24 Maret 2022
Mahkamah Agung (MA) menyambut positif masukan dari Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) pada kebutuhan untuk menguatkan pemenuhan jaminan hak atas kepastian dan perlindungan hukum terkait perempuan berhadapan dengan hukum, termasuk dalam penyelenggaraan otonomi khusus di Aceh. Hal ini disampaikan oleh Ketua Mahkamah Agung, Prof. Dr. Muhammad Syarifuddin,SH.,MH, dalam dialog bersama Komnas Perempuan, di kantor MA, Kamis, 24 Maret 2021. Pada kesempatan ini, Komnas Perempuan juga menyerahkan secara resmi pertimbangan Komnas Perempuan sebagai sahabat peradilan (Amicus Curiae) atas permohonan judicial review pada Peraturan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Permendikbud) No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.
Hadir di dalam pertemuan ini Ketua Komnas Perempuan (Andy Yentriyani), Ketua Subkom Partisipasi Masyarakat Komnas Perempuan (Veryanto Sitohang), Ketua Subkomisi Reformasi Hukum dan Kebijakan Komnas Perempuan (Siti Aminah Tardi), Ketua Subkomisi Pendidikan Komnas Perempuan (Alimatul Qibtiyah), serta Badan Pekerja Komnas Perempuan Dahlia Madanih dan Triana Komalasari. Dari pihak Mahkamah Agung, selain Ketua juga dihadiri oleh Wakil Ketua Bidang Non Yudisial Bapak DR. H. Sunarto, SH., MH, Ketua Kamar Pembinaan, Prof. Dr. H. Takdir Rahmadi, S.H., LL.M, Hakim Agung dan anggota pokja perempuan dan anak Mahkamah Agung .
Dalam konteks penyelenggaraan otonomi khusus Aceh, Komnas Perempuan menyampaikan bahwa dalam Qanun No. 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat terdapat beberapa lapisan persoalan yang penting untuk disikapi oleh Mahkamah Agung karena berhubungan erat dengan akses keadilan hukum, terutama perlindungan perempuan korban pelecehan seksual dan perkosaan. Kajian Komnas Perempuan menunjukkan bahwa di aspek substansi, pengaturan tentang perkosaan menyamakan dengan tindak zina tanpa mempertimbangkan kerentanan perempuan korban. Hal ini antara lain ditunjukkan dengan pengaturan tentang sumpah maupun bentuk pemidanaan terhadap pelaku. Pengaturan serupa ini membuat perempuan korban perkosaan rentan diabaikan atas alasan tidak cukup bukti, atau dikriminalisasi dengan delik zina ketika dianggap sebagai tindakan sukarela. Pemidanaan yang kerap dipilih bagi pelaku perkosaan dan pelecehan seksual adalah cambuk, yang selain bertentangan dengan hukum nasional terkait upaya menghapus penyiksaan, juga merisikokan keselamatan jiwa korban dari tindak balas dendam pelaku yang bisa segera kembali ke masyarakat pasca eksekusi. Risiko ini dihadapi baik oleh korban yang berusia anak maupun perempuan dewasa. Dengan pertimbangan ini, kini berdasarkan Surat Edaran MA No. 3/SEMA 10/2020, hukuman bagi pelaku pelecehan seksual dan perkosaan terhadap anak adalah pidana penjara. Namun, pengaturan ini tidak berlaku untuk kasus dengan korban perempuan di atas usia 18 tahun. Persoalan lain adalah, penguasaan hakim agama pada hukum pidana dan ketrampilan pemeriksaan tindak pidana juga lemah. Kondisi ini terutama merugikan perempuan berhadapan dengan hukum. Sepanjang tahun 2021, Komnas Perempuan mencatat ada 23 perempuan yang mendapatkan hukuman cambuk.
Komnas Perempuan memberikan perhatian khusus pada perlindungan perempuan di Aceh sejak berdirinya Komnas Perempuan tahun 1998. Hal ini secara konsisten ditunjukkan Komnas Perempuan dalam mendukung perempuan korban konflik memperjuangkan akses keadilan dan pemulihannya, termasuk melalui kerjasama dengan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh (KKR Aceh). Komnas Perempuan telah menyampaikan pertimbangannya pada pengaturan tentang perkosaan dan pelecehan seksual sejak perumusan rancangan Qanun Jinayat. Juga, terus memberikan masukan untuk pertimbangan revisi kepada pemerintah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh, serta berbagai kementerian/ lembaga di tingkat nasional yang relevan berdasarkan pengalaman perempuan.
