"Timbang Ulang Sekolah Khusus Korban Kekerasan Seksual"
Jakarta, 08 Desember 2025
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan)
berpandangan bahwa hak atas pendidikan adalah hak konstitusional warga negara
sebagaimana mandat Pasal 31 UUD 1945. Oleh karena itu, hak pendidikan adalah
bagian integral dari hak korban, termasuk korban kekerasan seksual. Hak
pendidikan juga merupakan bagian penting dalam proses pemulihan korban,
terlebih bagi anak yang memiliki hak atas tumbuh kembang, bebas dari kekerasan
dan diskriminasi. Hak-hak tersebut dijamin dalam konstitusi dan peraturan
perundang-undangan.
Komnas Perempuan menggarisbawahi bahwa upaya pemerintah untuk menyikapi
tantangan pemenuhan hak pendidikan dan pemulihan bagi korban kekerasan seksual
adalah tanggung jawab konstitusional atas pemenuhan hak asasi manusia. Pandangan
ini ditegaskan sebagai respons atas pernyataan Pemerintah melalui Kementerian
Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) terkait konsep sekolah khusus
korban kekerasan seksual.
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah
menyampaikan hal ini sebagai solusi alternatif keberlanjutan pendidikan
anak korban kekerasan seksual yang terancam putus sekolah. Kemendikdasmen
tengah mengkaji dua model sekolah khusus ini, pertama, sekolah khusus atau cottage
school sebagaimana yang dikembangkan di Amerika. Kedua, model boarding
school sebagaimana yang telah diterapkan di Indonesia.
Komnas Perempuan mengenali bahwa persebaran kasus kekerasan seksual pada anak terjadi hampir di seluruh Indonesia sehingga perlu mempertimbangkan kecukupan sumber daya mengingat kebutuhan sumber daya yang besar agar dapat diakses semua. Selain isu sumber daya, Komnas Perempuan juga menemukan masih kentalnya tantangan yang dihadapi perempuan anak korban kekerasan seksual dalam mengakses pendidikan berkelanjutan. Tantangan ini bersifat internal maupun eksternal:
- Secara internal, korban menanggung beban dampak kekerasan seksual yang dialaminya, termasuk malu dan gangguan psikologis yang dapat mengakibatkan dirinya mengurung diri, menarik diri dari pergaulan, maupun dari aktivitas belajar.
- Secara eksternal, budaya menyalahkan korban dan stigma pada korban kekerasan seksual sering menjadikan sekolah mengambil keputusan untuk membatasi akses pendidikan korban atau berada dalam kondisi yang tidak kondusif dalam menyikapi kehadiran korban.
- Pada konteks kebijakan, aturan pelaksana UU No.12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) juga belum semuanya disusun Pemerintah sehingga menjadi batu sandungan tersendiri dalam implementasinya. Sedangkan pada konteks sarana prasarana, lembaga layanan yang dikelola Pemerintah dalam bentuk UPTD PPA juga belum semuanya dibentuk terutama di wilayah kepulauan ataupun pada wilayah yang tidak memiliki kehendak politik cukup kuat dalam penghapusan kekerasan seksual.
Seluruh tantangan ini penting dipertimbangkan. Oleh karena itu Komnas
Perempuan mengingatkan bahwa penyediaan sekolah khusus dapat berisiko
menghalangi upaya pemulihan korban yang komprehensif. Di satu sisi, penyediaan
sekolah, sekilas dapat menjadi jawaban praktis pada tantangan tersebut di atas. Di sisi lain, sekolah khusus dapat
mengakibatkan korban terisolasi dan berdampak negatif bagi proses pemulihannya,
memperpanjang stigma karena korban dapat dengan mudah diidentifikasi lewat
status pelajar di sekolah khusus itu. Hal ini juga mempertimbangkan kebutuhan
sumber daya yang besar dalam penyediaan sekolah khusus, mengingat persebaran
geografis asal korban yang beragam.
Atas pertimbangan-pertimbangan yang telah dipaparkan di atas, Komnas Perempuan menyampaikan dan merekomendasikan hal-hal sebagai berikut:
- Pihak Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah untuk melakukan kajian lebih utuh atas usulan penyediaan sekolah khusus bagi korban kekerasan seksual. Kajian perlu dilakukan dengan mengaplikasikan prinsip uji cermat tuntas dan pelibatan multi aktor, terutama komunitas penyintas kekerasan seksual.
- Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak memperkuat efektivitas pelaksanaan sekolah ramah anak dengan pendekatan substantif untuk menciptakan ekosistem yang memberikan pelindungan, pemenuhan dan penguatan hak-hak anak dalam kondisi apa pun, dengan mengintensifkan program pemulihan bagi korban.
- Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah meningkatkan akses pendidikan dan pemulihan bagi anak korban kekerasan seksual dengan mengintesifkan pelaksanaan dari Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Satuan Pendidikan.
- Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mempercepat penyusunan aturan pelaksana UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagai basis memperkuat upaya korban mengakses keadilan dan pemulihan korban kekerasan seksual.
- Semua pihak turut mengupayakan penghapusan stigma dan diskriminasi pada korban kekerasan seksual.
Narasumber:
- Andy Yentriyani
- Alimatul Qibtiyah
- Theresia Iswarini
- Siti Aminah Tardi
Narahubung: Elsa Faturahmah (081389371400)