...
Siaran Pers
Siara Pers Komnas Perempuan: Wujudkan Pilkada yang Mendukung Penghapusan Kekerasan dan Diskriminasi terhadap Perempuan

Jakarta, 19 Agustus 2024

 

Menyongsong penyelenggaraan Pemilihan Umum Daerah (Pilkada) serentak pada November 2024, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyerukan semua pihak untuk mewujudkan Pilkada yang berkualitas dan mendukung penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Untuk itu, Komnas Perempuan merekomendasikan perubahan syarat calon kepala daerah untuk memastikan pelaksanaan komitmen tanggung jawab negara dalam penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Juga, kepada partai politik (Parpol) untuk memilih dan mengusung pasangan calon yang tidak memiliki rekam jejak melakukan kekerasan berbasis gender terhadap perempuan dan memiliki komitmen kuat untuk melakukan pengarusutamaan gender ketika terpilih.

Komnas Perempuan membuat catatan kritis pada Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 8 Tahun 2024 Tentang Pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota. Pada aturan ini, di antaranya, calon harus memenuhi syarat tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan atau tindak pidana politik dan bukan mantan terpidana bandar narkoba dan terpidana kejahatan seksual terhadap anak.

Komnas Perempuan berpendapat ketentuan ini membuka ruang bagi pelaku kekerasan dalam rumah tangga dan tindak pidana kekerasan seksual untuk mengikuti pencalonan untuk pemilihan kepala daerah. Hal ini karena sejumlah tindak kekerasan terhadap perempuan dihadapkan dengan ancaman di bawah lima tahun. Misalnya saja, pada Undang-Undang Penghapusan Kekerasan di Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), kekerasan fisik sebagaimana diatur dalam  Pasal 44 ayat (4), kekerasan psikis pada Pasal 45 dan penelantaran pada Pasal 49 memiliki ancaman pidana kurang dari lima tahun. Demikian juga halnya dengan tindak pidana pelecehan seksual non fisik dan kekerasan seksual berbasis elektronik dalam UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).

Komisioner Siti Aminah Tardi menjelaskan, bahwa selain dari aspek substansi yang memungkinkan ancaman pidana dari tindak kekerasan terhadap perempuan adalah kurang dari 5 tahun, penting juga mencermati hambatan keadilan yang dihadapi korban.

“Banyak korban KDRT lebih memilih bungkam atau  tidak memproses secara pidana kasus yang dihadapinya,” ungkap Siti.

Hambatan keadilan juga terkait akses bagi korban untuk melaporkan kasusnya dan dukungan untuk melewati proses hukum yang tidak gampang sehingga bisa sampai pada putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap. 

“Mencermati ini, Komnas Perempuan berpendapat ketentuan KPU perlu memperluas persyaratan yang melarang pencalonan pelaku kekerasan terhadap perempuan, tidak hanya untuk yang sudah berkekuatan hukum tetap, tapi juga berlaku bagi  yang pernah dilaporkan melakukan kekerasan terhadap perempuan,” jelasnya.

Seruan untuk memilih calon kepala daerah yang diketahui merupakan pelaku atau resisten pada upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan tidak dapat dilepaskan dari angka kekerasan terhadap perempuan setiap tahunnya. Komisioner Alimatul Qibtiyah mengutip Catatan Tahunan (CATAHU) 2023 yang melaporkan sekurangnya ada 339.782 kasus kekerasan terhadap perempuan. Juga, masih ada 305 kebijakan diskriminatif yang berlaku di berbagai daerah yang menyasar dan berdampak terhadap perempuan, seperti kebijakan diskriminatif atas nama agama, moralitas, pemaksaan busana keagamaan yang berdampak pembatasan, pembedaan, pelecehan, pengucilan dan/atau pengabaian terhadap perempuan.

“Kepala Daerah akan memimpin upaya-upaya penghapusan kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan di daerahnya. Karenanya, mereka harus memiliki perspektif dan keberpihakan terhadap perempuan,” jelas Alimatul.  

Perspektif kepala daerah akan berkontribusi pada penyusunan program-program strategis perempuan dan meningkatkan status perempuan agar lebih setara dengan laki-laki. Adapun program yang dimaksud tidak terbatas pada dukungan penuh terhadap UPTD PPA, pengarusutamaan gender dan peningkatan terhadap akses pendidikan, kesehatan dan keadilan untuk warganya.

“Untuk itu Komnas Perempuan merekomendasikan agar Partai Politik Peserta Pemilu atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu dalam mengusung pasangan calon untuk cermat dan melakukan penelusuran rekam jejak terkait kekerasan berbasis gender. Jika teridentifikasi sebagai pelaku, maka jangan diusung atau dicalonkan,” tegas  Alimatul Qibtiyah.

Rekomendasi-rekomendasi di atas bagi Komnas Perempuan merupakan pewujudan dari pelaksanaan mandat Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), yang telah menjadi bagian dalam hukum nasional melalui UU No. & tahun 1984. Secara khusus ada Rekomendasi Umum No. 23 terkait Perempuan dan Kehidupan Publik dan Politik yang menyatakan bahwa negara-negara Pihak harus mengambil semua tindakan yang tepat untuk menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan dalam kehidupan politik dan publik negara dan memastikan hak-hak politik perempuan terpenuhi.  

“CEDAW mengamanatkan agar para pemimpin negara terlibat aktif dalam upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan  dengan tidak melakukan suatu tindakan atau praktik diskriminasi terhadap perempuan, dan menjamin agar pejabat-pejabat dan lembaga-lembaga publik akan bertindak sesuai dengan kewajiban ini,” kata Komisioner Theresia Iswarini.

Sebelumnya, Komnas Perempuan telah mengagas kampanye JITU yang merupakan akronim dari Jeli, Inisiatif, Toleran dan Ukur sejak 2009. Kampanye JITU menyerukan bagi warga untuk menilai para calon pemimpin pada semua tingkatan yang 1) memiliki komitmen dan kontribusi nyata kepala daerah dalam mendukung penegakan Hak Asasi Manusia; terutama kekerasan terhadap perempuan dan 2) mengedepankan inklusivitas, termasuk perlindungan dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan. Berbasis JITU, pemilih disarankan untuk berinisiatif mencari tahu dan mendukung visi dan misi calon kepala daerah yang membuka akses partisipasi pada kelompok rentan, terbuka menerima kritik dan mampu bekerja sama lintas untuk menyelesaikan masalah-masalah di daerah, termasuk pencegahan dan penanganan kekerasan dan diskriminasi berbasis gender.

 “Sebagai warga kita bisa turut memastikan bahwa calon yang dipilih bukan pelaku atau pendukung tindak kekerasan terhadap perempuan, baik di dalam kehidupan pribadi, dalam hubungan kerja maupun dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat lainnya,” jelas Andy Yentriyani, ketua Komnas Perempuan mengenai langkah yang dapat dilakukan warga dalam mengaplikasi JITU.

Menurut Andy, kita perlu pastikan program-program yang ditawarkan calon yang dipilih adalah yang menjawab persoalan-persoalan nyata yang dihadapi oleh masyarakat, bukan sekedar untuk pencitraan diri. 

“Jika terpilih, lakukan pengawasan agar kepemimpinannya sungguh-sungguh memberikan manfaat untuk masyarakat,” tegasnya.

Narahubung: Elsa Faturahmah (081389371400)


Pertanyaan / Komentar: