“Cegah Kekerasan terhadap Perempuan dalam Pilkada Serentak 2024”
Jakarta, 7 November 2024
Pada saat ini Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) untuk memilih Gubernur
dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang
akan digelar serentak di 545
daerah yang terdiri dari 37 provinsi, 415 kabupaten dan 93 kota pada 27
November 2024, telah memasuki tahap pelaksanaan kampanye (25 September 2024 -
23 November 2024). Hanya 331 calon kepala daerah perempuan (10,66%) dan 2.733 (89,34%) calon
kepala daerah laki-laki yang mengikuti kontestasi Pilkada 2024.
Komisi Nasional
Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) memantau dan menerima
sejumlah informasi terkait dengan pelaksanaan kampanye yang masih menormalisasi
diskriminasi dan kekerasan berbasis gender berupa pernyataan seksisme,
subordinasi perempuan dan kekerasan seksual. Diskriminasi atau seksisme
digunakan sebagai alat kampanye untuk meraup perhatian. Di
antaranya, pernyataan Calon Wakil Gubernur Jakarta nomor urut 1 Suswono, agar
janda kaya menikahi pengangguran, Calon Gubernur Independen, Dharma mengatakan
guru-guru perempuan sengaja ditempatkan di Taman Kanak-kanak untuk menyiapkan anak-anak menjadi bagian
dari komunitas LGBT sejak dini. Calon Wakil
Gubernur Banten, Dimyati Natakusumah juga melontarkan bahwa perempuan jangan
diberi beban berat, apalagi menjadi gubernur. Juga
terdapat baliho bernada seksis dari pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati
Sleman, Harda Kiswaya - Danang Maharsa yang bertuliskan 'Milih Imam
(Pemimpin) Kok Wedok. Jangan Ya Dik Ya! Imam (Pemimpin) Kudu Lanang' yang berarti
'Memilih imam (pemimpin) kok perempuan. Jangan ya dik ya! Imam (pemimpin) harus
pria' dan pernyataan “tusuk di tengah yang sedap” sebagai pernyataan penutup
yang disampaikan kandidat Murad-Michael di Maluku pada debat terbuka.
Komnas Perempuan menyesalkan pernyataan yang disampaikan
oleh para Calon Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah pada pelaksanaan kampanye dan debat publik yang tidak mematuhi
ketentuan tentang materi kampanye sebagaimana disebutkan pada pasal 17
Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No. 13 Tahun 2024.
Kasus-kasus tersebut merupakan bentuk diskriminasi dan
kekerasan terhadap perempuan di dalam penyelenggaraan pemilihan umum yang
bertentangan norma-norma HAM internasional maupun Konstitusi RI. Berdasarkan hasil pemantauan hak perempuan
dalam pemilu, Komnas Perempuan
mendefinisikan kekerasan terhadap perempuan dalam kontestasi elektoral
sebagai:
“Segala bentuk
kekerasan yang ditujukan pada perempuan karena ia perempuan, atau kekerasan
yang mempengaruhi perempuan secara tidak proporsional karena partisipasi
dan/atau aspirasi mereka untuk mendapatkan jabatan politik dan/atau terlibat
dalam aktivitas politik dalam penyelenggaraan Pemilu. Kekerasan ditujukan untuk
membatasi, menghalangi dan melemahkan perempuan sehingga tidak setara dalam
memilih, dipilih, mencalonkan diri, berkampanye, berserikat, berkumpul,
berekspresi atau berpendapat atas dirinya sendiri”. (Komnas Perempuan:2021).
