“Mengiringi laporan pemantauan situasi femisida di Indonesia, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) meluncurkan Kertas Kerja Pendokumentasian yang dapat digunakan para pihak dalam memilah, mencatat, dan menganalisis femisida. Kertas Kerja ini juga diharapkan dapat menjadi modal utama dalam pembangunan sistem pendataan nasional tentang femisida di Indonesia. Sesuai dengan amanat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk penghapusan kekerasan terhadap perempuan,” demikian disampaikan Ketua Resource Center Komnas Perempuan, Chatarina Pancer Istiyani.
Dalam paparannya, ia menyampaikan kertas kerja ini dapat dimanfaatkan oleh Badan Pusat Statistik Nasional (BPS), POLRI, Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA), maupun pihak lain yang bertugas dalam pendataan dan pencegahan femisida. “Simfoni PPA dan E-Managemen Penyidikan yang dimiliki kepolisian, patut dikembangkan untuk kebutuhan spesifik femisida ini,” ucapnya (24/11).
Lebih lanjut ia menyampaikan, tantangan pendokumentasian femisida terletak pada sinkronisasi dan harmonisasi basis data antarlembaga. “Belajar dari banyak negara, pencatatan femisida secara nasional akan lebih efektif jika koordinasi antarpemangku kepentingan sudah terbangun dengan baik. Sistem pendataan ini tentu akan melibatkan ahli statistik, hukum, dan teknologi informasi. Selain itu, pendataan juga mesti mengintegrasikan riwayat kekerasan berbasis gender yang dialami korban, yang menjadi ciri khas femisida itu sendiri,” terang Chatarina lagi.
Direktur Statistik Ketahanan Nasional BPS, Nurma Midayanti, mengamini hal tersebut. Ia mengatakan, saat ini belum ada data statistik resmi tentang femisida. Data pembunuhan terhadap perempuan masih bercampur dan belum dapat memperlihatkan riwayat kekerasan dan motivasi gendernya. “Variabel kunci untuk mengidentifikasi femisida, baik dari data kriminal maupun data layanan belum tersedia. Ini menjadi tantangan dalam penyusunan data femisida secara statistik. Selain itu pencatatan kasus-kasus pembunuhan terhadap perempuan juga berbeda-beda sehingga menyulitkan perbandingan dan harmonisasi,” ucap Nurma.
Tantangan tersebut juga dirasakan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Asisten Deputi Perumusan dan Koordinasi Kebijakan Bidang Perlindungan Hak Perempuan, Margareth Robin, mengatakan kementerian dan lembaga yang melakukan pendataan terkait kekerasan ataupun pembunuhan terhadap perempuan belum terintegrasi. “(Pendataan yang sinergis) ini perlu aturan khusus agar pencegahan dan penanganan bisa secara optimal dilakukan. Terlebih lagi femisida dan felisida sudah menjadi isu global,” ucapnya.
Dalam penguatan pencegahan ini juga, guna penguatan pendokumentasian, Komnas Perempuan mengembangkan lembar identifikasi risiko untuk mencegah eskalasi kekerasan menjadi femisida. Aspek-aspek utama seperti kelengkapan informasi korban, pelaku, dan pelapor menjadi bagian utama. Selain itu juga, Komnas Perempuan menganjurkan perlunya mencatat kebutuhan spesifik dan pengalaman korban saat menerima penanganan dan pemulihan.
“Layanan-layanan utama bagi korban, seperti layanan psikologis, bantuan hukum, layanan rumah aman, kesehatan fisik, dan dukungan ekonomi perlu dicatat dan diidentifikasi. Termasuk juga korban dengan kebutuhan spesifik, seperti penanganan saat keadaan hamil dan perempuan korban disabilitas. Semua ini perlu dianalisis agar pendataan nasional tentang femisida bisa dikenali dan dicegah,” ungkap Chatarina.
Kepala Program UN Women Indonesia, Dwi Yuliawati, mendukung Komnas Perempuan terlibat aktif dalam mendorong sinergitas pendataan nasional atas femisida. Ia mengingatkan pembangunan data mesti diiringi dengan kesadaran publik atas data, pendokumentasian, dan pelaporan kasus. “Data collection tidak dapat berdiri sendiri tanpa awareness, Saya rasa apa yang dilakukan oleh Komnas Perempuan, misalnya melalui CATAHU, menunjukkan kesadaran korban untuk berani melapor adalah salah satu indikasi bahwa semakin banyak orang yang percaya dengan sistem. Mereka percaya bahwa kasus akan ditindaklanjuti dengan baik. Ini menjadi faktor penentu agar ekosistem data makin kuat,” ulas Dwi.
