PENANGANAN KEKERASAN SEKSUAL DI UNIVERSITAS RIAU PENTING MEMPERHATIKAN HAK KEADILAN, PENDIDIKAN DAN PEMULIHAN KORBAN (Jakarta, 09 November 2021)
Pernyataan Sikap Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Tentang
PENANGANAN KEKERASAN SEKSUAL DI UNIVERSITAS RIAU PENTING MEMPERHATIKAN HAK KEADILAN, PENDIDIKAN DAN PEMULIHAN KORBAN Jakarta, 09 November 2021
Komnas Perempuan menyesalkan terjadinya kekerasan seksual terhadap mahasiswi Universitas Riau (UNRI) oleh dosennya di tengah proses penyelesaian tugas akhirnya. Pengaduan kasus ini diterima pada 8 November 2021 oleh Komnas Perempuan dari pendamping korban yang diwakili oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), LBH Pekanbaru, Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Riau dan Korps Mahasiswa Hubungan Internasional.
Komnas Perempuan mendukung seluruh upaya untuk pengungkapan kasus dan memastikan pemulihan korban yang menyeluruh. Kasus ini mengonfirmasi pola kekerasan seksual di lingkungan universitas, yang umumnya menggunakan relasi kuasa dosen sebagai pembimbing skripsi atau pembimbing penelitian, terjadi baik di dalam atau di luar kampus (Komnas Perempuan, 2020). Oleh karena itu, upaya penanggulangan kekerasan seksual di lingkungan pendidikan penting mempertimbangkan relasi kuasa timpang tersebut agar upaya pencegahan, penanganan dan pemulihan korban kekerasan seksual dapat dilakukan secara komprehensif dan sistemik. Dalam pengaduan tersebut para pendamping menyampaikan informasi terkait upaya penanganaan yang dilakukan berbagai pihak diantaranya: (a) Rektor Universitas Riau telah membentuk Tim Pencari Fakta dugaan kasus kekerasan seksual; (b) P2TP2A Pekanbaru telah melakukan pendampingan psikologis pada korban; (c) beberapa lembaga menyediakan layanan bantuan hukum ; (d) melaporkan kasus dugaan kekerasan seksual ke Polresta Pekanbaru dengan sangkaan pencabulan.
Namun di sisi lain Korban juga telah dilaporkan oleh pelaku atas dugaan pencemaran nama baik melalui ITE di Polda Riau. Ironisnya, kasus ini terjadi seiring dengan terbitnya Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi RI No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi (Permendikbudristek No.30 Tahun 2021). Permendikbudristek ini berupaya menjawab berbagai permasalahan kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan tinggi, seperti kasus yang terjadi UNRI, untuk mewujudkan kampus yang aman, sehat, dan nyaman dari berbagai bentuk kekerasan berbasis gender terutama kekerasan seksual. Berdasarkan pengaduan dan pantauan terhadap pemberitaan kasus ini, Komnas Perempuan menyampaikan hal-hal sebagai berikut:
1. Mengapresiasi Rektor Universitas Riau yang telah membentuk Tim Pencari Fakta (TPF) dan mendukung proses pengumpulkan informasi terkait kasus ini;
2. Terkait dengan TPF UNRI, Komnas Perempuan memberikan saran dan masukan sebagai berikut: a. Menambahkan keanggotaan TPF dari perwakilan mahasiswa dan pihak eksternal Universitas Riau b. Memastikan anggota TPF memiliki perspektif korban c. Ada keterwakilan perempuan dengan jumlah proporsional (minimal 50%) d. Membangun kerjasama dengan pihak-pihak yang dapat membantu pemulihan korban e. Menginformasikan hasil kerja TPF kepada masyarakat;
3. Memberikan afirmasi kepada korban dalam proses menyelesaikan pendidikannya jika korban mengalami hambatan sebagai dampak psikis dari kekerasan seksual yang dialaminya. Penyelesaian pendidikan merupakan upaya pemulihan korban dan memastikan korban mendapatkan hak-haknya;
4. Mendukung langkah Irjen Kemendikbudristek yang akan menurunkan tim Pengawas dalam kasus ini untuk memastikan: a. Objektivitas dan indepedensi TPF dalam bekerja b. Implementasi perspektif korban dalam penanganan kasus c. Membuka ruang pengaduan kemungkinan adanya korban lain, baik yang diduga dilakukan terlapor atau pihak-pihak lainnya. d. Mendorong perbaikan sistemik untuk pencegahan, penanganan kekerasan seksual di lingkungan kampus Universitas Riau;
5. Mengingatkan Polda Riau memprioritaskan penanganan kasus Kekerasan Seksual yang diadukan di Polresta Pekanbaru ketimbang pelaporan kasus pencemaran nama baik. Karena sangkaan pencemaran nama baik merupakan bentuk reviktimisasi terhadap korban dan berpotensi membungkam korban dan korban-korban lainnya dalaam memperjuangkan, keadilannya. Langkah ini juga berkesesuaian dengan Pasal 10 Ayat 2 UU No. 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang menyebutkan “Dalam hal terdapat tuntutan hukum terhadap Saksi, Korban, Saksi Pelaku, dan/atau Pelapor atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikan, tuntutan hukum tersebut wajib ditunda hingga kasus yang ia laporkan atau ia berikan kesaksian telah diputus oleh pengadilan dan memperoleh kekuatan hukum tetap” ;
6. Merekomendasikan DPR RI untuk segera mengesahkan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual dengan memberikan penegasan terhadap hak-hak korban, termasuk untuk tidak mengalami kriminalisasi akibat kasus yang menimpanya;
7. Mengapresiasi YLBHI, LBH Pekanbaru, Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Riau, Korps Mahasiswa Hubungan Internasional dan P2TP2A Pekanbaru yang mendampingi dan membangun solidaritas terhadap korban.
Narasumber Komisioner
Dewi Kanti
Siti Aminah Tardi
Theresia Iswarini
Rainy Hutabarat
Maria Ulfah Anshor
Andy Yentriyani
Narahubung
Chrismanto Purba (chris@komnasperempuan.go.id)