Komnas Perempuan melanjutkan rangkaian Konsultasi dan Uji Coba Instrumen Pemantauan Pelaksanaan Pencegahan dan Penanganan Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Setelah sebelumnya digelar di sejumlah daerah, kali ini kegiatan berlangsung di Provinsi Sulawesi Tengah dan Kota Palu pada 15–16 September 2025.
Kegiatan ini dilaksanakan berdasarkan mandat Komnas Perempuan untuk melakukan pemantauan, pencarian fakta, serta pendokumentasian kasus kekerasan terhadap perempuan dan pelanggaran HAM perempuan. Selain itu, Komnas Perempuan berperan memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah, lembaga legislatif, yudikatif, serta organisasi masyarakat untuk mendorong lahirnya kebijakan yang mendukung pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan.
Komisioner Komnas Perempuan, Rr. Sri Agustini, menegaskan bahwa mandat lembaga ini diperkuat oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
“Mandat Komnas Perempuan dalam UU TPKS adalah melakukan pemantauan terhadap pencegahan dan penanganan tindak pidana kekerasan seksual (Pasal 83). Sebagai Lembaga Negara Non-Kementerian bidang HAM, kami bertugas memastikan pelaksanaan norma-norma dalam UU TPKS, termasuk mendorong koordinasi lintas sektor untuk pencegahan dan penanganan korban kekerasan seksual,” ujarnya.
Sepanjang proses konsultasi, Komnas Perempuan menerima beragam informasi mengenai kondisi implementasi UU TPKS di Sulawesi Tengah dan Kota Palu. Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA), jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan di Sulawesi Tengah pada periode Januari-Juni 2025 mencapai 104 kasus, dengan kekerasan seksual masih menempati posisi tertinggi.
Kepala Bidang Perlindungan Hak Perempuan dan Perlindungan Khusus Anak Sulawesi Tengah, Diana, pada Senin (15/9/2025) menyampaikan bahwa tingginya angka kekerasan seksual disebabkan oleh banyak faktor, antara lain minimnya edukasi seks bagi perempuan dan anak, ketidaksetaraan gender, budaya patriarki, lemahnya perlindungan hukum bagi korban, serta rendahnya kesadaran masyarakat untuk melapor. Selain itu, akses pornografi, lemahnya pola asuh berbasis hak anak, dan keterbatasan instrumen pencegahan juga memperburuk situasi.
Sementara itu, di Kota Palu, tantangan implementasi UU TPKS dipaparkan oleh Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kota Palu, Yudhi Riyani Firman, pada Selasa (16/9/2025). Menurutnya, hambatan utama terletak pada keterbatasan sumber daya manusia terlatih, fasilitas layanan terpadu yang belum memadai, serta rendahnya kesadaran masyarakat akibat budaya malu. Selain itu, proses hukum yang panjang dan rumit juga menjadi kendala besar bagi korban untuk memperoleh keadilan.
Meski demikian, sejumlah inovasi dan solusi mulai dikembangkan, antara lain pengembangan platform pengaduan online dan hotline untuk mempermudah korban melapor, program edukasi serta kampanye kesadaran di sekolah dan komunitas, serta penyediaan pendampingan psikologis dan hukum gratis bagi korban kekerasan seksual.
Komnas Perempuan berharap, melalui konsultasi dan uji coba instrumen pemantauan ini, akan tersedia umpan balik yang dapat menyempurnakan instrumen pemantauan agar relevan dan aplikatif di berbagai wilayah, adanya masukan dari pemangku kepentingan daerah untuk menyesuaikan instrumen dengan kebutuhan dan dinamika lokal, juga tersedianya informasi terkait kompleksitas kasus, serta strategi pencegahan dan penanganan yang lebih efektif bagi korban tindak pidana kekerasan seksual.
Dengan langkah ini, Komnas Perempuan menegaskan komitmennya untuk memastikan implementasi UU TPKS berjalan optimal demi perlindungan dan pemenuhan hak-hak perempuan di Indonesia.