SIARAN PERS
KOMISI NASIONAL
ANTI KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN
Atas kasus NWR, Korban Kekerasan Seksual di
Mojokerto yang Mengakhiri Hidupnya
DARURAT KEKERASAN SEKSUAL:
BOM WAKTU KETERBATASAN LAYANAN
PENDAMPINGAN KORBAN DI TENGAH LONJAKAN PENGADUAN KASUS KEKERASAN SEKSUAL
Jakarta, 6 Desember 2021
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap
Perempuan (Komnas Perempuan) menyampaikan duka yang mendalam atas meninggalnya
NWR, korban kekerasan seksual di Mojokerto yang mengakhiri hidupnya. Kasus ini sungguh
memilukan dan menjadi kesedihan bagi keluarga korban dan
kita semua.
Kisah tragis NWR harus menjadi pelajaran
bagi kita. Kasus ini merupakan alarm keras pada kondisi darurat kekerasan
seksual di Indonesia yang membutuhkan tanggapan serius dari aparat penegak
hukum, pemerintah, legislatif dan masyarakat. Daya penanganan kasus kekerasan
terhadap perempuan sangat rapuh di tengah kondisi layanan yang sangat terbatas
kapasitasnya menghadapi lonjakan pelaporan kekerasan seksual yang semakin
tinggi dengan jenis kasus yang semakin kompleks. Menyegerakan pengesahan RUU
Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang meneguhkan komitmen negara dalam
pelaksanaan tanggung jawab pemulihan korban, selain memutus impunitas, adalah langkah
mendesak. Mengembangkan ekosistem dukungan bagi korban juga tidak lagi dapat
ditunda: dari keluarga hingga bagi lembaga-lembaga yang menyelenggarakan
layanan, mulai dari desa hingga nasional.
NWR adalah korban kekerasan yang bertumpuk
dan berulang-ulang dalam durasi hampir dua tahun sejak 2019. Ia terjebak dalam
siklus kekerasan di dalam pacaran yang menyebabkannya terpapar pada tindak
eksploitasi seksual dan pemaksaan aborsi. Saat menghadapi kehamilan yang tidak
diinginkan, pacar NWR yang berprofesi sebagai anggota kepolisian memaksanya
untuk menggugurkan kehamilan dengan berbagai cara: memaksa meminum pil KB,
obat-obatan dan jamu-jamuan, bahkan pemaksaan hubungan seksual karena
beranggapan akan dapat menggugurkan janin. Peristiwa pemaksaan aborsi bahkan
terjadi hingga dua kali. Pada kali kedua
bahkan korban sampai mengalami pendarahan, trombosit berkurang dan jatuh sakit.
Dalam keterangan korban, pemaksaan aborsi oleh pelaku juga didukung oleh
keluarga pelaku yang awalnya menghalangi perkawinan pelaku dengan korban dengan
alasan masih ada kakak perempuan pelaku yang belum menikah dan kemudian bahkan
menuduh korban sengaja menjebak pelaku agar dinikahi. Pelaku juga diketahui
memiliki hubungan dengan perempuan lain, namun pelaku bersikeras tidak mau memutuskan
relasinya dengan korban. Selain berdampak pada kesehatan fisik, korban juga
mengalami gangguan kejiwaan yang hebat. Ia merasa tidak berdaya, dicampakkan,
disia-siakan, berkeinginan menyakiti
diri sendiri dan didiagnosa obsessive
compulsive disorder (OCD) serta gangguan psikosomatik lainnya.
Kekerasan
dalam pacaran (KDP) adalah jenis kasus kekerasan di ruang privat/personal yang
ketiga terbanyak dilaporkan. Pada kurun 2015-2020 tercatat 11.975 kasus yang
dilaporkan oleh berbagai pengada layanan dihampir 34 Provinsi, sekitar 20% dari
total kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di ranah privat. Dalam
kurun waktu yang sama, rata-rata 150 kasus per tahun dilaporkan langsung ke
Komnas Perempuan. Kasus ini seringkali berakhir dengan kebuntuan diproses
hukum. Latar belakang relasi pacaran kerap menyebabkan peristiwa kekerasan
seksual yang dialami korban dianggap sebagai peristiwa suka sama suka. Dalam
konteks pemaksaan aborsi, justru korban yang dikriminalkan sementara pihak laki-laki
lepas dari jeratan hukum.
Dalam
kasus NWR, korban telah berupaya meminta bantuan untuk menyikapi peristiwa
kekerasan yang ia alami. Korban telah berkonsultasi dengan dua lembaga bantuan
hukum di daerahnya yang menyarankan korban untuk segera melaporkan tindakan
pelaku ke Propam. Juga, dengan mengadukan kasusnya kepada Komnas Perempuan di
tengah Agustus 2021. Komnas Perempuan berhasil menghubungi NWR pada 10 November
untuk memperoleh informasi yang lebih utuh atas peristiwa yang dialami, kondisi
dan juga harapannya. Sebelumnya, Komnas Perempuan telah berupaya menjangkau
korban aplikasi whatsapp (WA) dan
sempat direspon korban untuk menanyakan prosedur pengaduan. Juga, melalui
telpon, tetapi tidak terangkat.
