...
Kabar Perempuan
Komnas Perempuan Temui Ditjen PP Bahas Kriminalisasi dalam Perda dan Isu Living Law


Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyampaikan sejumlah perhatian strategis kepada Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan (Ditjen PP), Kementerian Hukum dan HAM, dalam dialog yang berlangsung di kantor Ditjen PP pada Kamis (24/7/2025). Pertemuan ini membahas peraturan daerah (perda) yang dinilai bermasalah, serta perkembangan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) terkait Living Law dalam konteks penerapan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) baru.

Komnas Perempuan diwakili oleh Wakil Ketua Komnas Perempuan merangkap Ketua Gugus Kerja Perempuan dan Kebhinekaan (GKPK), Dahlia Madanih; Komisioner RR. Sri Agustini; serta tim dari GKPK dan Divisi Reformasi Hukum dan Kebijakan (RHK). Delegasi diterima oleh Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan, Hendra, beserta jajaran.

Dalam pertemuan, Komnas Perempuan mengungkapkan kekhawatiran terhadap keberadaan 103 perda yang mengandung kriminalisasi dengan sanksi kurungan. Hal ini dinilai bertentangan dengan semangat KUHP baru yang mendorong sanksi denda dan pendekatan keadilan restoratif. Perda-perda tersebut dianggap multitafsir, memiliki rumusan yang tidak jelas, dan berpotensi tumpang tindih dengan peraturan di atasnya.

Komnas Perempuan mempertanyakan mekanisme penyelesaian perda bermasalah tersebut, dan membuka kemungkinan pendekatan dialogis dengan pemerintah daerah untuk mendorong penyesuaian regulasi.

Terkait pembaruan RPP tentang Living Law, Komnas Perempuan menyampaikan keprihatinan bahwa penerapan hukum adat dalam penanganan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan kekerasan seksual (KS) berisiko merugikan korban dan melindungi pelaku. Komnas Perempuan menekankan bahwa nilai spiritualitas dalam hukum adat tidak selalu dapat diformalkan dalam bentuk perda tanpa mengurangi makna dan nilai keadilan substantif.

Selain itu, Komnas Perempuan menyoroti masih banyak perda yang mengatur isu kohabitasi tanpa menjadikannya sebagai delik aduan, yang berpotensi bertentangan dengan KUHP baru. Komnas Perempuan juga mendorong agar RPP tentang Living Law menyertakan parameter yang jelas dan tidak membuka ruang interpretasi bebas. Komnas Perempuan mempertanyakan apakah RPP tersebut juga memuat ketentuan yang memastikan keterlibatan masyarakat sipil, termasuk komunitas adat dan akademisi, dalam proses pengakuan masyarakat adat.

Menanggapi hal tersebut, Hendra menyampaikan bahwa saat ini Ditjen PP sedang menyusun Rancangan Undang-Undang Penyesuaian Pidana. Salah satu muatannya adalah pelarangan praktik penggerebekan oleh Satuan Polisi Pamong Praja, karena hal itu merupakan kewenangan kepolisian yang harus dijalankan melalui prosedur hukum yang jelas.

Ditjen PP menegaskan bahwa KUHP baru membawa semangat keadilan restoratif yang juga menjadi acuan dalam penyusunan peraturan turunannya. Perda yang bertentangan dengan KUHP, terutama yang memuat sanksi pidana kurungan, akan dianulir atau disesuaikan. Ini termasuk perda tentang ketertiban umum yang banyak menimbulkan persoalan hukum.

Terkait Living Law, Ditjen PP menjelaskan bahwa prinsip utamanya adalah mengakomodasi nilai hukum adat sebagai bagian dari sistem hukum nasional, selama tidak bertentangan dengan KUHP dan tetap memenuhi prinsip-prinsip Pancasila, konstitusi, hak asasi manusia, dan hukum universal. Penerapannya bersifat terbatas, hanya di wilayah yang memiliki bukti keberadaan hukum adat, dan harus melalui kajian yang memadai.

RPP juga mengatur bahwa penyusunan perda berbasis Living Law harus dilakukan secara terkoordinasi dengan Ditjen PP dan melibatkan tim yang komprehensif, termasuk perwakilan masyarakat adat, akademisi, praktisi hukum, dan organisasi masyarakat sipil.

Terkait isu kohabitasi, Ditjen PP menegaskan bahwa hal tersebut merupakan delik aduan terbatas sesuai KUHP baru, sehingga tidak semestinya dikriminalisasi secara umum melalui perda. Untuk kasus kekerasan seksual, Ditjen PP menekankan bahwa tidak dapat diselesaikan melalui pendekatan hukum adat karena tergolong tindak pidana berat.

Sebagai tindak lanjut, Ditjen PP menyatakan komitmennya untuk membentuk tim khusus yang akan mengevaluasi dan mengharmonisasikan perda yang masih bertentangan dengan peraturan nasional.

Komnas Perempuan mengapresiasi keterbukaan Ditjen PP dan berharap kerja sama ini dapat memperkuat sistem hukum yang adil, akuntabel, serta berpihak pada perlindungan perempuan dan kelompok rentan lainnya.


Pertanyaan / Komentar: