Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menggelar peluncuran hasil Pengembangan Pengetahuan tentang Penanganan dan Pemulihan Korban Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) dalam Kerangka Sistem Peradilan Pidana Terpadu-Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (SPPT-PKKTP), Selasa (18/11/2025). Pengembangan pengetahuan ini terfokus pada situasi di wilayah terpencil dan kepulauan, yang merupakan wilayah paling rentan untuk mengakses penanganan KBGO. Diskusi dilaksanakan secara daring, dengan para penanggap dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Kementerian Informasi dan Digital (Komdigi), dan SafeNet.
Dalam sambutan pembukaan, Wakil Ketua Komnas Perempuan, Dahlia Madanih, menyampaikan bahwa pengembangan pengetahuan ini dilakukan sebagai respons atas semakin tingginya laporan KBGO ke Komnas Perempuan. “Dalam CATAHU 2025, laporan KBGO meningkat sebesar 40,8 persen dari laporan tahun sebelumnya. Interaksi warga yang semakin intens di ruang digital memicu dapat berpotensi meningkatkan kekerasan, terlebih lagi kebijakan dan hukum penanganan KBGO, dengan segala bentuknya, masih terpencar-pencar dalam beberapa peraturan,” ungkap Dahlia.
Ketua Resource Center Komnas Perempuan, Chatarina Pancer Istiyani menekankan dalam paparannya bahwa peningkatan laporan KBGO menuntut perhatian lebih lanjut pada wilayah-wilayah terpencil dan kepulauan. Meskipun laporan KBGO dari provinsi dengan karakter kepulauan lebih kecil dibandingkan provinsi lainnya, Chatarina menyampaikan faktor akses dan kesulitan pendampingan sangat mempengaruhi. “Di wilayah terpencil dan kepulauan, korban sulit mengakses layanan, baik hukum maupun psikolog. Banyak layanan masih terpusat di kota-kota ataupun pusat kabupaten. Itu pun dengan jumlah SDM yang terbatas sekali,” ungkapnya.
Perencana Ahli Muda Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan Pekerja dan Tindak Pidana Perdagangan Orang Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Mega Yolanda, mengamini tantangan tersebut. Ia mengakui penyebaran UPTD PPA di setiap kabupaten dan kota masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah daerah. Pada daerah-daerah terpencil dan kepulauan, dengan keterbatasan akses dan infrastruktur, perempuan korban lebih sulit menjangkau layanan. “Terkadang korban harus melewati sungai. Situasi ini bisa ditangani dengan misalnya, membentuk satu desa satu satgas (satuan tugas) perlindungan perempuan dan anak,” timpal Mega.
Tim Pemantauan dan Incident Handler SafeNet, Nabillah Saputri juga menyoroti tantangan serupa. Selain akses layanan, di banyak daerah penanganan KBGO juga terkendala pembuktian. “Aparat penegak hukum masih minim pemahaman mengenai KBGO. Fasilitas penunjang, seperti laboratorium forensik digital, juga belum tersedia di daerah,” ungkapnya terkait tantangan pemenuhan rasa aman dan adil untuk korban.
Komitmen untuk menciptakan ruang yang aman untuk perempuan dan terlepas dari kekerasan disampaikan Ketua Tim Pengawasan dan Kepatuhan Moderasi Konten Platform Digital Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), Rajmatha Devi. Salah satunya dibuktikan dengan kebijakan denda dan hukuman administratif pada platform digital yang membiarkan konten-konten kekerasan. “Komdigi akan memberikan surat teguran. Jika tidak diindahkan, Komdigi bahkan berhak untuk memblokir platform digital tersebut,” ucapnya.
Tantangan yang disebutkan ini menguatkan perlunya sinergitas penegakan hukum dan pemulihan korban sebagaimana prinsip SPPT-PKKT. “Kolaborasi dengan para pihak, baik penegak hukum, pengada layanan, termasuk platform digital menjadi kunci agar pemenuhan keadilan untuk korban, termasuk perempuan korban di wilayah terpencil dan kepulauan, dengan tantangan dan kebutuhan spesifiknya,” tutup Chatarina.
