Pernyataan Sikap Komnas Perempuan
pada Pemberitaan Pernyataan Menkopolhukam tentang Restorative Justice
Pastikan
Pelaksanaan Restorative Justice
Memenuhi Hak Korban Atas Kebenaran, Keadilan dan Pemulihan
Jakarta, 20 Februari 2021
Pemberitaan media massa terkait pernyataan Mahfud MD, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan tentang Restorative Justice (Keadilan Restoratif)
dengan menggunakan contoh kasus perkosaan menuai kritik karena dinilai
mencederai rasa keadilan korban. Menyikapi hal tersebut, Komisi Nasional Anti
Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) telah meminta klarifikasi dan
pada Jumat sore (19/02) telah dihubungi melalui telepon oleh Menkopolhukam.
Dalam klarifikasi lisannya itu disampaikan bahwa:
a) Restorative Justice adalah praktik yang sudah dikenali masyarakat Indonesia, dimana
penekanan dalam penyelesaian kasus adalah membangun harmoni dan kebersamaan,
bukan semata tentang pemidanaan pelaku;
b) Contoh perkosaan dimaksudkannya untuk menangkap semangat Restorative Justice, dimana salah satu
aspek yang juga diperhatikan adalah tentang pelindungan bagi korban. Contoh ini
tidak dimaksudkan untuk mengarahkan penyelesaian di luar pengadilan
pada kasus perkosaan, melainkan menangkap semangat untuk pelindungan korban
selain pemidanaan pelaku;
c) Arah
penerapan Restorative Justice dengan penyelesaian di luar pengadilan hanya pada tindak pidana ringan,
atau hal-hal yang sepele, dan bukan pada kasus perkosaan.
Komnas Perempuan menyambut baik klarifikasi oleh Menkopolhukam dan
mendorong agar klarifikasi disampaikan secara resmi guna mencegah salah
persepsi lebih lanjut mengenai arah pelaksanaan Restorative Justice dalam penanganan kasus kekerasan seksual
terhadap perempuan. Hal ini genting karena praktik mengawinkan korban dengan
pelaku perkosaan ataupun mengusir korban dari komunitasnya masih banyak terjadi
atas nama keharmonisan komunitas dan nama baik korban (dan keluarga). Praktik
ini ditengarai lebih untuk menghentikan
proses hukum sehingga meneguhkan impunitas pelaku. Secara khusus, praktik
mengawinkan korban dengan pelaku perkosaan merupakan pemaksaan perkawinan yang
memiliki dampak jangka panjang terhadap
korban. Selain masih mengalami trauma sehingga memerlukan proses pemulihan, praktik ini juga
menempatkan korban terus dalam kerentanan pada kekerasan di dalam
perkawinannya. Dengan demikian, praktik mengawinkan korban dengan pelaku
perkosaan menyumbang pada semakin tingginya angka kekerasan terhadap perempuan.
Komnas Perempuan mengenali bahwa Restorative
Justice merupakan penyelesaian perkara tindak pidana dengan
melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait
untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan,
dan bukan pembalasan. Prinsip dasar Restorative Justice adalah pemulihan korban yang telah menderita akibat tindak
pidana yang dialaminya.
Berkaitan dengan itu, Komnas Perempuan berpendapat bahwa Menkopolhukam perlu memberikan perhatian serius dalam mendorong penguatan pedoman pelaksanaan Restorative Justice oleh aparat penegak hukum, khususnya kepolisian. Surat Edaran Kapolri No. 8/VII/2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif dalam Penyelesaian Perkara Pidana, perlu diharmonisasi dengan Peraturan Kejaksaan No. 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif dan Surat Keputusan Direktur Jendral Badan Peradilan Umum No. 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 tentang Pedoman Penerapan Restorative Justice di Lingkungan Pengadilan Umum. Harmonisasi termasuk mengenai jenis tindak pidana untuk mencegah celah multitafsir pada pelaksanaan Restorative Justice saat penerimaan kasus kekerasan terhadap perempuan, termasuk perkosaan.
