...
Siaran Pers
Siaran Pers Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan Hari Internasional untuk Mengakhiri Impunitas atas Kejahatan terhadap Jurnalis Lindungi Jurnalis Perempuan dari Tindak Kekerasan, Akhiri Impunitas (Jakarta, 3 November 2021)

Siaran Pers Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan Hari Internasional untuk Mengakhiri Impunitas atas Kejahatan terhadap Jurnalis

Lindungi Jurnalis Perempuan dari Tindak Kekerasan, Akhiri Impunita

Jakarta, 3 November 2021


Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa menetapkan 2 November sebagai "Hari Internasional untuk Mengakhiri Impunitas atas Kejahatan terhadap Jurnalis berdasarkan Resolusi Sidang Umum A / RES / 68/163. Resolusi tersebut mendesak Negara-negara anggota untuk menerapkan langkah-langkah pasti yang melawan budaya impunitas saat ini. Tanggal tersebut dipilih dalam rangka memperingati pembunuhan terhadap dua jurnalis Prancis di Mali pada 2 November 2013. Komnas Perempuan menyatakan keprihatinan mendalam atas banyaknya kasus kekerasan terhadap jurnalis termasuk jurnalis perempuan terutama di masa pandemi ini. Wartawan atau jurnalis dalam menjalankan tugasnya dilindungi oleh Undang-Undang. Bentuk perlindungan hukum bagi wartawan dalam menjalankan profesinya diatur dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik Wartawan Indonesia. Pasal 8 Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 mengatur secara tegas bahwa dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapatkan perlindungan hukum.

Sedangkan pasal 18 Undang-undang No. 40 Tahun 1999 mengatur ketentuan pidana dengan memberikan sanksi terhadap barang siapa yang dengan sengaja melawan hukum menghambat fungsi, tugas dan peran wartawan sesuai dengan hak dan kewajiban yang diatur oleh ketentuan perundangan. Dengan adanya undang-undang tersebut, negara menjamin perlindungan hukum bagi wartawan dalam menjalankan profesinya sebagai bagian dari kemerdakaan pers. Kemerdekaan pers merupakan jaminan dan dukungan terhadap jurnalis dalam menjalankan pekerjaannya untuk memenuhi hak atas informasi (right to information) dan hak untuk tahu (right to know) dari masyarakat yang notabene adalah menjadi kewajiban negara untuk memenuhinya (obligation to fulfil). Karena itu, sebagaimana tercantum dalam UU 40 Tahun 1999, dinyatakan dengan tegas bahwa dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum. Faktanya, dalam menjalankan tugasnya, jurnalis sering sekali mendapatkan ancaman, kekerasan dan kriminaslisasi. Masih lekat dalam ingatan kita kasus kekerasan terhadap jurnalis yang dialami oleh Muhammad Fuas Syarifuddin alias Udin, wartawan bernas di Jogjakarta menjadi korban kekerasan dan pembunuhan pada tahun 1996. Hingga saat ini pelaku pembunuhan Udin belum terungkap, disinyalir pelaku pembunuhan adalah orang yang memiliki kekuasaan untuk membungkam sehingga kasusnya, tidak terungkap hingga sekarang. Tahun 2021, kasus kekerasan terhadap jurnalis kembali terjadi. Wartawan Tempo, Nurhadi di Surabaya disekap dan dipukuli ketika menjalankan tugas jurnalistiknya. Kasus ini kemudian menjadi perhatian publik.

