(Jakarta, 17 November 2021)
Siaran Pers Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan Tentang Permendikbud Ristek No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi
Langkah Maju bagi Perlindungan Perempuan dengan Disabilitas dari Kekerasan Seksual di Lembaga Pendidikan Tinggi
Jakarta, 17 November 2021
Komnas Perempuan kembali menerbitkan siaran pers terkait Permendikbud Ristek No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi untuk melengkapi siaran pers sebelumnya (baca: https://komnasperempuan.go.id/siaran-pers-detail/siaran-pers-komnas-perempuan-tentang-peraturan-menteri-pendidikan-kebudayaan-riset-dan-teknologi-ri-no-30-tahun-2021-tentang-pencegahan-dan-penanganan-kekerasan-seksual-ppks-di-lingkungan-perguruan-tinggi-29-oktober-2021) dari perspektif hak perempuan penyandang disabilitas termasuk perdebatan publik tentang diksi “persetujuan” (consent).
Siaran pers ini sekaligus mengajak publik untuk tidak meminggirkan para penyandang disabilitas dalam perdebatan publik dan perumusan kebijakan. Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas telah mendorong perbaikan akses pendidikan bagi penyandang disabilitas, termasuk perempuan dengan disabilitas.
Perbaikan akses fasilitas publik yang lebih ramah akan semakin memberikan peluang lebih besar bagi penyandang disabilitas termasuk meraih tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Sayangnya, peluang ini belum diimbangi dengan ketersediaan sistem perlindungan perempuan penyandang disabilitas dari kekerasan di lingkungan pendidikan, termasuk di perguruan tinggi. Perempuan dengan disabilitas memiliki kerentanan berlapis dibandingkan dengan sesamanya perempuan non disabilitas.
Pertama, sebagai perempuan mengalami subordinasi dari laki – laki yang mengakibatkan terbatasnya akses pada pendidikan dan sumber daya ekonomi.
Kedua, sebagai seorang disabilitas, perempuan dengan disabilitas memiliki keterbatasan fisik atau mental yang mengakibatkan timbulnya kerentanan terhadap kekerasan.
Ketiga, stigma negatif terkait seksualitas yang dilekatkan masyarakat terhadap perempuan dengan disabilitas masih melekat kuat. Kerentanan – kerentanan tersebut berkelindan dan kerap dilapisi dengan kerentanan lainnya seperti rendahnya tingkat pendidikan, kemiskinan dan buruknya akses layanan kesehatan.
Oleh karena itu, Permen PPKS harus diapresiasi sebagai langkah progresif Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi bagi pelindungan perempuan disabilitas di lingkungan perguruan tinggi. Tujuan Permen PPKS menggarisbawahi aspek perspektif korban dan penyandang disabilitas (Pasal 2). Pasal-pasal khusus yang mengintegrasikan perspektif korban dan penyandang disabilitas baik dalam Pencegahan (Pasal 3 butir c; Pasal 5 ayat (3) butir e, f; Pasal 6 ayat (3) butir (i)); Penanganan (Pasal 11 butir 3; Pasal 16 ayat (2) butir a; Pasal 41 butir ayat (4)), maupun Pemulihan termasuk pendampingan (Pasal 20 butir f).
Permen PPKS juga memberi panduan untuk implementasi pencegahan dan penanganan melalui pembentukan Satuan Tugas yang mengintegrasikan perspektif disabilitas (Pasal 23 ayat 2; Pasal 24 ayat (4) butir b dan c; Pasal 29 ayat (2) butir b,c). Akses Kepada Pengaduan yang ramah disabilitas juga diamanatkan dalam Permen PPKS ini (Pasal 39 ayat (3)).
Pemantauan Komnas Perempuan terhadap diskusi publik terkait frasa “dengan persetujuan” (consent) mencatat sebagian pihak menafsirkannya sebagai melegalkan seks bebas. Dalam konteks perempuan dengan disabilitas, Komnas Perempuan mengingatkan bahwa consent berperan penting. Hal ini disebabkan, pertama, pada umumnya masyarakat memandang perempuan dengan disabilitas tidak memiliki hasrat seksual (aseksual). Kedua, karena kondisi disabilitasnya, perempuan dengan disabilitas mengalami keterbatasan dan hambatan sesuai dengan jenis dan karakterististik disabilitasnya. Kondisi tersebut menyebabkan perempuan dengan disabilitas tidak dapat menghindar dan membela diri, tidak mampu melapor dan meminta pertolongan ketika mengalami kekerasan. Ketiga, perempuan disabilitas dipandang tidak memilliki otonomi atas hidupnya termasuk tubuhnya.
Bertolak dari paparan di atas, Komnas Perempuan merekomendasikan:
(1) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi memastikan lembaga-lembaga pendidikan tinggi agar menerbitkan Mekanisme (SOP) PPKS dengan mengintegrasikan perspektif disabilitas;
(2) Perguruan Tinggi agar memiliki komitmen berkelanjutan dalam mengimplementasikan Permen PPKS seturut pedoman yang sudah diatur dalamnya;
(3) Media massa agar mendukung pelaksanaan Permendibud PPKS yang berperspektif korban dan disabilitas demi mewujudkan lembaga pendidikan tinggi sebagai ruang aman bagi semua;
(4) DPR RI segera mengesahkan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang menjamin pelindungan hukum terhadap perempuan dengan disabilitas dan berperspektif korban.
Narasumber
Rainy Maryke Hutabarat
Bahrul Fuad
Siti Aminah Tardi
Maria Ulfah Anshor
Mariana Amiruddin
Narahubung
Chrismanto Purba (chris@komnasperempuan.go.id)