Siaran
Pers Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan
Tentang
Peringatan Hari Perdamaian Internasional
Meneguhkan
Perlindungan Perempuan dan Perempuan Pembela HAM dalam Situasi Konflik
Bersenjata di Berbagai Negara
Jakarta, 21 September 2021
Pada Agustus 2021 perhatian dunia tertuju pada negara Afganistan. Hal ini
disebabkan rezim Taliban yang dikenal bergaris keras dan intoleran dinyatakan
menguasai Afganistan setelah melakukan perang sekitar kurang lebih dua puluh
tahun. Penguasaan rezim Taliban atas Afganistan
berdampak terhadap menguatnya ketakutan rakyat Afganistan maupun
masyarakat global terhadap situasi keamanan negara tersebut dan dunia. Ribuan
rakyat Afganistan eksodus dan memohon suaka politik ke berbagai negara di
dunia. Dampak lainnya adalah, suramnya kehidupan perempuan yang ditandai
pelanggaran hak-hak asasi perempuan berupa pembatasan akses secara luas
terhadap berbagai sumber daya melalui berbagai aturan, perempuan terancam tidak
dapat melanjutkan pendidikan, kehilangkan pekerjaan dan kehilangan hak atas
kebebasan berekspresi dan berpendapat. Pengekangan, intimidasi, persekusi,
cambuk dan pembunuhan mengancam perempuan - perempuan yang terlibat dalam berbagai
kegiatan publik. Perempuan Pembela Hak Asasi Manusia (PPHAM) tak pula luput
dari ancaman atau teror. Komnas Perempuan memantau bahwa beberapa kolega PPHAM
menggaungkan pentingnya dukungan masyarakat global dan negara-negara dalam
memberikan perlindungan terhadap rakyat Afganistan. Kerentanan PPHAM menjadi
korban pembunuhan merupakan sinyal agar negara-negara di dunia memberikan
dukungan perlindungan khususnya suaka politik. Sarah Kay pengacara HAM yang
berbasis di Belfast anggota jaringan pengacara internasional Atlas Women
menyatakan bahwa negara-negara barat tidak memprioritaskan aktivis hak asasi
manusia dan hukum untuk dievakuasi.
Situasi genting sedemikian juga terjadi di Myanmar. Penguasaan militer atas
negara Myanmar membuat kehidupan rakyat Myanmar memburuk. Protes kelompok pro
demokrasi membuat para aktivis diburu dan dipenjara. Aksi kelompok pro
demokrasi pada 4 Maret 2021 mengakibatkan seorang PPHAM bernama Kyal Sin atau
dikenal dengan Angel (malaikat) tewas tertembak saat melakukan aksi demonstrasi
menolak penguasaan militer atas Myanmar. Hingga saat ini, saat krisis demokrasi
menguat banyak PPHAM Myanmar mengalami berbagai kesulitan menjalankan
aktivitasnya sementara hak-hak asasi perempuan terus dilanggar. Ancaman
pembunuhan pun terus digaungkan, membuat ruang gerak PPHAM Myanmar terbelenggu.
Suramnya masa depan aktivis dan PPHAM di Afganistan, Myanmar dan negara-negara
lain yang mengalami konflik sosial menjadi perhatian Komnas Perempuan sebagai
lembaga negara hak asasi manusia di Indonesia dengan mandat khusus pemajuan,
perlindungan dan pemenuhan HAM perempuan serta mendorong upaya penghapusan
segala bentuk kekerasan terhadap perempuan baik di tingkat lokal, regional
maupun internasional.
Dalam konteks Indonesia, seorang tenaga kesehatan perempuan di Papua
bernama nama Suster Gabriella Meiliani
meninggal akibat serangan dan pembakaran Puskesmas Kiwirok pada Jumat 17 September 2021. Serangan
tersebut mengakibatkan 10 nakes lainnya
mengalami luka-luka. Penyerangan yang mengakibatkan kematian, luka-luka dan
menyebar ketakutan terhadap tenaga kesehatan dalam situasi pandemi Covid-19
maupun dalam situasi konflik merupakan aksi kejahatan luar biasa. Tenaga
kesehatan merupakan pekerja kemanusiaan yang dibutuhkan dalam berbagai situasi
dan seharusnya mendapatkan perlindungan khusus
termasuk dalam situasi konflik bersenjata. Konvensi Jenewa Pertama tanggal 12 Agustus 1949 menyatakan pentingnya
perlindungan terhadap tenaga medis di wilayah konflik. Indonesia telah
meratifikasi Konvensi Jenewa melalui UU No. 59 Tahun 1958 tentang Ikut Serta
Negara Republik Indonesia dalam Seluruh
Konvensi Jenewa tanggal 12 Agustus 1949.