Catatan Tahunan Komnas Perempuan (2021) menunjukkan adanya kekerasan terhadap jurnalis perempuan meski secara khusus datanya merupakan bagian dari femonena gunung es. Kasus kekerasan terhadap jurnalis perempuan secara de facto jauh lebih besar jika dibandingkan dengan yang kelihatan, namun kasus-kasus tersebut tidak dilaporkan dan terdokumentasi dengan berbagai alasan. Ketiadaan perlindungan hukum pada kasus kekerasan seksual ataupun relasi kuasa yang timpang dengan pelakunya mengakibatkan tingginya impunitas dan potensi keberulangan yang terus terjadi.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dalam Laporan Situasi Kebebasan Pers Indonesia 2021 yang diluncurkan pada bulan Mei 2021 menyatakan, bahwa sepanjang Mei 2020 sampai Mei 2021, ada 90 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Angka tersebut meningkat jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebanyak 57 kasus. Dalam laporannya, AJI menyatakan bahwa pelaku kekerasan terhadap jurnalis ini beragam, mulai dari jaksa, advokat, pejabat, polisi, hingga satpol PP atau aparat pemerintah daerah. Namun, berdasarkan data yang dihimpun AJI, pelaku terbanyak adalah polisi yaitu sebanyak 70 persen atau sebanyak 58 kasus. Laporan AJI (2020) juga menunjukkan bahwa dari 34 jurnalis yang disurvei terdapat 25 jurnalis perempuan yang pernah mengalami kekerasan seksual dalam dunia kerja dan 63% nya tidak melaporkan kasusnya. Sementara era digital telah menciptakan peluang baru bagi jurnalis perempuan, namun juga menyediakan platform untuk bentuk-bentuk baru kekerasan online/daring termasuk cyberstalking, kampanye pencemaran nama baik, "doxing", "sextortion" dan "trolling", serta distribusi non-konsensual yaitu penyebaran konten intim dengan tujuan balas dendam (revenge porn) Secara global kekerasan terhadap jurnalis selama pandemi juga meningkat. Hasil survei International Center for Journalists (2020) terhadap lebih dari 900 jurnalis perempuan dari 125 negara menunjukkan bahwa kekerasan secara daring terhadap jurnalis perempuan meningkat signifikan selama pandemi. Diantaranya 73% perempuan jurnalis alami kekerasan online dengan 25% berupa ancaman fisik dan 13 % nya diarahkan kepada orang terdekat; 18% alami kekerasan seksual dalam berbagai bentuk. 49 % kekerasan online yang dialami perempuan jurnalis dikaitkan dengan gender, 44% terkait dengan pemilu, 31% terkait dengan kebijakan HAM dan Gender, Ras, Agama dan Orientasi Seksual yang meningkatkan kerentanan korban.

Sebanyak 26% nya dari perempuan jurnalis yang alami kekerasan online mengalami gangguan kesehatan jiwa; 11 % alami gangguan bekerja dan 4 % mengundurkan diri. 25 % korban melaporkan kasusnya ke atasan, dengan 10 % nya tidak mendapatkan respon, 9 % diminta untuk lebih tegar dan 2% dituduh memprovokasi kekerasan. 11% korban juga melaporkan ke polisi dengan 8 % masuk proses hukum dan 2 % menuntut aktor negara secara hukum. Untuk memperingati Hari Internasional untuk Mengakhiri Impunitas atas Kejahatan terhadap Jurnalis, Komnas Perempuan merekomendasikan kepada:

1. Aparatur negara khususnya Kepolisian Republik Indonesia memberikan perlindungan kepada Jurnalis khususnya Jurnalis Perempuan dalam menjalankan tugasnya dan melakukan penegakan hukum terhadap kasus kekerasan yang terjadi terhadap jurnalis sebagai bentuk mengakhiri impunitas untuk pelaku kekerasan terhadap jurnalis.

2. DPR RI agar segera mengesahkan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagai bentuk dukungan pemenuhan hak korban atas keadilan, perlindungan dan pemulihan khususnya jurnalis perempuan yang rentan mengalami kekerasan seksual.

3. .Dewan Pers untuk memperkuat perlindungan terhadap jurnalis dalam menjalankan tugasnya melalui berbagai kebijakan dan fasilitas sebagai bentuk jaminan kemerdekaan pers.


Narasumber

Veryanto Sitohang 

Theresia Iswarini


Narahubung:

Chrismanto P Purba (chris@komnasperempuan.go.id)


Pertanyaan / Komentar: