Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyelenggarakan kegiatan “Konsultasi dan Uji Coba Instrumen Pemantauan Pelaksanaan Pencegahan dan Penanganan Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS)” di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Kegiatan ini berlangsung di tiga tingkat pemerintahan di Nusa Tenggara Barat, dengan melibatkan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) di tingkat provinsi pada Senin (11/8), dan OPD Kota Mataram pada Selasa (12/8), serta perwakilan OPD Kabupaten Lombok Timur pada Kamis (14/8).
Kegiatan ini merupakan tindak lanjut amanat Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang mengharuskan pemerintah melakukan koordinasi dan pemantauan lintas sektor dalam pencegahan dan penanganan korban kekerasan seksual. UU TPKS juga memandatkan kepada Komnas Perempuan sebagai salah satu Lembaga HAM RI untuk melakukan pemantauan pencegahan dan penanganan TPKS (Pasal 83). Adapun pelaksanaan koordinasi dan pemantauan ini diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2024 yang menegaskan peran Menteri, Komnas Perempuan, Komnas HAM, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Komisi Nasional Disabilitas (KND), dan masyarakat dalam proses pemantauan.
Instrumen pemantauan yang diujicobakan saat ini, disusun oleh Komnas Perempuan sejak 2024 sebagai alat bantu sistematis untuk mengumpulkan, menganalisis, dan mengevaluasi data terkait pencegahan dan penanganan korban TPKS. Uji coba di NTB ini bertujuan memastikan instrumen tersebut relevan secara kontekstual dan mampu mendorong perlindungan, pemenuhan, serta penghormatan hak-hak perempuan oleh negara maupun masyarakat.
Wakil Ketua Komnas Perempuan, Ratna Batara Munti, mengungkapkan alasan dipilihnya NTB sebagai lokasi uji coba.
“Berdasarkan Sinergi Database Kekerasan Terhadap Perempuan 2023 yang disusun Komnas Perempuan bersama KemenPPPA dan Forum Pengada Layanan (FPL), tercatat sebanyak 1.000 perempuan menjadi korban kekerasan di NTB selama tahun tersebut. Meski data ini bersifat agregat tingkat provinsi, angka ini menjadi indikator penting untuk memahami situasi di wilayah-wilayah dalam provinsi tersebut, termasuk Lombok Timur sebagai wilayah dengan jumlah paling banyak di provinsi NTB,” ujar Ratna.
Sebagai gambaran lebih luas, data Komnas Perempuan tahun 2024 mencatat total 56.185 bentuk kasus kekerasan terhadap perempuan di tahap pelaporan yang dihimpun dari pengaduan ke Komnas Perempuan dan lembaga mitra. Dari jumlah tersebut, 36,43% atau 20.471 kasus adalah kekerasan seksual, 26,94% atau 15.139 kasus kekerasan psikis, 26,78% atau 15.044 kasus kekerasan fisik, dan 9,84% atau 5.531 kasus kekerasan ekonomi. Angka ini menunjukkan bahwa kekerasan seksual masih menjadi bentuk kekerasan yang paling banyak dialami perempuan, sehingga diperlukan langkah-langkah pencegahan dan penanganan yang lebih efektif di seluruh daerah.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (P3AP2KB) Provinsi NTB, Surya Bahari, dalam sambutannya di awal kegiatan menegaskan bahwa situasi di NTB saat ini sudah masuk kategori darurat kekerasan seksual dan pernikahan anak.
“Salah satu faktor pemicunya adalah masih kuatnya budaya kawin lari di NTB. Tradisi ini kerap dimanfaatkan untuk melegitimasi perkawinan anak, yang pada gilirannya memperbesar risiko kekerasan seksual dan pelanggaran hak-hak perempuan,” tegas Surya.
Melalui konsultasi dan uji coba ini, Komnas Perempuan berharap adanya penyempurnaan instrumen sebelum diterapkan secara nasional, sehingga pemantauan pelaksanaan pencegahan dan penanganan korban TPKS dapat lebih efektif dan berdampak langsung bagi perlindungan perempuan di seluruh Indonesia.