Bertolak dari CATAHU (Catatan Tahunan) 2021 Komnas Perempuan dan memantau
berbasis pemberitaan media daring (2018-2021), 15 (lima belas) PPHAM baik
secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama dalam komunitas, dari berbagai
sektor yang mengalami kriminalisasi. Sektor-sektor tersebut antara lain sektor
sumber daya alam, anti korupsi, kekerasan berbasis gender, buruh, dan hak
menentukan nasib sendiri (self-determination). Mereka adalah pengacara,
pendamping korban, aktivis buruh, ibu rumah tangga, mahasiswa, guru SMA, Ketua
RT. Data ini menunjukkan bahwa PPHAM merupakan kelompok rentan terhadap
kriminalisasi justru karena pekerjaannya sebagai pembela HAM, pejuang
lingkungan hidup, upah setara dan layak
serta anti korupsi.
Mencermati kerentanan perempuan dan perempuan pembela HAM di berbagai
negara yang mengalami konflik maupun di Tanah Air, dalam rangka peringatan Hari
Perdamaian Internasional tanggal 21 September 2021, Komnas Perempuan
mengingatkan pentingnya memperkuat cita-cita dunia mewujudkan perdamaian di
dalam negeri maupun di antara bangsa-bangsa. Perdamaian mensyaratkan keadilan
yang artinya bebas dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi, bebas dari
ancaman, teror, intimidasi, persekusi serta pembungkaman. Tak ada perdamaian
tanpa keadilan dan tak ada keadilan tanpa penghormatan terhadap hak-hak asasi
perempuan.
Oleh karena itu, dalam rangka Hari Perdamaian Internasional 2021, Komnas
Perempuan menyatakan sebagai berikut:
1. Mengecam tindakan
pengengkangan, intimidasi, penghukuman dan pembunuhan yang ditujukan kepada
perempuan pembela HAM dan Petugas Kesehatan sebagai akibat dalam menjalankan
aktivitasnya di negara-negara yang mengalami konflik;
2. Mendorong negara-negara
khususnya Perserikatan Bangsa-Bangsa menyatakan solidaritas dan dukungan serta
memberikan perlindungan khususnya evakuasi terhadap PPHAM yang mengalami
berbagai ancaman dan pembunuhan di negara konflik seperti Afganistan dan
Myanmar;
3. Menyikapi penyerangan yang
terjadi di Puskesmas Kiwirik yang mengakibatkan meninggalnya Suster Gabriella
Meiliani dan 10 nakes lainnya terluka, meminta Pemerintah khususnya Kepolisian
Republik Indonesia mengusut secara tuntas kasus penyerangan tersebut, menjamin perlindungan terhadap nakes sebagai pekerja
kemanusiaan dalam bekerja di wilayah-wilayah khusus serta memastikan korban dan
atau keluarganya mendapatkan santunan, biaya pengobatan dan pemulihan;
4. Mendukung pemerintah
Indonesia sebagai salah satu negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa
mewujudkan pemenuhan perlindungan perempuan pembela HAM dalam menjalankan
kerja-kerja kemanusiaan yang rentan mengalami berbagai bentuk kekerasan;
5. Mendorong negara-negara
agar menyerukan penyelesaian konflik bersenjata dan konflik sosial lainnya
berpedoman pada Rekomendasi Umum No. 30 CEDAW tentang perlindungan kelompok
rentan dan pelibatan perempuan dalam penyelesaian konflik.
Narasumber:
Veryanto Sitohang
Tiasri Wiandani
Rainy Hutabarat
Olivia Salampessy
Andy Yentriyani
Narahubung
Chrismanto
Purba (chris@komnasperempuan.go.id)