“Pastikan Perlindungan Anak dan Perempuan Yang Menjadi Korban Kekerasan Seksual dalam Keluarga dan Dunia Digital”
Jakarta, 28 Mei 2025
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengecam keras keberadaan grup Facebook “Fantasi Sedarah” serta grup-grup serupa yang menyebarkan dan menormalisasi praktik inses serta kekerasan seksual dalam keluarga. Grup ini bukan hanya melanggar hukum, tapi juga memperlihatkan betapa ruang digital digunakan sebagai ladang bagi predator kekerasan seksual untuk meraup keuntungan finansial dan memperluas jejaring yang membahayakan anak dan perempuan.
Komnas Perempuan sungguh mengkhawatirkan situasi bagi para korban yang belum terjangkau dan telah mengalami kekerasan seksual dari para predator tersebut. Inses merupakan salah satu bentuk kekerasan seksual yang sangat membahayakan, karena terjadi dalam relasi paling dekat dengan korban. Oleh karenanya dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), pelaku kekerasan seksual dalam lingkup keluarga hukumannya diperberat dengan satu pertiga (1/3) pidana tambahan. Ketika rumah, yang seharusnya menjadi ruang aman dan penuh perlindungan, justru digunakan oleh pelaku menjadi tempat berlangsungnya kekerasan, maka yang hancur bukan hanya tubuh korban, tetapi juga rasa aman, kepercayaan, dan kemanusiaannya.
Komnas Perempuan menemukenali bahwa Inses mencakup antara lain (a) parental incest, yaitu hubungan seksual antara orang tua dan anak, (b) sibling incest, yaitu hubungan antara saudara kandung, dan (c) family incest, yaitu hubungan seksual yang dilakukan oleh kerabat dekat, yang orang-orang tersebut mempunyai kekuasaan atas anak dan masih mempunyai hubungan sedarah, baik garis keturunan lurus ke bawah, ke atas maupun ke samping, misal paman, bibi dan seterusnya.
Data Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan mencatat inses sebagai bentuk kekerasan seksual tertinggi di ranah personal. Selama lima tahun terakhir (2019–2024), Komnas Perempuan mencatat 1.765 kasus inses. Jumlah tertinggi terjadi pada tahun 2019, yakni sebanyak 1.071 kasus, disusul 822 kasus pada tahun 2020. Meskipun pada tahun-tahun berikutnya angka kasus menurun menjadi 15 kasus pada 2021, yang diduga akibat hambatan pelaporan selama pandemi, jumlah laporan kembali meningkat menjadi 433 kasus pada 2022, dan 213 kasus pada 2023.
Angka ini diyakini hanya merupakan puncak gunung es. Hal ini disebabkan oleh berbagai hambatan yang khas dialami korban inses, seperti kurangnya dukungan dari keluarga serta ketiadaan ekosistem yang mendorong korban untuk mendapatkan perlindungan atau meninggalkan rumah. Dalam konteks ini, tidak menutup kemungkinan jumlah korban sebenarnya jauh lebih banyak, mengingat besarnya jumlah anggota dalam grup tersebut.
Untuk memastikan anak dan perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual dalam keluarga dan dunia digital mendapatkan penanganan, perlindungan dan pemulihan, Komnas Perempuan:
- Mengapresiasi langkah cepat Kepolisian dalam proses penegakkan hukum dengan menangkap pelaku-pelaku yang bertindak sebagai admin dan kontributor grup, serta penutupan grup oleh Kementerian Komunikasi dan Digital Republik Indonesia (Komdigi);
- Mendesak Aparat Penegak Hukum menggunakan UU TPKS untuk memastikan penanganan, perlindungan dan pemulihan korban secara berkelanjutan;
- Merekomendasikan Komdigi untuk membangun sistem pengawasan yang secara otomatis memblokir konten-konten fantasi seksual, maupun konten lain yang bertentangan dengan prinsip non diskriminasi sebagaimana yang dijamin dalam konstitusi, juga membuat mekanisme audit atau pemantauan berkala terhadap kinerja platform digital;
- Mendesak pemerintah pusat dan daerah agar melakukan upaya-upaya pencegahan tindak pidana kekerasan seksual secara cepat, terpadu, dan sistematis di masyarakat yang menjangkau semua keluarga, sebagaimana diwajibkan dalam UU TPKS Pasal 79;
- Mendorong penyedia platform digital global (seperti Meta, X, TikTok, dan lainnya) untuk memperkuat sistem deteksi dan penghapusan konten kekerasan seksual, menyediakan mekanisme pelaporan yang ramah korban, serta bekerja sama dengan pemerintah dan Lembaga Nasional HAM dalam menciptakan ruang digital yang aman bagi anak dan perempuan;
- Mengimbau seluruh elemen masyarakat sipil, media, dan platform digital untuk turut menciptakan ruang aman, melakukan pendidikan publik, dan aktif memantau kekerasan seksual, baik di keluarga maupun ruang digital.
Narasumber:- Yuni Asriyanti
- RR. Sri Agustini
- Dahlia Madanih
- Maria Ulfah Anshor
Narahubung: Elsa Faturahmah (081389371400)