Berdasarkan hasil
kajian dan pemantauan Komnas Perempuan tinjauan dari berbagai literatur,
kekerasan berbasis gender terhadap perempuan dalam Pemilu berkaitan erat dengan
ragam bentuk kekerasan yang acap menyerang perempuan, baik di ranah personal,
publik, mau pun negara. Bentuk-bentuk kekerasan yang dimaksud tampak sebagai
berikut: (1). Kekerasan fisik seperti menampar, mencekik, memukul, dan lainnya
yang bertujuan untuk menghalangi, merintangi atau mengurangi martabat perempuan
dalam Pemilu; (2). Pelecehan (harassment); termasuk di dalamnya segala
tindakan yang tidak pantas, menurunkan moral, mencemarkan nama baik dan
mempermalukan korban. (3). Fitnah dan hasutan untuk melakukan kekerasan; (4)
Penyerangan karakter dan penghinaan gender; (5). Pemerkosaan pada calon kandidat
perempuan peserta Pemilu; (6). Pemerasan bernuansa seksual; (7). Pengekangan,
pembatasan gerak, penculikan, termasuk di dalamnya penahanan dengan
semewenang-wenang, terhadap perempuan; (8). Rayuan, komentar, dan ujaran
seksual yang tidak diinginkan (sexist remarks); (9). Intimidasi,
persekusi dan ancaman; (10). Penghilangan mata pencarian dan pemindahan tempat
tinggal; (11). Pengawasan yang bias gender, baik oleh publik ataupun media (gender-biased
scrutiny by the public and the media); (12). Dipaksa mengundurkan diri (forced
resignations); (13). Kekerasan seksual berbasis elektronik, seperti
postingan dokumen rekayasa bernuansa seksual; dan (14). Pembunuhan politisi
perempuan (assassinations of women politicians/femisida).
Di sisi lain,
Komnas Perempuan mencatat bahwa ada korban yang tak ingin melaporkan kekerasan
yang dialaminya karena berisiko pada karir selanjutnya. Ruang pemulihan bagi
korban dalam konteks politik elektoral juga belum tersedia secara optimal.
Komnas Perempuan menyesalkan masih terjadinya kekerasan terhadap perempuan
dalam penyelenggaraan pemilu seperti
yang disebutkan di atas mengingat dampak serius, tidak hanya dapat
dilihat dari kerugian materil/fisik dan psikis, namun juga secara sosial dan
politik. Kekerasan terhadap perempuan dalam Pemilu akan berakibat sistematis
pada berkurangnya partisipasi perempuan dalam pemilu, ketidakpercayaan
masyarakat terhadap kandidat perempuan, hingga sulitnya politisi perempuan
untuk mengembangkan aktivitas politik mereka. Serangkaian dampak tersebut tentu
akan berkonsekuensi pada berkurangnya kualitas demokrasi dan penyelenggaraan
pemilu. Komnas
Perempuan juga menerima pengaduan terkait adanya kekerasan yang ditujukan
kepada perempuan di tahapan kampanye karena dituduh tidak mendukung salah satu
kandidat. Termasuk potensi penggunaan politik
identitas berbasis suku, agama, identitas gender dan lain sebagainya.
Berdasarkan pertimbangkan diatas, Komnas Perempuan menyatakan dan merekomendasikan hal-hal sebagai berikut:
- Komnas Perempuan memberikan apresiasi terhadap Komisi Pemilihan Umum yang telah menghadirkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No. 13 Tahun 2024 tentang Kampanye Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota, yang memuat aturan materi kampanye harus menggunakan bahasa Indonesia dan/atau bahasa daerah dengan kalimat yang sopan, santun, patut, dan pantas disampaikan, diucapkan, dan/atau ditampilkan kepada umum. Komnas Perempuan memandang penting pengimplementasiaan PKPU No. 13 Tahun 2024 oleh seluruh peserta Pilkada untuk tidak memberikan pernyataan atau ujaran yang seksis dan diskriminatif terhadap perempuan sebagaimana diamanatkan perundangan-undangan yang ada dan norma-norma HAM internasional;
- Badan Pengawas Pemilu perlu mengenali dan melakukan pengawasan intensif pada beragam bentuk kekerasan terhadap perempuan dalam penyelenggaraan Pilkada 2024;
- Partai Politik perlu memberikan pendidikan dan pemahaman terhadap kandidat Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah yang diusung untuk mencegah kekerasan terhadap perempuan, menghormati dan memenuhi hak-hak perempuan;
- Mendorong masyarakat menggunakan platform JITU (Jeli, Inisiatif, Toleran dan Ukur) sebagai acuan dalam menentukan pilihan pada Pilkada 2024;
- Media massa dan masyarakat untuk terus memantau penyelenggaraan Pilkada dan melaporkan pelanggaran dan kekerasan terhadap perempuan selama proses Pilkada;
- Komnas Perempuan terus melakukan pemantauan dan menerima pengaduan kekerasan berbasis gender terhadap perempuan dalam pelaksanaan Pilkada 2024.
Narasumber:
1.
Siti Aminah Tardi
2.
Veryanto Sitohang
3.
Rainy M. Hutabarat
4. Olivia Ch. Salampessy
Narahubung: Elsa Faturahmah (081389371400)