Selain itu, Menkopolhukam perlu mendorong Kepolisian untuk menyusun
kebijakan yang memastikan akses keadilan bagi perempuan dalam penyelidikan dan
penyidikan tindak pidana sebagai langkah memperkuat upaya dari Kejaksaan
melalui Peraturan Kejaksaan No. 1 Tahun 2021 tentang Akses Keadilan Bagi
Perempuan dan Anak Dalam Penanganan Perkara Pidana dan Peraturan Mahkamah Agung
No. 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perempuan Berhadapan dengan Hukum.
Peraturan Kejaksaan dan Mahkamah Agung ini menjadi pedoman sikap dan perilaku
di institusi terkait dalam menangani perempuan berhadapan dengan hukum, baik
sebagai korban, maupun tersangka/terdakwa.
Lebih lanjut, membangun akses keadilan bagi perempuan melalui kebijakan
internal institusi penegak hukum di atas, merupakan upaya berbagai pihak untuk
memenuhi hak-hak korban agar mendapatkan keadilan dan pemulihan melalui Sistem
Peradilan Pidana (SPP). Karenanya upaya-upaya Kejaksaan dan Pengadilan penting
dijadikan dasar untuk segera mendorong pembaharuan hukum acara pidana (RUU
KUHAP) dengan memastikan kepentingan korban termasuk mekanisme Restorative
Justice mendapatkan penguatan di dalamnya.
Komnas Perempuan juga menggarisbawahi bahwa klarifikasi ini adalah
sekaligus menegaskan dukungan Menkopolhukam pada upaya penegakan hukum dalam
kasus perkosaan dan memastikan perlindungan
bagi perempuan korban perkosaan, termasuk pemulihannya. Untuk itu, Menkopolhukam
perlu turut mengawal pembahasan Rancangan UU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU
Pungkas) hingga selesai, dimana upaya pelindungan dan pemulihan korban
merupakan bagian dari 6 elemen kunci di dalam rancangan UU tersebut.
Komnas Perempuan menegaskan bahwa RUU Pungkas akan berkontribusi pada
penyelenggaraan tanggung jawab konstitusional negara, khususnya jaminan hak atas perlindungan hukum, hak atas
rasa aman dan hak atas kehidupan yang bermartabat (Pasal 28D Ayat 1 dan Pasal
28G Ayat 1 UUD NRI 1945). Juga menjadi langkah mewujudkan komitmen negara dalam
meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan
(CEDAW), mengingat kekerasan seksual pada perempuan memiliki dimensi khas yang
berakar pada diskriminasi berbasis gender.
Mengingat beragam praktik atas nama Restorative
Justice dapat menempatkan perempuan korban kekerasan terpuruk dalam
ketidakadilan berlapis, Komnas Perempuan mengajak Kemenkopolhukam dan semua
pihak untuk terus melakukan pengawasan pada pelaksanaan Restorative Justice,
baik yang diselenggarakan melalui institusi penegak hukum maupun yang ada di
tengah-tengah masyarakat.
Juga, untuk bersama-sama melakukan kajian yang lebih menyeluruh tentang Restorative Justice, termasuk menyangkut upaya penanganan
pelanggaran HAM masa lalu, untuk menguatkan konsep, kebijakan dan pedoman
pelaksanaannya. Penguatan ini dibutuhkan agar dalam kerangka Restorative Justice, selain membangun
keharmonisan warga, juga mengutamakan pemenuhan hak korban, khususnya perempuan
korban kekerasan, atas kebenaran, keadilan dan pemulihan.
Narasumber:
Andy Yentriyani
Siti Aminah Tardi
Rainy M. Hutabarat
Theresia Iswarini
Mariana Amiruddin
Narahubung:
Chrismanto Purba (chris@komnasperempuan.go.id)