Tiga tahun sejak Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) disahkan, implementasinya di Sulawesi Tengah masih menghadapi berbagai tantangan mendasar. Hal ini mengemuka dalam rangkaian kunjungan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dalam Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 HAKTP) Sulawesi Tengah, di Palu, 8–11 Desember 2025.
Refleksi implementasi UU TPKS menjadi fokus utama diskusi multi stakeholder yang diselenggarakan Komnas Perempuan pada 10 Desember 2025 di Palu. Forum ini menghadirkan aparat penegak hukum, organisasi masyarakat sipil, lembaga layanan, akademisi, hingga organisasi perempuan. Dari diskusi tersebut terungkap bahwa penggunaan UU TPKS dalam penanganan dan putusan perkara masih sangat terbatas, meski payung hukum nasional telah tersedia.
Komnas Perempuan melalui Dahlia Madanih, Wakil Ketua Komnas Perempuan menyatakan bahwa data kekerasan seksual sebagai salah satu persoalan krusial. Bahkan, di sejumlah kabupaten di Sulawesi Tengah tercatat nol pelaporan kasus, kondisi yang dinilai tidak mencerminkan realitas di lapangan. Rendahnya pelaporan ini berkaitan erat dengan minimnya literasi hukum, kuatnya stigma terhadap korban, serta masih dominannya penyelesaian berbasis hukum adat, termasuk untuk kasus kekerasan seksual dan perkawinan anak.
Dalam dialog dengan Polda Sulawesi Tengah sehari sebelumnya, terungkap bahwa penanganan kekerasan berbasis gender online (KBGO) masih menghadapi keterbatasan serius. Direktorat Siber Polda yang baru berdiri akhir 2024 masih berfokus pada kasus pornografi dan judi online. Sementara Chatarina Pancer, Komisioner Komnas Perempuan menekankan penanganan KBGO terhadap perempuan korban kekerasan belum menjadi prioritas utama. Selain itu, minimnya pelatihan internal terkait UU TPKS serta kendala sertifikasi penyidik PPA turut memperlambat proses penanganan.
Perbedaan perspektif antar aparat penegak hukum juga masih menjadi hambatan. Sejumlah kasus kekerasan seksual kerap ditolak atau tidak dilanjutkan dengan alasan “suka sama suka”, meski telah terdapat indikasi relasi kuasa dan kerentanan korban sebagaimana diatur dalam UU TPKS.
Meski demikian, Komnas Perempuan menegaskan bahwa kehadiran berbagai instrumen hukum nasional mulai dari UU PKDRT, UU TPPO, UU TPKS merupakan peluang strategis untuk memperkuat perlindungan perempuan di daerah. Tantangan ke depan adalah memastikan penyamaan perspektif, penguatan kapasitas aparat, serta integrasi kebijakan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual dalam perencanaan dan penganggaran daerah.
Diskusi reflektif tersebut menghasilkan rencana tindak lanjut yang menekankan penguatan sosialisasi UU TPKS hingga ke desa dan lembaga adat, penegasan larangan mediasi dalam kasus kekerasan seksual, serta pembangunan sistem layanan dan pemulihan korban yang berkelanjutan. Tiga tahun implementasi UU TPKS menjadi pengingat bahwa hukum progresif membutuhkan komitmen kolektif agar benar-benar berpihak pada korban.
