Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menerima audiensi Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual Universitas Maritim Raja Ali Haji (Satgas PPKS UMRAH) di kantor Komnas Perempuan pada Jumat, 2 Agustus 2024. Audiensi ini membahas tentang dinamika penanganan korban kekerasan keksual di kampus oleh Satgas PPKS UMRAH.
Ketua Subkomisi Partisipasi Masyarakat Komnas Perempuan, Veryanto Sitohang menyampaikan bahwa Komnas Perempuan mencatat hambatan-hambatan yang dialami oleh Satgas PPKS di beberapa kampus dalam upaya advokasi dan penanganan korban kekerasan seksual di lingkungan kampus. Hambatan bisa terjadi karena minimnya dukungan baik oleh internal kampus maupun kementerian/dinas pemerintahan daerah terkait termasuk atau aparat penegak hukum di daerah.
“Kesulitan yang seringkali terjadi adalah akses anggaran yang sangat minim, bahkan dalam beberapa kasus dalam upaya mengadvokasi korban menggunakan uang pribadi anggota Satgas. Misalnya untuk kebtuhan air minum, saja, Satgas PPKS yang mengeluarkan uang. Itu belum termasuk jika korban harus diantar untuk melapor ke kepolisian atau ke tempat konseling” tutur Veryanto.
Veryanto juga menyebutkan bahwa dalam upaya pemenuhan hak-hak korban kekerasan seksual, Satgas PPKS dapat bekerjasama dengan lembaga layanan setempat dalam melakukan pendampingan. Komnas Perempuan juga menyoroti bahwa Gubernur Kepulauan Riau telah menjamin layanan kesehatan bagi korban khususnya visum dalam Peraturan Daerah Provinsi Kepulauan Riau Nomor 1 Tahun 2024 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Ketua Satgas PPKS UMRAH, Nikodemus Nico memaparkan bahwa dalam 2 tahun Satgas telah menangani 14 kasus kekerasan seksual yang pelakunya mulai dari dosen hingga mahasiswa. Dinamika penanganan dalam kurun waktu tersebut dirasakan belum maksimal, karena Peraturan Sekjen Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 13 Tahun 2023 tentang Petunjuk Pelaksanaan Program Indonesia Pintar Pendidikan Tinggi sulit diimplementasikan di kampus.
“Kami ingin mempelajari dan berbagi informasi tentang pengalaman pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual yang belum kami miliki. Kami telah menerima pelaporan dan melakukan penanganan korban, serta menyusun rekomendasi untuk penindakan terhadap pelaku. Sejauh ini, kami masih terhambat oleh minimnya anggaran penanganan dan layanan konseling psikologis yang terbatas. Terlebih saat ini posisi kami masih Satker bukan PTN BH. Hambatan lain datang dari Kepolisian, di mana aparat penegak hukum terkadang mempertanyakan tugas dan fungsi Satgas sehingga menyulitkan proses pelaporan” ungkap Nikodemus
Ketua Tim Advokasi Internasional Komnas Perempuan, Rainy Hutabarat menegaskan kasus kekerasan seksual di Kepulauan Riau cukup tinggi. Terdapat masukan terhadap cara kerja Satgas PPKS dalam penanganan kekerasan seksual.
“Satgas PPKS kampus perlu melakukan pendataan terpilah. Ada catatan khusus di antaranya perlu adanya pendataan kasus kekerasan seksual yang meliputi jenis atau bentuk kekerasan, relasi korban dan pelaku, pola kasus yang terjadi dan hambatan. Data terpilah merupakan modalitas kampus yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi darma perguruan tinggi berupa pengembangan pengetahuan dari perempuan untuk karya ilmiah dengan memperhatikan perspektif korban. Juga kebutuhan advokasi dengan memberi masukan temuan-temuan terkait terobosan penanganan dan pecegahan. Perlu juga dicatat bagaimana sosialisasi Satgas PPKS kepada civitas dan publik yang terkait dengan kerja-kerja Satgas PKKS. Terkait hambatan, perlu dipetakan apa saja permasalahannya serta dipikirkan strategi untuk mengatasinya. Satgas dapat memetakan serta membuat modal sosial terkait sumber daya manusia kampus untuk pendampingan korban seperti psikolog, konsultasi hukum misalnya dari para alumni kampus. Kerja-kerja Satgas PPKS juga perlu diapresiasi dan didukung, alangkah baiknya kampus dapat memberikan semacam penghargaan yang dapat mendukung karir atau promosi jabatan. Meski sumber daya terbatas, sistem pengkaderan juga perlu dibangun berkesinambungan,” kata Rainy.
Nikodemus mengamini pernyataan tersebut, selama dua tahun masa kerja refleksi menjadi penting untuk penguatan kepada Satgas PPKS, terutama sebagai pembelajaran bagi anggota Satgas PPKS selanjutnya. Terlebih periode Satgas akan berakhir dan berganti pada September 2024.
Menanggapi pergantian Satgas PPKS, Komisioner Subkomisi Pendidikan, Imam Nahei, menyampaikan perlu adanya transmisi pengetahuan kepada mahasiswa atau calon Satgas PPKS berikutnya agar berkelanjutan. Selain itu, perlu dipastikan pemilihan calon Satgas agar benar-benar memiliki perspektif korban dan tidak memiliki konflik kepentingan di internal kampus.
Selain jajaran Komisioner Komnas Perempuan dan Ketua Satgas PPKS Umrah, hadir juga Badan Pekerja Komnas Perempuan yakni Siti Cotijah, Amira Hasna Ruzuar, Iis Wulandari, Amalia Anjani dan Verena Vanya, serta Anggota Satgas PKKS Umrah lainnya yakni Rumiati, Debi Yulia R. A, Almani A., Nadila Witriani, Arpan Syarif, dan Denny Elfranosa. (SC)