Komnas Perempuan melaksanakan rangkaian Konsultasi Grand Desain Penyikapan Konflik pada Selasa, (22/10/2025) di Kota Palu, Sulawesi Tengah. Konsultasi ini melibatkan pemerintah daerah yang terdiri dari Dinas Pendidikan, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Dinas Sosial, dan Bakesbangpol Provinsi Sulawesi Tengah, organisasi masyarakat sipil yang terdiri dari LiBu Perempuan, Rumah Belajar SKP-HAM Sulawesi Tengah, KPKPST, LBH APIK Sulawesi Tengah, dan Yayasan Sikola Mombine, serta akademisi dari Universitas Tadulako dan Universitas Islam Negeri Datokarama. Konsultasi ini dilaksanakan untuk memperkuat substansi pada Grand Desain Penyikapan Konflik yang akan direkomendasikan Komnas Perempuan kepada pemerintah pusat dalam menangani konflik dan membangun perdamaian berperspektif gender dan pengalaman perempuan.
Grand Desain Penyikapan Konflik disusun oleh Komnas Perempuan berdasarkan tinjau ulang (revisit) pemantauan pemenuhan hak konstitusional perempuan korban kekerasan dan diskriminasi berbagai konteks konflik di Indonesia. Dalam tinjau ulang, upaya pemulihan yang komprehensif masih sulit untuk diakses oleh perempuan korban, serta upaya membangun perdamaian yang digagas pemerintah masih bersifat parsial dan tidak berkelanjutan. Selain menjadi pihak yang paling terdampak dalam konflik, perempuan selama ini justru menjadi aktor sentral dalam meredakan konflik dan membangun perdamaian, sehingga penting untuk mengintegrasikan pengalaman dan praktik baik yang dilakukan perempuan selama ini dalam merancang peta jalan penyikapan konflik menuju perdamaian yang sungguh-sungguh dan berkelanjutan.
Untuk memperkuat substansi, proses konsultasi juga turut melibatkan penanggap yang terdiri dari Sekretaris Jenderal SKP-HAM Nurlaela Lamasitudju, pendiri Institut Mosintuwu Lian Gogali, serta Staf Ahli Gubernur Bidang SDM, Pengembangan Kawasan dan Wilayah Ihsan Basir, S.H., LLM. Nurlaela menyampaikan bahwa Grand Desain perlu mengangkat permasalahan kekosongan regulasi serta penekanan pada pilar pemulihan korban untuk memutus rantai keberulangan. Sementara Lian menekankan bahwa pendidikan perdamaian perlu mengadopsi pendidikan kritis untuk membangun kompetensi warga dalam memeriksa lapisan ekonomi politik yang erat dalam berbagai konflik berbasis identitas serta kompetensi sebagai ko-kreator demokrasi. Ihsan menyampaikan pembelajaran dari proses otokritik program pemerintah daerah dan menyimpulkan bahwa penguatan norma atau kerangka legal dapat menjadi salah satu upaya memastikan keberlanjutan dan perspektif gender tertanam dalam proses formal, selain dari penguatan dukungan berbagai pihak dalam proses non-formal.
Seluruh peserta menyampaikan sejumlah rekomendasi yang disepakati untuk Grand Desain Penyikapan Konflik seperti penekanan pentingnya dokumentasi pengalaman perempuan sebagai bagian pengakuan menuju pemulihan, penajaman pada dimensi ekonomi politik dalam analisis konflik, Center of Peace berbentuk jejaring dengan mengintegrasikan jaringan perempuan penggerak perdamaian yang sudah ada, penekanan transformasi perspektif gender bagi aparat penegak hukum, penambahan pilar ekonomi/livelihood, serta indikator berbasis dampak.
