...
Kabar Perempuan
Koordinasi Komnas Perempuan dengan Komnas HAM untuk Penguatan Advokasi bagi Perempuan Pekerja Rumahan dan Perempuan Terpidana Mati


Komnas Perempuan melakukan dialog dengan Komnas HAM yang langsung diwakili oleh Ibu Atnike Nova Sigiro selaku Ketua Komnas HAM dan Ibu Anies Hidayah selaku Koordinator Subkomisi Pemajuan Komnas HAM beserta jajarannya pada Kamis (9/1/2025) di Kantor Komnas HAM. Pertemuan ini merupakan bagian dari advokasi atas isu perempuan pekerja rumahan dan isu perempuan terpidana mati, serta tindak lanjut dan tanggapan Komnas HAM atas Surat Penyampaian Rekomendasi Kebijakan lewat Laporan Hasil Pemantauan dan Kertas Kebijakan yang telah dikirimkan oleh Komnas Perempuan pada Desember 2024 lalu.  

 

Sebelumnya, Komnas Perempuan telah mengirimkan Surat Penyampaian Rekomendasi Kebijakan dan Laporan Hasil Pemantauan bagi Perempuan Pekerja Rumahan dan Perempuan Terpidana Mati ke berbagai Kementerian dan Lembaga termasuk Komnas HAM. Dalam rekomendasi kebijakan ke Komnas HAM disampaikan bahwa, terhadap isu perempuan pekerja rumahan, agar Komnas HAM turut mendukung upaya advokasi perlindungan pekerja rumahan, termasuk dengan melakukan kajian-kajian terkait situasi pekerja rumahan sesuai dengan mandat dan tugas masing-masing selaku lembaga nasional HAM, memberikan perhatian pada pelaporan dan pendokumentasian dan persoalan pekerja rumahan.  Sedangkan terhadap isu perempuan terpidana mati, Komnas HAM dengan lembaga KuPP lainnnya memperkuat upaya advokasi kebijakan dan pendidikan publik untuk menghapus hukuman mati; Memperkuat program bersama dan silang sumber daya dalam pemantauan kondisi tahanan untuk menentang penyiksaan, dengan memberikan perhatian khusus pada terpidana mati.  

 

Dalam pertemuan tersebut, Komisioner Komnas Perempuan yang juga merupakan Ketua Tim Perempuan Pekerja Tiasri Wiandani menyampaikan, “Kami merasa penting untuk menyampaikan hal (surat penyampaian rekomendasi kebijakan dan laporan hasil pemantauan) ini kepada Komnas HAM, mengingat Komnas HAM memiliki konsep dalam pengawalan program-program tertentu, termasuk yang berkaitan dengan periode administrasi ke depan. Kami melihat bahwa ini dapat menjadi ruang koordinasi antara Komnas HAM dan Komnas Perempuan untuk mengeluarkan rekomendasi yang dapat dikawal bersama. Rekomendasi ini juga perlu ditindaklanjuti dalam proses administrasi, baik di tingkat peraturan undang-undang di DPR, peraturan pemerintah, maupun pemerintahan lainnya.” 

 

Komnas HAM lalu merespon dengan baik penyampaian rekomendasi dan laporan hasil pemantauan dari Komnas Perempuan, juga memberikan tanggapan atas penyampaian rekomendasi kebijakan tersebut. Ibu Anies Hidayah menanggapi penyampaian rekomendasi dan laporan hasil pemantauan perempuan pekerja rumahan. Ibu Anies mengatakan, “Jika melihat kasus PPRT, itu sudah mulai mendapatkan perhatian, ya. Isu ini memang merupakan salah satu isu yang dalam konteks ketenagakerjaan secara umum belum banyak mendapatkan dukungan dari serikat pekerja besar. Ke depan, saya rasa penting bagi Komnas Perempuan untuk mendialogkan hasil kajian ini secara lebih luas, tidak hanya dengan Komnas HAM, tetapi juga dengan organisasi perempuan di Indonesia. Dukungan advokasi dari berbagai pihak sangat diperlukan. Saya setuju dengan rekomendasi teman-teman Komnas Perempuan untuk mendorong kebijakan di tingkat internasional berupa keputusan menteri. Strategi ini juga diadopsi oleh advokasi PPRT, yaitu dimulai dari keputusan menteri, baru kemudian diajukan ke DPR untuk pengesahan undang-undang. Di tingkat daerah, perda juga dapat menjadi instrumen yang relevan. Namun, perlu diingat bahwa mendorong Rancangan Undang-Undang (RUU) membutuhkan waktu yang sangat lama. Dalam pengalaman advokasi, bahkan RUU tertentu membutuhkan waktu hingga 20 tahun untuk disahkan. Dengan demikian, saya berharap hasil kajian ini dapat menjadi alat advokasi bersama untuk mendorong kebijakan, baik di tingkat kementerian maupun perda.

