PERNYATAAN SIKAP
KOMISI NASIONAL ANTI
KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN
(KOMNAS PEREMPUAN)
TERHADAP
UJI MATERIIL PERMENDIKBURISTEK 30 TAHUN 2021 TENTANG
PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KEKERASAN SEKSUAL DI LINGKUNGAN PERGURUAN TINGGI
Jakarta, 22 Maret
2022
Komisi Nasional Anti Kekerasan
terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) merekomendasikan kepada Mahkamah Agung
untuk turut menguatkan upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual,
termasuk di lingkungan perguruan tinggi. Hal ini disampaikan Komnas Perempuan terkait
permohonan Uji Materiil Peraturan Menteri
Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 30 tahun
2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan
Perguruan Tinggi (Permendikbudristek 30/2021) yang diajukan oleh Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sumatera Barat, terhadap Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset
dan Teknologi Republik Indonesia. Setelah menelaah permohonan uji materiil ini,
Komnas Perempuan berpendapat bahwa permohonan ini patut ditolak secara
keseluruhan, sebagai penegasan kewajiban negara untuk menyediakan ruang
aman dari kekerasan seksual, terutama di lingkungan pendidikan.
Terdapat tiga dasar pendapat Komnas Perempuan untuk
merekomendasikan penolakan pada permohonan uji materiil tersebut di atas. Pertama,
Pemohon tidak memenuhi
kriteria untuk mengajukan keberatan atas Permendikbudristek 30/2021 karena
tidak mampu membuktikan kualifikasinya antara sebagai masyarakat hukum adat
atau badan hukum publik, tidak memiliki kerugian hak warga negara, tidak
memiliki hubungan sebab akibat antara kerugian dan obyek permohonan dan
pembatalan obyek permohonan tidak akan menghentikan tindakan kekerasan seksual.
Kedua Termohon telah memenuhi Prosedur Formal Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, yaitu Permendikbudristek 30/2021 diterbitkan sesuai
kewenangan dan telah memenuhi proses menerima saran dan masukan baik secara
lisan maupun tertulis dari kelompok masyarakat yang akan menjadi sasaran
pemberlakuan obyek permohonan.
Ketiga, frasa “tanpa
persetujuan korban” atau “tidak
disetujui oleh korban” adalah untuk: (i) membedakan antara kekerasan dengan
aktivitas seksual lainnya yang ditindaklanjuti oleh Tim Satuan Tugas Pencegahan
dan Penanganan Kekerasan Seksual; (ii) mengenali siapa pelaku dan siapa korban, sehingga kemudian dapat
ditentukan pemberian layanan pemulihan dan sanksi dari aktivitas seksual yang
dimaksud; (iii) mendidik civitas
akademika, khususnya peserta didik perempuan, untuk menolak permintaan
seksual berkaitan dengan relasi kuasa yang ada di lingkungan Pendidikan, dan
(iv) mendidik civitas akademika bahwa terdapat aktivitas-aktivitas dalam
relasi kuasa yang tidak disukai, tidak diinginkan, menyerang atau tidak
disetujui seseorang sehingga seharusnya relasi yang terbangun adalah relasi
dengan budaya penghormatan terhadap tubuh dan seksualitas setiap orang; (v) sejalan dengan prinsip dan norma HAM internasional
sebagaimana dimandatkan PBB yang menekankan “persetujuan korban” sebagai inti
dari kekerasan seksual berbasis gender. Frasa “tanpa persetujuan korban” atau “tidak disetujui oleh korban” ini
ditemukan pada Pasal 5 Ayat 2 huruf b, f, g, h, j, l dan m yang memuat
frasa yang ditafsirkan Pemohon sebagai pintu membuka
terjadinya perzinahan di lingkungan perguruan tinggi. Komnas Perempuan berpendapat bahwa tafsir ini
menunjukkan ketidakpahaman pada persoalan kekerasan seksual juga keliru karena ditafsirkan
terbalik (a contrario).
Komnas Perempuan juga merekomendasikan pembaruan
mekanisme uji materiil peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang di
Mahkamah Agung (MA) untuk mendengar para pihak yang berkepentingan, termasuk
warga perempuan yang memiliki pengalaman khas dan kepentingan berbeda
dibandingkan laki-laki atas keberadaan dan penerapan norma hukum, agar putusan
uji materiil di MA berkontribusi terhadap penghapusan kekerasan dan
diskriminasi terhadap perempuan.
Komnas Perempuan berpandangan bahwa hukum acara
sebagaimana diatur dalam Perma No. 1 tahun 2011 perlu diperbarui dengan
pertimbangan: Pertama, uji materi sebagai perwujudan check and
balance di antara kekuasaan negara dan mekanisme untuk menjamin hak-hak
warga negara sebagaimana yang dimandatkan Konstitusi RI dan peraturan
perundang-undangan, maka pemeriksaannya haruslah didasarkan kepada kepentingan dan partsipasi publik, di antaranya menjadikan mekanisme uji materi terbuka dan
akuntabel seperti pemeriksaan uji materiil di Mahkamah Konstitusi. Karena melalui
pengadilan yang terbuka dan transparan, perempuan
warga negara dapat mengetahui proses
pemeriksaan dan pengambilan keputusan, didengar kepentingannya baik sebagai
saksi, ahli maupun pihak yang berkepentingan langsung/tidak langsung. Kedua,
Perma No. 1 tahun 2011 tidak lagi memadai, karena bertentangan dengan: UU
Kekuasaan Kehakiman, asas audi alteram et partem atau pihak-pihak yang
berperkara harus diberi kesempatan untuk memberikan keterangan dan menyampaikan
pendapatnya secara setara, keterbukaan informasi di pengadilan, dan melaksanakan
mandat Kode Etik/Perilaku Hakim, di antaranya nilai independensi, imparsial dan
integritas.
Pentingnya uji tuntas berupa pembaruan hukum acara uji materiil ini, juga
berkaitan dengan kebijakan-kebijakan diskriminatif di tingkat daerah. Di akhir
2021, dokumentasi yang dilakukan Komnas Perempuan terhadap 441 kebijakan diskriminatif, dengan rincian
305 kebijakan masih berlaku, 29 kebijakan telah diklarifikasi Kemendagri, 81
kebijakan telah dicabut/dibatalkan dengan kebijakan baru, 1 kebijakan
dibatalkan pengadilan, 25 kebijakan tidak berlaku dan dikeluarkan dari
dokumentasi. Komnas Perempuan juga
mencatat pada 2021, terbit 20 kebijakan diskriminatif yang masih menggunakan
pola pengaturan yang sama, yaitu kriminalisasi, kontrol terhadap tubuh perempuan
melalui pembatasan hak berekspresi dan berkeyakinan, pembatasan hak beragama,
serta pembatasan hak melalui pengaturan kehidupan beragama, dimana salah satu upaya koreksinya adalah
melalui uji materiil di Mahkamah Agung.
Kelemahan mekanisme tersebut telah berkontribusi pada putusan-putusan uji materiil yang merugikan kepentingan warga negara termasuk perempuan, seperti dalam Uji Materiil Peraturan Daerah (Perda) Tangerang Nomor Perda No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran, dan terakhir dalam Uji Materiil SKB Tiga Menteri tentang Pengaturan Busana di Lingkungan Pendidikan. Karena keterbatasan mekanisme uji materiil di Mahkamah Agung (MA), Komnas Perempuan memberikan Keterangan Tertulis Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan Sebagai Sahabat Pengadilan (Amicus Curiae). Mekanisme amicus curiae ini dapat digunakan sebagai salah satu cara agar Majelis Hakim menemukenali kekerasan berbasis gender, prinsip-prinsip hak asasi perempuan dan dampak-dampak sebuah peraturan perundang-undangan dan/atau putusan pengadilan terhadap perempuan.
Berdasarkan hal-hal di atas, Komnas Perempuan merekomendasikan agar: 1. Mahkamah Agung untuk: a. Menolak permohonan uji materiil Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 secara keseluruhan; sebagai penegasan kewajiban negara untuk menyediakan ruang aman dari kekerasan seksual, terutama di lingkungan pendidikan. b. memperbarui mekanisme pemeriksaan uji materiil peraturan perundang-undangan di bawah UU menjadi terbuka, akuntabel dan mendengarkan kepentingan pihak-pihak yang terdampak langsung maupun tidak langsung dari keberlakuan peraturan perundang-undangan; c. melakukan pengawasan agar Hakim pemeriksa permohonan yang ditunjuk tidak memiliki konflik kepentingan dengan Pemohon atau Termohon dan senantiasa mengedepankan nilai-nilai indepedensi, imparsial, dan integritas. 2. Jaringan akademisi dan masyarakat sipil untuk berpartisipasi memberikan pendapat dalam Uji Materiil ini berdasarkan pengalaman perempuan korban kekerasan seksual dalam mendapatkan keadilan, kebenaran dan pemulihan dalam uji materiil ini dan juga cita-cita pendidikan nasional. 3. Korban, penyintas dan pendamping korban untuk tetap saling menguatkan dalam penanganan kasus kekerasan seksual khususnya yang terjadi di lingkungan pendidikan.
Berdasarkan hal-hal di atas, Komnas Perempuan merekomendasikan agar:
1. Mahkamah Agung untuk:
a. Menolak permohonan uji materiil Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 secara keseluruhan; sebagai penegasan kewajiban negara untuk menyediakan ruang aman dari kekerasan seksual, terutama di lingkungan pendidikan.
b. memperbarui mekanisme pemeriksaan uji materiil peraturan perundang-undangan di bawah UU menjadi terbuka, akuntabel dan mendengarkan kepentingan pihak-pihak yang terdampak langsung maupun tidak langsung dari keberlakuan peraturan perundang-undangan;
c. melakukan pengawasan agar Hakim pemeriksa permohonan yang ditunjuk tidak memiliki konflik kepentingan dengan Pemohon atau Termohon dan senantiasa mengedepankan nilai-nilai indepedensi, imparsial, dan integritas. melakukan pengawasan agar Hakim pemeriksa permohonan yang ditunjuk tidak memiliki konflik kepentingan dengan Pemohon atau Termohon dan senantiasa mengedepankan nilai-nilai indepedensi, imparsial, dan integritas.
2. Jaringan akademisi dan masyarakat sipil untuk berpartisipasi memberikan pendapat dalam Uji Materiil ini berdasarkan pengalaman perempuan korban kekerasan seksual dalam mendapatkan keadilan, kebenaran dan pemulihan dalam uji materiil ini dan juga cita-cita pendidikan nasional.
3. Korban, penyintas dan pendamping korban untuk tetap saling menguatkan dalam penanganan kasus kekerasan seksual khususnya yang terjadi di lingkungan pendidikan.
Narasumber:
1.
Siti Aminah Tardi
2.
Alimatul Qibtiyah
3.
Rainy M Hutabarat
4.
Andy Yentriyani
Narahubung: 0813-8937-1400