Pernyataan Sikap Komisi Nasional Anti
Kekerasan terhadap Perempuan
pada Pengaduan KDRT yang dialami oleh NA
Dukung
Korban Memutus Siklus Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Jakarta, 19 Februari 2021
Pada Selasa 16 Februari 2021, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap
Perempuan (Komnas Perempuan) menerima pengaduan langsung dari NA. Dalam
pengaduannya, korban menyampaikan pengalaman berulang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang dialaminya selama 9 tahun pernikahan. KDRT berulang ini menyebabkan ia memilih untuk memutuskan hubungan perkawinannya dengan suaminya,
selain melaporkan kasus KDRT yang menimpanya.
KDRT adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang
berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara
fisik, seksual, psikologis, dan/ atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman
untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan
secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga, sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam
Rumah Tangga (UU PKDRT).
Dalam pengalaman KDRT, korban dapat mengalami lebih dari satu bentuk
kekerasan fisik, psikis, seksual dan/atau penelantaran, secara berulang-ulang.
Kerap pula korban terbenam dalam siklus KDRT, yaitu situasi yang meliputi rangkaian peristiwa: (1) Meningkatnya
ketegangan antara suami-isteri; (2) Terjadi kekerasan (fisik, psikis, seksual, ekonomi);
(3) Minta maaf dan masa ‘bulan madu’; (4) Hubungan kembali “membaik”. Siklus
ini dapat berputar kembali ke 1-2-3 dan seterusnya.
Yang perlu diwaspadai dari siklus ini
adalah bahwa kuantitas dan kualitas
kekerasan akan terus meningkat dan bahkan dapat berakhir dengan kematian
korban. KDRT berulang tak mengenal
kelas sosial ekonomi, tingkat pendidikan maupun profesi, bahkan perempuan
pesohor pun mengalaminya.
Komnas Perempuan mengapresiasi NA atas keberaniannya menyuarakan KDRT yang dialaminya. Gugatan cerai
yang diajukannya merupakan upaya NA untuk memutus siklus KDRT yang dialaminya. Siklus kekerasan pada dasarnya
bertolak dari harapan korban
bahwa pernikahannya dapat diselamatkan dengan permintaan maaf dari pelaku dan
korban memaafkan dengan harapan pelaku
memperbaiki diri, namun kenyataannya KDRT berulang. Siklus kekerasan
inilah yang
menyebabkan banyak korban KDRT mempertahankan relasi yang tidak sehat, karena pelaku sudah meminta maaf dan berjanji akan memperbaiki diri. Memilih
memutus perkawinan juga bukan merupakan pilihan yang
mudah bagi
perempuan, baik karena pertimbangan anak, stigma terhadap perempuan yang bercerai dan status sebagai janda cerai maupun pandangan keagamaan terkait perkawinan dan posisi perempuan dalam
perkawinan.
Hingga November 2020, Komnas Perempuan telah menerima 2.026 pengaduan, dengan pengaduan terbanyak, yaitu
1.190 kasus, adalah KDRT/Relasi Personal lainnya. Pengaduan terkait KDRT
/Relasi Personal, dengan mayoritas korban adalah istri. Kondisi ini tidak berbeda jauh dengan tahun sebelumnya
yang menunjukkan kekerasan terhadap perempuan dilakukan oleh orang-orang terdekat yang mempunyai relasi personal dan
sangat dikenal oleh korban. Kasus kekerasan ini terutama dilakukan oleh pasangan/suami.
Komnas Perempuan menegaskan bahwa
KDRT terhadap istri adalah bagian dari kekerasan terhadap perempuan
berbasis gender sebab KDRT terhadap istri berakar dari ketimpangan relasi antara perempuan dan
laki-laki dalam masyarakat yang dimanifestasikan dalam institusi perkawinan dan
keluarga. NA menjadi gambaran situasi kekerasan yang dialami perempuan dalam relasi yang
seharusnya merupakan ruang aman dan
pelindung bagi perempuan. Mengenai hal ini, Komite
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) dalam
Rekomendasi 35 CEDAW menggarisbawahi pentingnya kekerasan terhadap perempuan
berbasis gender ditanggani secara sistemik, bukan individual, sebab telah menjadi “alat sosial,
politik dan ekonomi yang fundamental untuk menempatkan perempuan dalam posisi
subordinat dan meneguhkan stereotipe peran-peran [gender].”
Oleh karena itu, Komnas Perempuan juga mengapresiasi sikap dari penegak
hukum, khususnya aparat kepolisian dan petugas Pengadilan Agama, yang menurut
informasi NA bertindak profesional dalam menanggapi laporannya. Komnas
Perempuan mendorong agar sikap ini juga dipastikan berlaku untuk semua kasus, tanpa kecuali, sehingga
memberikan penguatan akses perempuan korban pada keadilan. Penyikapan aparat
penegak hukum yang profesional sesuai dengan standar hak asasi manusia dan perspektif keadilan gender
akan berkontribusi secara signifikan pada pelaksanaan tanggung jawab
konstitusional negara. Tanggung jawab konstitusional
negara tersebut adalah pada pelindungan hak
konstitusional warga, khususnya hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan
kepastian hukum yang adil serta hak atas rasa aman sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28D Ayat 1 dan 28G Ayat 1 UUD NRI 1945.
Dalam kasus KDRT, jaminan perlindungan hukum ini juga memungkinkan warga,
khususnya perempuan korban, menikmati hak konstitusionalnya atas hidup
sejahtera lahir dan batin (Pasal 28 H Ayat 1 UUD NRI 1945).
Selanjutnya, Komnas Perempuan mendorong masyarakat, khususnya warganet agar memahami kepelikan yang
dihadapi korban KDRT dan siklus kekerasan
yang dialaminya, sehingga tidak menyalahkan korban atas pilihannya untuk keluar dari kekerasan melainkan mendukung
korban untuk memutus rantai kekerasan. Komnas Perempuan mengajak
media massa dan warganet untuk membantu masyarakat memahami
korban dan
memberikan dukungan kepada korban KDRT dalam memutus siklus KDRT dan memulihkan
diri dari kekerasan yang dialaminya.
Narasumber
- Andy Yentriyani
- Siti Aminah Tardi
- Theresia Iswarini
- Rainy Hutabarat
Chrismanto Purba (chris@komnasperempuan.go.id)