Pernyataan Sikap Komnas Perempuan
Tentang Masuknya Hukuman Kebiri dan Hukuman Mati dalam Perppu Tentang Perubahan Kedua Atas UU Perlindungan Anak
“Prioritaskan Kebijakan dan Regulasi yang Efektif dalam Penghapusan Kekerasan Seksual,
Bukan Bentuk Hukuman yang Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Kemanusiaan”
Jakarta, 26 Mei 2016
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyayangkan hukuman kebiri dan hukuman mati tetap masuk sebagai bentuk hukuman terhadap pelaku Kekerasan Seksual dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, atau yang disebut Perppu Tentang Perubahan Kedua Atas UU Perlindungan Anak, terutama di saat Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan melalui UU No. 5 Tahun 1998 yang melarang segala bentuk penghukuman yang kejam, tidak manusiawi dan/atau merendahkan martabat kemanusiaan. Hukuman mati dan hukuman kebiri termasuk dalam bentuk hukuman ini.
Pemberatan hukuman dalam bentuk Kebiri juga memiliki tantangan dalam pelaksanaannya, karena sesuai ketentuan Perppu bahwa pemberatan hukuman dilakukan setelah menjalani hukuman pokok. Sementara sejauh ini tidak banyak kasus Kekerasan Seksual yang sampai ke proses peradilan dan mendapatkan sanksi hukum maksimal. Komnas Perempuan mengkhawatirkan bahwa pemberlakuan Perppu yang berisi pemberatan hukuman ini hanya semata-mata untuk merespon desakan emosional publik, tanpa mempertimbangkan keroposnya penegakan hukum yang ada di Indonesia.
Penerbitan Perppu ini justru menunjukkan cara pandang negara terhadap persoalan Kekerasan Seksual yang sudah lama terjadi, hanya sebagai persoalan penjeraan pelaku semata, sementara faktor lain, seperti aspek yang menjadi penyebab perempuan dan anak rentan menjadi korban kekerasan, aspek pencegahan, pelayanan yang prima terhadap korban dan pemulihan tidak mendapat perhatian.
Dalam pandangan Komnas Perempuan, yang dibutuhkan untuk menjerakan pelaku Kekerasan Seksual saat ini adalah penegakan hukum yang serius, bebas mafia dengan memastikan penerapan hukuman maksimal bagi pelaku, sebagaimana yang telah diatur di sejumlah peraturan perundang-undangan, seperti KUHP, UU Penghapusan KDRT, UU Perlindungan Anak dan UU Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dimana kejahatan seksual terhadap anak dan perempuan kerap terjadi. Penanganan yang luar biasa terhadap kejahatan yang luar biasa, bisa berlangsung dalam waktu cepat dengan mengoptimalkan penerapan hukum yang sudah ada (termasuk hukuman seumur hidup) kepada pelaku, dan pada saat yang bersamaan memastikan seluruh kebijakan yang telah ada, untuk pemulihan korban dapat berjalan dalam waktu yang cepat, tepat dan mudah, termasuk dalam hal ini menghilangkan hambatan-hambatan yang selama ini dialami korban dalam mengakses keadilan dan pemulihan.
Perppu Perubahan Kedua Atas UU Perlindungan Anak yang baru saja diubah pada tahun 2015, menunjukkan sikap reaktif dan parsial pemerintah terhadap penanganan kejahatan seksual yang seharusnya dilakukan secara sistematis, komprehensif dan terukur. Pemerintah terkesan baru menyadari pentingnya penanganan yang luar biasa terhadap kejahatan seksual, padahal kejahatan seksual terhadap anak dan perempuan telah lama terjadi di seluruh daerah di Indonesia. Komnas Perempuan sudah menyampaikan bahwa setiap 2 jam, ada 3 perempuan (termasuk anak perempuan) menjadi korban kejahatan seksual sejak tahun 2013, bahkan Presiden RI sudah mencanangkan Darurat Kekerasan Seksual Anak sejak tahun 2014. Sayangnya data ini tidak menjadi pertimbangan ketika adanya Perubahan UU Perlindungan Anak dilakukan pada tahun 2015, sehingga harus dilakukan perubahan lagi pada tahun 2016 melalui Perppu.
Komnas Perempuan keberatan terhadap pembedaan respon atas Kekerasan Seksual terhadap anak dengan respon terhadap perempuan, yang memberi kesan satu tidak lebih penting dari lainnya. Padahal kerentanan perempuan terhadap perkosaan sama dengan kerentanan anak, dan dampak perkosaan terhadap perempuan tidak kalah buruknya dengan dampak perkosaan terhadap anak, karena masih adanya ketimpangan relasi kuasa berbasis gender yang menimpa perempuan Indonesia baik dewasa maupun anak.
Di dalam program aksi komitmen kepemimpinan Jokowi-Jusuf Kala pada saat pertama kali dilantik menjadi presiden, terdapat pernyataan yang berkaitan dengan masalah Kekerasan Seksual yaitu bagaimana mengefektifkan pelaksanaan semua Undang Undang untuk penghentian kekerasan terhadap perempuan melalui peningkatan upaya-upaya pencegahan, meningkatkan kapasitas kelembagaan, peningkatan alokasi anggaran serta mengembangkan dan menerapkan kerangka pemantauan dan evaluasi yang efektif, termasuk segera membahas dan mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Seharusnya penanganan yang luar biasa untuk kejahatan luar biasa dapat diletakkan dalam kerangka ini.
Untuk itu Komnas Perempuan berharap kepada Dewan Perwakilan Rakyat RI untuk menimbang kembali pemberlakuan Perppu tersebut berdasarkan masukan dari berbagai pihak, dan mensegerakan pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, sebagai payung hukum yang akan melindungi perempuan dan anak Indonesia dari Kekerasan Seksual serta memberikan keadilan bagi korban.
Kontak Narasumber:
Azriana, Ketua (0811672441)
Sri Nurherwati, Subkomisi Reformasi Hukum dan Kebijakan (082210434703)
Indriyati Suparno, Ketua Subkomisi Pengembangan Sistem Pemulihan (081329343547)
Mariana Amiruddin, Ketua Subkomisi Partisipasi Masyarakat (081210331189)