ulangregulasi daerah yang berpotensi diskriminatif, serta penguatan koordinasi lintas kementerian terkait hambatan layanan bagi korban. Kemendagri juga menyoroti perlunya penataan struktur kelembagaan daerah dan penguatan PUG dalammekanisme penganggaran daerah, serta mengkaji ulang kebijakan terkait masyarakat hukum adat agar lebih inklusif terhadap perempuan.
Pertemuan ini menjadi langkah penting dalam memperkuat sinkronisasi kebijakan pusat–daerah, memastikan implementasi UU TPKS berjalan efektif, serta mendorong penghapusan kebijakan-kebijakan daerah yang berdampak diskriminatif bagiperempuan. Komnas Perempuan dan Kemendagri sepakat melanjutkan koordinasi untuk menindaklanjuti rekomendasi dan memperkuat komitmen bersama dalam perlindungan perempuan di seluruh wilayah Indonesia.
Pertemuan ditutup dengan penyerahan sejumlah publikasi berupa laporan pemantauan dan rekomendasi kebijakan oleh Komnas Perempuan kepada Kementerian dalam Negeri.