Mengingat pentingnya memperkuat kepastian dan perlindungan hukum dalam upaya merawat integritas hukum nasional di dalam konteks penyelenggaraan otonomi khusus, Komnas Perempuan meminta Mahkamah Agung untuk melakukan langkah-langkah strategis dalam mengatasi hambatan perempuan pada akses keadilan hukum di Aceh. Termasuk di dalamnya adalah menggunakan peluang revisi Qanun Jinayat yang kini tengah bergulir di Aceh dengan memberikan pertimbangan untuk a) meninjau kembali Pasal 72 Qanun Jinayat yang menjadi dasar mengecualikan pelindungan hukum nasional bagi perempuan korban perkosaan dan pelecehan seksual/pencabulan, b) memastikan pidana cambuk tidak digunakan dalam tindak perkosaan dan pelecehan seksual, serta c) memastikan penguatan upaya pemulihan korban. Juga, memberikan perhatian pada penguatan kapasitas hakim dan pengawasan pelaksanaan Peraturan MA No. 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perempuan Berhadapan dengan Hukum.
Komnas Perempuan mencermati bahwa Perma No. 3 Tahun 2017 merupakan terobosan penting dalam memastikan pelindungan hukum bagi perempuan. Karenanya, Komnas Perempuan turut mensosialisasikan aturan ini dan juga menjadikan rujukan dalam penyikapan kasus kekerasan terhadap perempuan di dalam proses persidangan.
Dalam kesempatan ini, Komnas Perempuan juga mengapresiasi kerjasama dengan Badilag yang secara rutin memperkuat pencatatan data kasus kekerasan terhadap perempuan yang dikompilasi Komnas Perempuan menjadi Catatan Tahunan. Selain data perceraian yang dilengkapi dengan alasannya, data dari Badilag juga memberikan informasi penting tentang dispensasi perkawinan. Komnas Perempuan berkeinginan menindaklanjut kerjasama ini dengan kajian yang lebih mendalam mengenai keterhubungan perkawinan anak dengan persoalan kekerasan di dalam rumah tangga dan perceraian. Komnas Perempuan juga berharap MA akan mendukung kajian tentang penyelenggaraan keadilan restoratif dan restitusi.
Masukan lain yang disampaikan Komnas Perempuan kepada MA adalah perbaikan mekanisme persidangan Judicial review (Pengujian Peraturan Perundang-Undangan di bawah Undang-Undang) di Mahkamah Agung agar menjadi lebih transparan, partisipatif dan akuntabel. Kejelasan waktu persidangan dan akses untuk menyampaikan pendapat atau pandangan menjadi aspek penting dalam perbaikan ini. Pertimbangan dari berbagai pihak akan mendukung hakim melakukan penggalian informasi secara mendalam terhadap isu yang diujikan. Masukan terkait perbaikan ini telah disampaikan Komnas Perempuan sejak tahun 2010, dan juga di dalam pandangan Komnas Perempuan pada proses pengujian Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.
Pertemuan tersebut mendapatkan tanggapan positif dari Mahkamah Agung. Ketua Mahkamah Agung mengapresiasi beragam data dan informasi yang disampaikan Komnas Perempuan. Mahkamah Agung akan menindaklanjuti laporan-laporan tersebut sehingga akses perempuan terhadap perlindungan dapat diwujudkan. Ketua Mahkamah Agung juga menyampaikan bahwa hasil temuan fakta di lapangan oleh Komnas Perempuan merupakan informasi yang penting disampaikan kepada Pemerintah Daerah yang sedang melakukan upaya perubahan. Mahkamah Agung sesuai dengan tugas dan kewenangan akan mendalami masalah yang disampaikan sehingga akan ada langkah lanjutan yang perlu dilakukan ke depan. Terkait kondisi di Aceh, informasi yang disampaikan akan didiskusikan pada bidang kamar agama. Ketua MA juga menginformasikan adanya tim terkait keadilan restoratif yang dapat menjadi mitra Komnas Perempuan.
Ketua MA juga bersepakat mengenai pentingnya perbaikan pada mekanisme persidangan pengujian materiil, namun akan membutuhkan dukungan sumber daya dan infrastruktur. Namun, perbaikan ini dapat diawali dengan memastikan informasi mengenai jadwal persidangan sehingga lebih memudahkan berbagai pihak untuk berpartisipasi memberikan informasi mengenai fakta dan pertimbangan-pertimbangan. Ini akan memperluas khazahah pemahaman hakim dalam memutus perkara demi mewujudkan keadilan.
Narasumber:
- Andy Yentriyani
- Veryanto Sitohang
- Siti Aminah Tardi
- Alimatul Qibtyah
Narahubung: 0813-8937-1400