 

Selain memberikan tanggapan dan dukungan, Ibu Atnike Nova Sigiro juga memberikan masukan yang kemudian dijadikan catatan untuk Komnas Perempuan. Ibu Atnike menyampaikan bahwa, “Catatan penting dari diskusi ini adalah bagaimana memastikan bahwa pelaku usaha memiliki standar HAM terkait brand atau produk yang mereka hasilkan. Selain itu, konteks perlindungan hak asasi pekerja juga dapat dikaitkan dengan konsep pertanggungjawaban bisnis dalam investasi. Pemerintah telah menyusun strategi nasional untuk bisnis dan HAM, dan hal ini dapat dimanfaatkan untuk memasukkan kebijakan yang memastikan bahwa supply chainmenghormati hak asasi manusia. Langkah ini dapat dilakukan melalui Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, serta Kementerian HAM yang kini memiliki mandat untuk memantau pelaksanaan strategi tersebut.”

 

Lebih Lanjut, terhadap isu perempuan terpidana mati, Komnas HAM menggarisbawahi terkait aspek keadilan dalam seluruh proses hukum terhadap perempuan terpidana mati. Hal ini disampaikan Ibu Anies Hidayah bahwa, “Permasalahan utamanya ada akses pada keadilan Bagaimana perempuan yang menjadi terpidana mati pada awal penanganan kasusnya dalam proses hukum, dalam tahanan, dan seterusnya yang mengalami hambatan akses, juga dalam pengetahuan, ketersediaan bantuan layanan hukum, kepekaan petugas, dan aparat negara. Mereka tidak diperhitungkan sebagai orang-orang yang dapat direhabilitasi, tidak diperhitungkan berkelakuan baiknya.”

 

Dalam pertemuan ini, Komnas Perempuan juga menyampaikan rekomendasi terhadap Rancangan Undang-Undangan Narkotika tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dalam upaya perlindungan dan pemenuhan HAM dengan Perspektif Keadilan Gender. Terkait hal ini Ibu Atnike merespon, “Stigmatisasi gender, bahwa perempuan yang tersandung kasus narkotika cenderung mendapatkan hukuman yang lebih berat daripada laki-laki. Indonesia masih melihat narkotika menjadi kejahatan yang serius dan pantas dihukum mati. Padahal, dalam kejahatan internasional, kejahatan narkotika tidak lagi dikategorikan sebagai kejahatan yang serius dan layak untuk mendapatkan hukuman mati. Nah, baru di situ nanti dihubungkan dengan perubahan KUHP, jadi dasarnya lebih kuat, jadi KUHP kita belum menghapus hukuman mati, tapi sudah melihat bahwa hukuman mati seharusnya bukan hukuman yang utama. Ini bisa menjadi dasar untuk melakukan komutasi hukuman narapidana perempuan dalam kasus apapun. Terutama dalam kasus narkotika, tadi dikatakan bahwa dalam kasus-kasus narkotika kalau para terpidana lebih sulit mendapatkan grasi atau keringanan hukuman. Kalau bisa diakses itu langsung kita kirim ke presiden. 

 

Berdasarkan itu, Komnas Perempuan bersama Komnas HAM sejalan untuk membangun koordinasi dan kerja kolaborasi serta mendialogkan strategi lanjutan yang dapat ditempuh bersama untuk membangun sistm pelindungan bagi pekerja rumahan dan perempuan terpidana mati. 

 

Dalam pertemuan ini, Komnas Perempuan diwakili oleh Komisioner Tiasri Wiandani, Badan Pekerja Fatma Susanti, dan Tenaga Ahli Rostna Qitabi Anjilna.


Pertanyaan / Komentar: