Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyampaikan rekomendasi kebijakan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Badan Legislasi (Baleg) DPR RI pada Rabu (10/9/2025), terkait revisi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI). Rekomendasi tersebut disampaikan langsung oleh Ketua Komnas Perempuan, Maria Ulfah Anshor, yang menekankan pentingnya revisi RUU PPMI agar berbasis hak, inklusif, serta responsif gender.
Dalam sidang yang dipimpin oleh Martin Manurung, Komnas Perempuan menyampaikan bahwa perlindungan terhadap pekerja migran, khususnya perempuan, tidak cukup dijalankan sebatas penyesuaian administratif atas perubahan kelembagaan. Revisi ini harus menjadi momentum untuk memperkuat perlindungan yang substantif, berperspektif hak asasi manusia, serta mengakui kerentanan khas yang dialami oleh perempuan pekerja migran. Melalui Daftar Inventaris Masalah (DIM) yang disusun sebagai masukan resmi, Komnas Perempuan mendorong agar siklus migrasi pekerja, mulai dari pra-keberangkatan, masa kerja di negara tujuan, hingga reintegrasi di daerah asal, benar-benar menjamin perlindungan yang menyeluruh.
Dorongan ini didasari oleh data Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI/KPPMI) yang mencatat sebanyak 959.957 pekerja migran ditempatkan ke luar negeri sepanjang 2020–2024, dengan 70 persen di antaranya merupakan perempuan. Sebagian besar bekerja di sektor perawatan yang penuh risiko dan minim perlindungan. Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan 2017-2024 juga menunjukkan 1.389 kasus kekerasan terhadap perempuan pekerja migran, mulai dari pelanggaran hak migrasi, kekerasan terhadap pekerja rumah tangga migran, hukuman mati, hingga kematian.
Dalam forum ini, Komnas Perempuan juga menyoroti masih lemahnya pendekatan berbasis hak dalam rancangan revisi UU PPMI yang cenderung normatif dan berorientasi pada peningkatan remitansi, sehingga melonggarkan syarat penempatan dengan mengabaikan standar perlindungan. Komnas Perempuan juga menekankan bahwa perlindungan yang selama ini bersifat proteksionis melalui pembatasan negara tujuan justru melemahkan posisi pekerja migran sebagai pemegang hak. Revisi RUU PPMI, menurut Komnas Perempuan, harus bergeser pada upaya menjamin kesetaraan substantif, dengan menempatkan perempuan pekerja migran sebagai subjek yang berdaulat atas pilihan kerja dan negara tujuan, sekaligus terlindungi dari diskriminasi dan kekerasan berbasis gender.
Selain itu, Komnas Perempuan mengkritisi absennya mekanisme restitusi dalam RUU PPMI. Padahal, pekerja migran kerap mengalami kerugian materiil maupun immateriil akibat penipuan, kegagalan keberangkatan, kehilangan dokumen, maupun kekerasan. Karena itu, revisi UU ini perlu menambahkan ketentuan yang menjamin hak pekerja migran atas restitusi atau kompensasi. Komnas Perempuan juga menyoroti kembalinya dominasi Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) dalam proses penempatan, lemahnya sanksi hukum yang hanya bersifat administratif, serta ketiadaan pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi yang melakukan pelanggaran serius seperti eksploitasi, perdagangan orang, atau kekerasan berbasis gender.
Di samping itu, revisi RUU PPMI dinilai belum memperkuat sistem pengawasan yang menyeluruh, baik terhadap P3MI, Badan Layanan Umum (BLU), lembaga pelatihan, maupun mitra usaha di negara tujuan. Sistem data migrasi yang masih tersebar di berbagai lembaga tanpa integrasi juga menjadi hambatan dalam membangun pemantauan yang efektif dan berbasis bukti. Menurut Komnas Perempuan, perlu diatur kewajiban negara untuk membangun sistem data migrasi yang terintegrasi, interoperable, dan terbuka, guna mendukung pemantauan berbasis bukti dan partisipasi publik.
“Revisi UU PPMI harus menjadi instrumen untuk memastikan perempuan pekerja migran terlindungi dari diskriminasi, kekerasan berbasis gender, dan eksploitasi. Negara harus menempatkan mereka sebagai pemegang hak, bukan semata objek kebijakan,” tegas Maria Ulfah Anshor dalam forum tersebut.
Komnas Perempuan berharap revisi UU PPMI tidak hanya menjawab persoalan teknis kelembagaan, tetapi benar-benar memperkuat perlindungan terhadap pekerja migran, terutama perempuan, sebagai bagian dari komitmen Indonesia terhadap keadilan gender dan penghormatan hak asasi manusia.
Komisioner Komnas Perempuan Devi Rahayu menambahkan bahwa kebutuhan mendesak saat ini adalah pengakuan dan pengaturan secara spesifik mengenai pekerja rumah tangga migran perempuan. Menurutnya, definisi yang jelas dalam UU akan menjadi dasar bagi perlindungan hukum yang lebih kuat. Devi juga menekankan bahwa penanganan korban, yang sebagian besar perempuan, harus mengedepankan hak-hak perempuan dalam pemulihan, restitusi, dan kompensasi.
Ia juga menyinggung soal hak pekerja migran dalam menyampaikan pendapat melalui serikat pekerja serta perdebatan mengenai moratorium penempatan ke 13 negara di Timur Tengah. Menurutnya, moratorium ini ibarat dua mata pisau: di satu sisi melindungi pekerja, mengingat negara-negara tersebut tinggi akan kasus kekerasan terhadap pekerja migra, di sisi lain berpotensi membatasi hak mereka untuk bekerja. Jalan keluarnya, kata Devi, adalah melalui perjanjian bilateral dengan negara tujuan, sebagaimana diatur dalam perundang-undangan, sehingga perlindungan PMI, khususnya perempuan, bisa lebih terjamin.
Komnas Perempuan berharap revisi UU PPMI akan menghadirkan terobosan penting, terutama dengan pengakuan khusus terhadap pekerja migran perempuan, agar kerentanan yang mereka hadapi bisa diatasi melalui instrumen hukum yang lebih adil, transparan, dan berperspektif gender.