Pada saat
berhasil dihubungi, korban menyampaikan bahwa ia berharap masih bisa dimediasi
dengan pelaku dan orang tuanya, dan membutuhkan pertolongan konseling karena
dampak psikologi yang dirasakannya. Setelah mendengarkan keterangan korban,
Komnas Perempuan kemudian mengeluarkan surat rujukan pada 18 November 2021
kepada P2TP2A Mojokerto. Karena kapasitas psikolog yang terbatas dan jumlah
klien yang banyak maka penjangkauan tidak dapat dilakukan sekerap yang
dibutuhkan, tetapi juga sudah dilakukan dan dijadwalkan kembali di awal
Desember. Berita mengenai korban telah mengakhiri nyawanya menjadi pukulan bagi
kita semua, khususnya kami yang berupaya menangani kasus ini.
Kasus NWR merupakan
salah satu dari 4.500 kasus kekerasan terhadap perempuan yang diadukan ke
Komnas Perempuan dalam periode Januari-Oktober 2021. Ini sudah dua kali lipat
lebih banyak daripada jumlah kasus yang dilaporkan ke Komnas Perempuan pada
2020. Lonjakan pengaduan kasus telah kami amati sejak tahun 2020. Dengan sumber
daya yang sangat terbatas, Komnas Perempuan berpacu untuk membenahi sistem
untuk penyikapan pengaduan, mulai dari verifikasi kasus, pencarian lembaga rujukan
dan pemberian rekomendasi. Namun, lonjakan kasusnya sendiri mengakibatkan
antrian kasus yang panjang, sehingga keterlambatan penyikapan merupakan
kekuatiran yang terus kami pikul.
Kekuatiran kami semakin menjadi sejak kwartal
kedua 2021. Karena tidak mendampingi kasus secara langsung, upaya membantu
korban menjadi komitmen yang terus dijaga dan dirawat Komnas Perempuan melalui
sistem rujukan dan kerjasama dengan berbagai mitra lembaga layanan. Namun, pada
tengah tahun 2021 semakin banyak lembaga layanan yang menyatakan diri kewalahan
menerima rujukan sementara kasus-kasus pengaduan langsung membanjiri mereka,
yang juga bekerja dengan sumber daya yang terbatas. Terlebih, masa pandemi mempengaruhi
daya lembaga layanan sehingga tidak mampu melakukan layanan seperti yang
diharapkan. Sementara itu, kajian
kebijakan daerah tentang layanan terpadu bagi perempuan korban kekerasan
(Komnas Perempuan, 2020) memperlihatkan bahwa hanya 30% kebijakan daerah yang
memandatkan adanya sistem pemulihan. Di banyak daerah, keberadaan dan dukungan
bagi konselor psikolog adalah hal yang mewah, seperti juga visum gratis dan
rumah aman.
Situasi lembaga layanan serupa ini jelas
merupakan ‘bom waktu’ terutama di hadapan lonjakan kasus kekerasan terhadap
perempuan, khususnya kekerasan seksual. Kasus NWR adalah akibat yang sangat
memilukan dari situasi ini. Kematian NWR
merupakan duka dan pukulan bagi keluarga korban, semua perempuan korban
kekerasan, dan banyak dari kita, juga bagi Komnas Perempuan dan lembaga-lembaga
pendamping. Keterlambatan dalam membantu NWR adalah pelajaran sangat berharga
bagi kita semua.
Mendidik publik untuk mendukung korban dan
mendesak negara agar sungguh-sungguh membangun secara berkelanjutan infrastruktur
dan sistem layanan pemulihan korban adalah tanggung jawab semua agar kisah NWR
menjadi kisah pilu darurat kekerasan seksual yang terakhir. Semua tangan
haruslah disiapkan untuk merangkul dan merawat korban. Karenanya, Komnas
Perempuan menyerukan agar kasus NWR ini menjadi momentum:
a)
Bagi negara untuk segera membenahi diri,
termasuk dengan menyegerakan pengesahan RUU TPKS dan mengembangkan ekosistem
dukungan pemulihan bagi korban di tingkat nasional maupun daerah;
b)
Bagi semua pihak untuk turut mendorong
pengesahan RUU TPKS, memberikan dukungan bagi lembaga pengada layanan dan
individu pendamping korban kekerasan, khususnya kekerasan seksual dan
bersama-sama mengupayakan mengikis budaya menyalahkan perempuan korban
kekerasan;
c)
Kepolisian melakukan langkah-langkah tegas
untuk menyikapi kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan, khususnya kasus
kekerasan seksual, dengan tidak terbatas pada demosi, pelucutan jabatan ataupun
penghentian keanggotaan, melainkan dengan proses hukum dan pemulihan korban
yang berkeadilan;
d)
Secara internal, Komnas Perempuan akan
terus melakukan penguatan sistem dalam penyikapan pada pengaduan korban,
menguatkan sistem rujukan, dan meningkatkan upaya untuk menggalang dukungan
bagi lembaga-lembaga layanan bagi perempuan korban kekerasan. Komitmen kami
tidak akan pernah kendur, demi keadilan dan pemulihan korban atas nama
kemanusiaan.
Narasumber
Siti Aminah Tardi
Dewi Kanti
Rainy Hutabarat
Theresia Iswarini
Andy Yentriyani
Narahubung
Christina Yulita (yulita@komnasperempuan.go.id)