Press Release
No. 003/PR/NPM/IV/2021
Mencegah Praktek Penyiksaan Butuh Kolaborasi antar Lembaga
Jakarta, 17 April 2021
Penyiksaan dan tindakan penghukuman yang tidak manusiawi lainnya masih sering terjadi di Indonesia. Terutama di tempat-tempat terjadinya pencabutan kebebasan seseorang, seperti rumah-rumah tahanan, lapas, panti-panti sosial dan tempat-tempat menyerupai rumah tahanan lainnya.
Penyiksaan yang tidak dicegah sedari awal atau dibiarkan, sama dengan memberikan izin secara tidak langsung penyiksaan terjadi. Praktek penyiksaan adalah perbuatan yang membahayakan hak asasi manusia, karena bisa menjadi pintu masuk bagi terjadinya pelanggaran hak asasi manusia lainnya, seperti perampasan hak hidup. Penyiksaan juga kerap tidak mudah dideteksi, karena terjadinya di ruangan-ruangan tertutup, disembunyikan dari mata publik dan korbannya acap kali diam, karena takut mendapat siksaan yang lebih berat atau diancam jika buka mulut.
Setiap tahun selalu ada pengaduan ke Komnas HAM, tentang terjadinya praktek penyiksaan. Bahkan media massa juga sering memberitakan terjadinya penyiksaan setelah korbannya jatuh. Dalam perspektif hak asasi manusia, penyiksaan dan penghukuman yang sewenang-wenang-wenang, tidak manusia adalah pelanggaran hak asasi manusia yang serius. Sebab, merendahkan harkat dan martabat manusia. Perbuatan seperti itu bertentangan konstitusi dan hukum di Indonesia.
Menyadari bahwa diperlukan banyak energi dan otoritas untuk bisa menyingkap dan mencegah praktek-praktek penyiksaan di Indonesia, maka Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Ombudsman Republik Indonesia (ORI), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) bersepakat untuk berkerjasama dalam rangka mencegah praktek penyiksaan dan menyusun strategi bersama untuk mendorong terbentuknya Mekanisme Nasional Pencegahan Penyiksaan (NPM) di Indonesia. Kerja sama ini disebut sebagai Kerja Sama untuk Pencegahan Penyiksaan (KuPP).
Kerja sama ini telah berjalan selama lima (5) tahun. Sejumlah kegiatan telah dilakukan, sejumlah hasil telah dicapai. Capaian tersebut dapat dilihat pertama, pada penerapan prinsip-prinsip National Preventive Mechanism (NPM) sebagaimana Optional Protocol Convention Against Torture (OpCAT) secara nyata. KuPP telah melakukan pemantauan pada sejumlah lapas/rutan pada tahun 2019. Melalui dialog konstruktif KuPP bersama Ditjen Pemasyarakatan temuan pemantauan didiskusikan secara intensif yang menghasilkan kesepakatn ‘rencana aksi bersama’; yang menjadi rujukan untuk menilai kembali sejauh mana perubahan-perubahan terjadi. Salah satu tindak lanjutnya adalah Pelatihan bagi Pelatih (Training of Trainers) bagi staf Ditjen PAS untuk dilanjutkan dengan pelatihan di berbagai tempat di Indonesia, dalam wilayah kerja Ditjen PAS. Tercatat 25 peserta (36% diantaranya perempuan) mengikuti pelatihan dengan fasilitator berpengalaman. Peningkatan kapasitas ini diharapkan berkontribusi pada semakin baiknya perlakuan terhadap warga binaan di lapas, lapas perempuan, LPKA (Lembaga Pembinaan Khusus Anak) sesuai dengan norma dan standar hak asasi manusia, dan tempat-tempat tersebut semakin mendekati standar internasional. Capaian yang lain adalah dukungan Menko Polhukam Bapak Mahfud MD dan berbagai kementerian/lembaga akan perlunya ratifikasi Protokol Pilihan Konvensi Anti Penyiksaan (Optional Protocol CAT). Hal lain yang merupakan dampak positif dari kerja sama ini adalah adanya pemahanan yang semakin merata di 5 lembaga negara mengenai penyiksaan dan pencegahan penyiksaan.
