Pernyataan Sikap Komnas Perempuan
Atas Kasus Anak Berkonflik dengan Hukum (ABH) di Timor Tengah Selatan,
NTT
“Hormati
Proses Hukum, Lindungi dan Pulihkan ABH”
Jakarta, 23 Februari 2021
Terhadap pemberitaan dugaan pembunuhan yang dilakukan M (16 tahun)
terhadap NB (48 tahun) yang mencoba memerkosanya dan merupakan saudaranya
sendiri (11/2/2021), menjadi kepedulian berbagai pihak yang terkait. Menyikapi
kasus ini, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan)
mengajak seluruh masyarakat untuk menghormati proses penegakan hukum yang
tengah dilakukan jajaran kepolisian di Nusa Tenggara Timur, terutama di Timor
Tengah Selatan. Komnas Perempuan juga mengapresiasi langkah kepolisian
menggunakan rujukan UU Perlindungan Anak dan UU Sistem Peradilan Pidana Anak sehingga
hak-hak M sebagai Anak Berkonflik dengan Hukum (ABH) atas keadilan, kebenaran
dan pemulihan juga dapat dikawal bersamaan dengan proses hukum itu.
Komnas Perempuan mencatat bahwa Kekerasan terhadap Anak Perempuan (KTAP) di
ranah Rumah Tangga/Relasi Personal terus meningkat setiap tahunnya. Pada tahun
2019 terdapat 2.341 kasus, mengalami kenaikan 65% tahun dari 1.417 pada tahun
2018. Bentuk kekerasan terbanyak adalah kekerasan seksual dalam jenis inses
(770 kasus) dan kekerasan seksual lainnya (571 kasus). Dominannya kasus inses
dan kekerasan seksual terhadap anak perempuan, menunjukkan bahwa perempuan
sejak usia anak dalam situasi yang tidak aman dalam kehidupannya, bahkan oleh
orang terdekat, seperti anggota keluarga yang seharusnya memberikan
perlindungan dan memastikan anak tumbuh dan berkembang secara baik. Hal inilah
yang dialami oleh ABH M yang justru menjadi korban kekerasan seksual salah satu
anggota keluarganya.
Anak korban kekerasan seksual akan mengalami trauma psikologis yang
dalam, terlebih jika pelaku memiliki hubungan kekeluargaan yang menyebabkan
korban akan memilih bungkam dan tidak segera mencari bantuan. Trauma psikologis
dan ketidakberdayaan yang kemudian diekspresikan dalam bentuk kemarahan baik
kepada pelaku atau orang lain pernah ditemui dalam kasus ABH N (15) yang
diperkosa tiga orang, yaitu paman dan pacarnya mengekspresikan kemarahan dan
ketidakberdayaannya terhadap balita tetangganya. Kondisi ini memperlihatkan
bahwa korban kekerasan seksual yang tidak segera mendapatkan bantuan akan
mengalami gangguan kesehatan mental yang bisa merugikan dirinya atau orang
lain. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari kondisi belum terbangunnya kesadaran
bahwa kekerasan seksual terhadap anak adalah kejahatan. Juga, tentang
pentingnya kehadiran negara dalam perlindungan dan pemulihan korban kekerasan
seksual.
Komnas Perempuan berpendapat bahwa kasus ABH M ini menjadi peluang bagi
aparat penegak hukum selain melaksanakan ketentuan dalam SPPA, juga Peraturan
Kejaksaan No. 1 Tahun 2021 tentang Akses Keadilan Bagi Perempuan dan Anak Dalam
Penanganan Perkara Pidana dan Peraturan Mahkamah Agung No. 3 Tahun 2017 tentang
Pedoman Mengadili Perempuan Berhadapan dengan Hukum, yang menjadi pedoman sikap
dan perilaku di institusi terkait dalam menangani perempuan berhadapan dengan
hukum, termasuk bagi ABH.
Mengingat Kepolisian belum memiliki peraturan internal terkait pedoman pemeriksaan PBH, maka pihak Kepolisian dapat menjadikan peraturan di Kejaksaan dan Pengadilan sebagai referensi dalam memeriksa perkara korban kekerasan seksual. Dalam hal ini, pemeriksaan perkara, penyidik perlu mempertimbangkan Kesetaraan Gender dan non-diskriminasi, dengan mengidentifikasi fakta-fakta:
- Ketidaksetaraan status
sosial antara para pihak yang berperkara;
- Ketidaksetaraan
perlindungan hukum yang berdampak pada akses keadilan;
- Diskriminasi;
- Dampak trauma psikis yang
dialami korban;
- Ketidakberdayaan fisik dan
psikis korban;
- Relasi kuasa yang
mengakibatkan korban/saksi tidak berdaya; dan
- Riwayat kekerasan dari
pelaku terhadap korban/saksi.
Penggalian fakta-fakta tersebut oleh kepolisian akan membantu jaksa dan
hakim dalam melakukan pemeriksaan selanjutnya. Sedangkan untuk memberikan rasa
nyaman terhadap ABH, dalam pemeriksaan, penyidik dilarang:
- Menunjukkan sikap atau
mengeluarkan pernyataan yang merendahkan, menyalahkan dan/atau
mengintimidasi Perempuan Berhadapan dengan Hukum;
- Membenarkan terjadinya
Diskriminasi Terhadap Perempuan atas nama budaya, aturan adat, dan praktik
tradisional lainnya maupun menggunakan penafsiran ahli yang bias gender;
- Mempertanyakan dan/atau
mempertimbangkan mengenai pengalaman atau latar belakang seksualitas
korban sebagai dasar untuk membebaskan pelaku atau meringankan hukuman
pelaku; dan
- Mengeluarkan pernyataan atau
pandangan yang mengandung Stereotip Gender.
Terkait tuntutan masyarakat agar diterapkan Pasal 49 ayat (1) KUHP mengatur mengenai perbuatan “pembelaan darurat” (noodweer) sebagai alasan penghapus pidana yaitu alasan pembenar karena perbuatan pembelaan darurat bukan perbuatan melawan hukum, Komnas Perempuan mengingatkan bahwa pembuktian Pasal 49 dilakukan di tahapan pemeriksaan persidangan. Jika alasan penghapus pidana ini kemudian terbukti, maka hakim dapat mengeluarkan putusan yang melepaskan ABH dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging), bukan putusan bebas alias vrijspraak. Jadi, hakimlah yang harus menguji dan memutuskan hal ini, sedangkan penyidik dan penuntut umum hanya mengumpulkan bahan-bahannya untuk diajukan kepada hakim. Komnas Perempuan berpendapat proses ini harus dihormati sebagai bagian dari pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), dimana setiap institusi penegak hukum baik kepolisian, kejaksaan dan pengadilan memiliki tugas dan fungsinya masing-masing yang terpadu dengan mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak, sekaligus memulihkannya sebagai korban kekerasan seksual.
Narasumber
Siti Aminah Tardi
Retty Ratnawati
Rainy Hutabarat
Andy Yentriyani
Olivia Salampessy
Narahubung:
Chrismanto Purba (chris@komnasperempuan.go.id)