...
Pernyataan Sikap
Pernyataan Sikap Komnas Perempuan Iklan Jasa Perkawinan Aisha Wedding yang Mempromosikan Kawin Anak (15 Februari 2021)

Pernyataan Sikap Komnas Perempuan

Iklan Jasa Perkawinan Aisha Wedding yang Mempromosikan Kawin Anak

Usut Promosi Perkawinan Anak Untuk Menangkal Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak

15 Februari 2021

 

 

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengapresiasi berbagai pihak dari masyarakat sipil dan Kementerian/Lembaga, khususnya Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) maupun Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dalam menyikapi beredarnya iklan jasa kelola perkawinan (wedding organizer) bertajuk Aishah weddings (09/02) yang mempromosikan perkawinan anak di dalam konten iklannya. Iklan ini ditengarai beredar di 3 kota sekaligus menggunakan sosial media.

 

Komnas Perempuan juga mendukung langkah kepolisian untuk melakukan penyelidikan menyeluruh mengenai pelaksana iklan ini atas dugaan mendorong pelanggaran hukum terkait usia minimum pernikahan sebagaimana diatur dalam UU 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Iklan ini juga memiliki indikasi perdagangan orang melalui modus perkawinan anak. Dari informasi yang dihimpun, jasa yang diajukan juga mendorong perkawinan lebih dari satu tanpa memperhitungkan pengalaman kelam perempuan akibat praktik perkawinan ini. Ketiga persoalan ini (perkawinan anak, indikasi perdagangan orang, perkawinan poligami) dalam amatan Komnas Perempuan menempatkan perempuan dalam risiko tinggi mengalami kekerasan berkelanjutan di dalam rumah tangga atau keluarga.

 

Perkawinan anak merupakan salah satu bentuk kekerasan terhadap anak dan merupakan praktik yang melanggar hak-hak dasar anak yang tercantum dalam Konvensi Hak Anak (KHA). Secara khusus, perkawinan anak lebih menyasar pada anak perempuan karena konstruksi sosial masyarakat menempatkan anak perempuan sebagai pelayan laki-laki dan keluarga. Dengan demikian anak perempuan mengalami dua diskriminasi yaitu karena usianya dan karena jenis kelaminnya. Akibatnya anak perempuan memiliki kerentanan lebih besar dan terkurangi, terhambat haknya dalam mengakses pendidikan, kesehatan, serta memiliki potensi besar mengalami kekerasan. Kondisi ini yang akan menyebabkan perempuan tidak akan mencapai posisi yang setara dengan lelaki, di dalam perkawinannya maupun di dalam aspek-aspek lainnya.

 

Komnas Perempuan menegaskan bahwa promosi perkawinan anak yang dilakukan oleh Aisha Weddings melanggar hukum, hak anak dan hak perempuan, sekaligus kontra produktif dengan upaya-upaya yang dilakukan masyarakat dan negara untuk mencegah perkawinan anak di Indonesia. Sebagai contoh, salah satu daerah yang ditengarai menjadi lokus iklan jasa perkawinan ini adalah di Lombok, yang dikenal sebagai salah satu kantong perkawinan anak. Di 4 kabupaten di pulau ini, rata-rata lama sekolah anak perempuan hanya 5.52 tahun atau tidak lulus sekolah dasar, jauh tertinggal dari rata-rata lama sekolah anak laki-laki yang mencapai 7.1- tahun, atau hanya setingkat kelas 7.  Di tingkat provinsi, Dinas Pendidikan mencatat bahwa pada tahun 2019 terdapat sekurangnya 874 kasus perkawinan anak di bawah umur SMA/SMK. Dengan keprihatinan pada hak anak dan dampak lebih lanjut dari perkawinan anak, pada 29 Januari 2021 lalu DPRD Nusa Tenggara Barat baru saja mengesahkan Peraturan Daerah Pencegahan Perkawinan Anak. 

 

Promosi dan glorifikasi perkawinan anak ini, karenanya, bersifat kontraproduktif dengan upaya-upaya yang dilakukan masyarakat dan negara untuk mencegah perkawinan anak di Indonesia. Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS, 2018) dan BPS, (2018) pernikahan anak perempuan yang berusia kurang dari 17 tahun sebesar 4,8 %persen; pernikahan anak perempuan di bawah usia 16 tahun sekitar 1,8 % dan persentase pernikahan anak perempuan kurang dari 15 tahun sejumlah 0,6 %. Secara akumulasi, satu dari sembilan anak perempuan usia kurang dari 18 tahun telah menikah. Tingginya perkawinan anak ini menjadi perhatian serius dari negara dan kemudian menetapkan berbagai kebijakan penghapusannya, seperti melalui target Sustainable Development Goals (SDGs) terkait penurunan angka perkawinan anak dari 11,2% di tahun 2018 menjadi 8,74% di tahun 2024 di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Upaya pencegahan ini juga telah dilakukan melalui perubahan UU Perkawinan sebagai tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi yang menaikkan usia perkawinan anak perempuan dari 16 tahun menjadi 19 tahun.

 

Kesigapan berbagai pihak menunjukkan bahwa pemerintah dan masyarakat kita semakin peduli, paham dan berkomitmen dalam upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan, melibatkan diri secara aktif dalam upaya menentang perkawinan anak, dan juga dalam upaya memperjuangkan keadilan bagi perempuan korban. Secara khusus, langkah sigap dari pemerintah akan membantu pelaksanaan Pasal 28G Ayat 1 UUD NRI 1945 tentang jaminan atas rasa aman, selain tentang hak anak (Pasal 28B Ayat 2). Hak ini juga ditegaskan dalam berbagai produk perundang-undangan, termasuk UU No. 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; UU No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, dan UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

 

Selain langkah hukum, peristiwa ini juga perlu menjadi pengingat untuk memperkuat langkah-langkah pendidikan dan transformasi budaya terkait perkawinan anak dan untuk mendorong relasi yang setara antara laki-laki dan perempuan di dalam rumah tangga dan keluarga. Pendidikan ini dapat dilakukan melalui berbagai langkah kreatif, melibatkan pekerja seni budaya, tokoh agama dan tokoh masyarakat, maupun upaya-upaya penguatan masyarakat yang beragam. Saat bersamaan, langkah pendidikan publik juga perlu dilakukan secara terstruktur, terintegrasi dalam sistem pendidikan nasional. Karenanya, penguatan kerjasama dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Kementerian Agama (Kemenag), KPPPA dan Kemenkominfo dalam upaya pendidikan ini dengan melibatkan unsur-unsur dari masyarakat menjadi kunci percepatan transformasi budaya yang dimaksud.  

 

 

Narasumber

  1. Nahei
  2. Siti Aminah Tardi
  3. Theresia Iswarini
  4. Andy Yentriyani

 

 

Narahubung

Chrismanto Purba (chris@komnasperempuan.go.id)

 


Pertanyaan / Komentar: