Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) bersama Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera meluncurkan studi yang menyoroti pengalaman perempuan terpidana mati di Indonesia pada peringatan 80 tahun United Nations Day (UNDAY), di Jakarta, (24/10/2025). Selain sebagai sebagai riset akademis, peluncuran kajian ini juga merupakan upaya untuk menggugah kesadaran publik dan pembuat kebijakan tentang pentingnya menjamin hak untuk hidup, sekaligus menegaskan dimensi kemanusiaan yang sering luput dalam penerapan hukuman mati.
Dalam sambutan Ketua Komnas Perempuan yang diwakili oleh Komisioner Sondang Frishka, studi ini bermula eksplorasi kasus penyiksaan terhadap perempuan yang perlu di perdalam dari Laporan Evaluasi 25 Tahun Implementasi Konvensi PBB Menentang Penyiksaan (Convention Against Torture atau CAT) yang disusun bersama enam lembaga negara yakni Komnas HAM, Komnas Perempuan, KPAI, LPSK RI, Ombudsman RI, dan KND yang tergabung dalam Kerja Sama untuk Pencegahan Penyiksaan (KuPP).
“Momentum ini bukan sekadar peluncuran kajian, tapi penegasan komitmen kemanusiaan kita bersama. Dalam peringatan 80 tahun PBB, kita diingatkan kembali pada hak yang paling mendasar yaitu hak untuk hidup. Kajian ini memotret pengalaman tiga perempuan yang menghadapi hukuman mati, sesuatu yang jarang diangkat dari perspektif gender dan hak asasi manusia.” ujar Sondang.
Studi ini menjadi yang pertama di Indonesia yang secara khusus menelusuri pengalaman perempuan dalam lingkaran hukuman mati. Pendekatannya memadukan analisis normatif dan empiris, dengan fokus pada praktik penyiksaan (torture) dan perlakuan kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat (ill-treatment). Hasilnya menyingkap sejumlah persoalan mendasar mulai dari minimnya transparansi peradilan, fenomena masa tunggu eksekusi yang berkepanjangan (death row phenomenon), serta dampak sosial dan psikologis terhadap keluarga, terutama perempuan dan anak. Kajian ini juga memuat satu bab tentang perempuan yang telah dieksekusi mati, dengan kisah yang dituturkan langsung oleh para pendamping mereka.
Direktur Jenderal Instrumen dan Penguatan HAM, Harniati, mewakili Wakil Menteri Hukum dan HAM, turut membuka peluncuran studi ini. Dalam sambutannya, ia menyampaikan apresiasi kepada Komnas Perempuan dan STHI Jentera atas upaya berkelanjutan dalam mengawal isu hak asasi perempuan, khususnya yang berkaitan dengan hukuman mati.
Harniati menegaskan komitmen pemerintah untuk terus memperkuat kebijakan berbasis hak asasi manusia, termasuk dalam perlakuan terhadap narapidana dan terpidana mati.
“Hak untuk hidup adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dan dijamin konstitusi dalam keadaan apa pun, atau dikenal sebagai non-derogable rights. Karena itu, setiap kebijakan dan praktik penegakan hukum di Indonesia harus selalu berpijak pada prinsip-prinsip dasar tersebut,” ujarnya.
Diskusi menghadirkan peneliti dari Jentera, perwakilan Lapas Kelas IIA Tangerang, serta penanggap dari Koordinator KuPP, Komnas Perempuan, Monash University Indonesia, dan Kedutaan Besar Swiss. Para narasumber memberi catatan kritis atas temuan riset sekaligus rekomendasi kebijakan untuk perbaikan sistem peradilan pidana.
Peneliti STHI Jentera, Alviani Sabillah menyoroti masih kuatnya praktik ketidakadilan dalam penegakan hukuman mati terhadap perempuan. Ia menilai, sistem hukum kerap abai terhadap situasi dan kerentanan khas yang dialami perempuan terdakwa.
“Studi ini mengungkap bahwa dalam proses peradilan, kerentanan perempuan sering kali tidak menjadi pertimbangan. Dalam salah satu kasus, seorang perempuan justru dijatuhi hukuman mati lebih berat daripada pasangannya yang laki-laki, padahal sang laki-laki merupakan pelaku utama. Kajian ini juga memuat sejumlah rekomendasi penting untuk memperbaiki situasi tersebut,” ujar Alviani.
Mendorong Kebijakan yang Humanis
Kerja sama antara Komnas Perempuan dan STHI Jentera diharapkan menjadi terjalin secara berkelanjutan untuk mendorong reformasi kebijakan yang humanis, akuntabel, dan berkeadilan gender.
“Harapannya, hasil studi ini tidak berhenti di meja seminar, tapi menjadi rujukan nyata bagi pembuat kebijakan dan masyarakat dalam memperkuat perlindungan hak-hak perempuan. Pelaksanaan hukuman mati, tegas Komnas Perempuan, harus sejalan dengan prinsip-prinsip HAM sebagaimana diatur dalam Konvensi Menentang Penyiksaan (CAT) yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU No. 5 Tahun 1998.” ujar Sondang.
Pertemuan juga Komisioner Rr. Sri Agustini, serta perwakilan Badan Pekerja Komnas Perempuan dari Gugus Kerja Perempuan Pekerja dan Partisipasi Masyarakat.