Terwujudnya MEKANISME PENCEGAHAN PENYIKSAAN NASIONAL merupakan tuntutan konstitusional dan kebutuhan bagi hidup bersama yang bebas dari penyiksaan. Karena semua pihak mengakui bahwa tindak penyiksaan harus dihentikan dan keberulangannya harus dicegah di Indonesia. Tidak ada satu budaya pun, termasuk budaya bangsa Indonesia, yang membenarkan tindak penyiksaan dan perbuatan kejam yang semena-mena lainnya terjadi.
KuPP mengapresiasi keterbukaan dan sikap kooperatif yang telah ditunjukkan berbagai pihak di pemerintahan, yaitu Kemenkopolhukam, Kemlu, Polri, Kemenkumham, terutama Ditjen Pemasyarakatan dan Ditjen Imigrasi. Serta dukungan dari LSM-LSM yang menjadi pilar dari masyarakat sipil. Ini semua adalah upaya untuk kerja berkolaborasi antar lembaga negara dan masyarakat sipil dalam mencegah terjadinya tindakan penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi lainnya.
Kolaborasi itu dibutuhkan, untuk mencegah dan menghentikan praktek penyiksaan tersebut. Karena penyiksaan bisa terjadi karena, penyalahgunaan kewenangan, kesalahan secara administrasi, tidak terlindunginya korban dan saksi, korbannya bisa meliputi anak-anak dan perempuan. Maka dari itu perpaduan energi dan kewenangan lima (5) lembaga negara ini akan mampu untuk mendorong lembaga lain yang memiliki otoritas langsung atas tempat-tempat terjadinya penyiksaan itu bisa mencegah sedari dini. KuPP percaya bahwa sikap terbuka dan transparan dari instansi-instansi yang berwenang tersebut dalam bekerja seiring dengan KuPP akan bisa lebih cepat menghasilkan perbaikan-perbaikan yang substansial. Serta bisa meningkatkan skill personel lebih cepat dan lebih baik.
Oleh karena itu, kerjasama berbagai lembaga (multy-bodies) ini, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Ombudsman Republik Indonesia (ORI), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) bersepakat untuk melanjutkan kerjasama yang telah dimulai sejak 2016 hingga 2021. Maka hari ini Nota Kesepahaman tersebut diperpanjang sampai Januari 2022. Sekaligus memperpanjang PKS yang sudah ada.
Perpanjangan Nota Kesepahaman 5 lembaga ini ditandatangani oleh Ketua Komnas HAM RI Ahmad Taufan Damanik, Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani, Ketua KPAI Susanto, Ketua Ombudsman RI Mokhammad Najih, Ketua LPSK Hasto Atmojo Suroyo, sedangan PKS 5 lembaga ditandatangani oleh Wakil Ketua Eksternal Komnas HAM RI Amiruddin Al-Rahab, Wakil Ketua Komnas Perempuan Mariana Amiruddin, Komisioner KPAI Putu Elvina, Anggota Ombudsman RI Johanes Widijantoro, dan Wakil Ketua LPSK Maneger Nasution di Kantor Komnas HAM RI.
Perpanjangan Nota Kesepahaman Bersama dan PKS ini menjadi pertanda telah terjalinnya kolaborasi strategis antara 5 lembaga Negara dalam upaya pencegahan penyiksaan di Indonesia. Kolaborasi ini juga memberi pengalaman-pengalaman berharga (good practices) ketika kelak Indonesia meratifikasi OpCAT. Karena, KuPP sudah menerapkan prinsip-prinsip utama Mekanisme Pencegahan Penyiksaan.
Kerja Sama untuk Pencegahan Penyiksaan
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia; Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan; Komisi Perlindungan Anak Indonesia; Ombudsman Republik Indonesia; Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban