“Tangani Tuntas KDRT, Dampak Negatif Digitalisasi dan Kerentanan
Perempuan Berkonflik dengan Hukum”
Jakarta, 13 Juni 2024
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyampaikan keperihatinan yang mendalam atas kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang berujung pada kematian dan menempatkan perempuan menjadi pihak yang berkonflik dengan hukum. Saat ini kasus yang mengemuka adalah kasus kematian dari suami yang dibakar oleh istrinya di Mojekerto, Jawa Timur. Komnas Perempuan mengajak seluruh pihak untuk memfokuskan pada upaya pencegahan, proses hukum dan pemulihan bagi keluarga yang mengalami situasi tersebut.
Andy Yentriyani, Ketua Komnas Perempuan mengingatkan bahwa Semua pihak perlu memetik pembelajaran dari peristiwa ini.
“Tindak pembakaran tersebut tampaknya merupakan eskalasi masalah dan respon reaktif istri pada tekanan yang semakin membesar di dalam perkawinannya,” ujarnya.
Dari pemberitaan media massa, Komnas Perempuan mendapat informasi bahwa pihak istri terus berada di bawah tekanan berlapis baik ekonomi maupun psikis karena suami kerap menghabiskan uang untuk berjudi online sementara mereka mempunyai tiga anak berusia di bawah tiga tahun (batita), yang mana satu anak berusia 2 tahun dan 2 anak kembar berusia 4 bulan yang masih menyusui.
Kelelahan fisik dan psikis dalam perawatan tiga batita diperburuk dengan pertengkaran berulang kali akibat judi online yang tidak mendapat tanggapan dari suaminya. Kondisi tekanan sedemikian memuncak hinggapada tindakan membakar suaminya. Kekerasan dalam rumah tangga dalam bentuk kekerasan ekonomi dan psikis ini tidak segera mendapatkan bantuan.
“Situasi kekerasan di dalam rumah tangga perlu menjadi perhatian yang lebih serius untuk ditangani segera agar tidak berkelanjutan dan berakibat fatal. Dalam hal ini, penghilangan nyawa maupun bunuh diri,” tambahnya.
Kasus ini karenanya menunjukkan adanya kebutuhan mendesak intervensi lebih komprehensif pada persoalan KDRT bahkan di dalam institusi Kepolisian. Juga, dampak negatif dari perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, misalnya dalam bentuk judi online.
Terkait dampak judi online dan pinjaman online (pinjol), Komisioner Rainy M Hutabarat mengingatkan risikoberujung kematian, kekerasan dalam rumah tangga, perceraian dan tekanan psikis.
“Jumlah kasus bunuh diri akibat terlilit utang pinjol dan teror tagihan, relatif banyak. Karena itu Kominfo dan kementerian/lembaga negara terkait perlu melakukan langkah-langkah pencegahan untuk memutus keberulangan dan mengeluarkan kebijakan untuk menyikapi dampak negatif tantangan era digital termasuk judi online, pinjol, tindak pidana perdagangan orang yang dimediasi teknologi, dan kekerasan seksual berbasis elektronik,” ujarnya.
Sementara, Komisioner Siti Aminah mengingatkan terkait penanganan kasus itu sendiri, seluruh pejabat yang berwenang di setiap tingkat pemeriksaan wajib untuk memenuhi hak-hak perempuan berkonflik dengan hukum (PBH Tersangka) sebagaimana dijamin dalam kitab undang-undang hukum acara pidana. Mengingat Polwan NF menjadi PBH Tersangka ini berlatarbelakang kekerasan dalam rumah tangga dan kondisi psikologis paska melahirkan, maka ada kebutuhan mendesak di Kepolisian untuk segera merumuskan kebijakan penanganan perempuan yang berhadapan dengan hukum di tingkat penyelidikan dan penyidikan, termasuk penanganan perempuan berkonflik dengan hukum dengan latar belakang kekerasan berbasis gender.
“Untuk kasus ini sendiri, kami merekomendasikan penanganan yang komprehensif dengan memenuhi hak-haknya sebagai tersangka, memperhatikan kebutuhan psikologis Polwan FN termasuk kemungkinan mengalami baby blues, sedapat mungkin mencegah penahanan berbasis rutan dan memastikan pemenuhan hak-hak anak-anak termasuk untuk mendapatkan perawatan dan air susu ibu,” jelasnya.
Terkait dengan pernyataan dari Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo) bahwa “perempuan ternyata lebih kejam daripada laki-laki” dalam mengomentari kasus ini, Komnas Perempuan mengingatkan agar pejabat publik lebih mawas dalam mengeluarkan pendapat agar tidak meneguhkan stereotype gender yang dapat semakin mendiskriminasi perempuan dan juga mendistraksi perhatian publik pada persoalan sesungguhnya yang harus segera ditangani. Pernyataan tersebut erat dengan sterotype perempuan sebagai pihak yang bersifat lemah lembut, dan juga label perempuan sebagai pihak yang emosional, sehingga lekas gelap mata, tidak bisa mengambil keputusan yang rasional dalam menghadapi masalah. Label serupa ini yang menjadi salah satu faktor penghambat kepemimpinan perempuan karena diragukan kapasitasnya.
“Akibat pernyataan serupa ini, perhatian publik tergeser dari persoalan yang lebih utama, yaitu proses penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan di dalam perkawinan dan keluarga, penanganan dampak negatif dari perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dalam bentuk judi online, dan perbaikan sistemik untuk menyikapi kondisi perempuan berkonflik dengan hukum,” pungkas Andy.
Narahubung: Elsa Faturahmah (081389371400)