Siaran Pers Komnas Perempuan
Atas Pemberitaan “Tito Karnavian : Korban Perkosaan bisa ditanya apakah ‘nyaman’ selama perkosaan?”
Jakarta, 20 Oktober 2017
Komnas Perempuan mengikuti berbagai keberatan yang muncul di media dan media sosial terhadap berita yang mengutip pernyataan Kapolri dalam wawancara dengan BBC Indonesia yang dimuat dalam pemberitaan BBC Indonesia tanggal 19 Oktober 2017, berjudul “Tito Karnavian : Korban Perkosaan bisa ditanya ‘apakah nyaman’ selama perkosaan?" Berkaitan dengan pemberitaan tersebut, Komnas Perempuan telah mengirimkan surat kepada Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jenderal Tito Karnavian, sebagai klarifikasi, saran dan pertimbangan terhadap Proses Penyelidikan dan Penyidikan Kasus Kekerasan Seksual oleh Kepolisian.
Dari hasil pemantauan yang dilakukan Komnas Perempuan dalam 19 tahun keberadaannya sebagai salah satu Lembaga HAM dengan mandat spesifik penghapusan kekerasan terhadap perempuan, diketahui hambatan terbesar akses keadilan korban perkosaan (terutama pada tahap penyidikan) adalah pada pembuktian unsur pemaksaan. KUHP mendefenisikan pemerkosaan secara sangat terbatas sehingga tidak mampu mengenali pemanfaatan ketimpangan relasi kuasa antara perempuan korban perkosaan dengan pelaku, yang seharusnya dapat digunakan oleh Penyidik untuk membuktikan terpenuhinya unsur pemaksaan dari sisi yang lain, sehingga pelaku tidak bisa bebas dari jeratan hukum.
Sebagai bagian dari upaya memperkuat akses keadilan bagi para korban kekerasan seksual, Komnas Perempuan bersama dengan Forum Pengada Layanan telah mengusulkan rumusan defenisi kekerasan seksual (termasuk pemerkosaan) dengan memasukkan ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender sebagai salah satu unsur pemaksaan (korban tidak dalam keadaan bebas untuk memberikan persetujuan), kedalam Draft RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang telah diadopsi menjadi Hak Inisiatif DPR RI. Melalui upaya diharapkan batasan lingkup pemaksaan tidak lagi dipandang secara sempit oleh Aparat Penegak Hukum, sehingga sikap dan perilaku Penyidik yang dapat melukai rasa keadilan korban diminimalkan. Sangat perlu dipastikan frasa ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender ini tidak hilang dari rumusan defenisi kekerasan seksual dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, agar penggunaan perspektif gender dalam proses peradilan tindak pidana kekerasan seksual termasuk pemerkosaan, dapat dipastikan.
Komnas Perempuan juga meminta Polri untuk dapat menerbitkan Perkap Polri tentang penyelidikan dan penyidikan yang berperspektif HAM dan Gender dalam penanganan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan, sebagaimana insiatif yang telah dilakukan oleh Mahkamah Agung melalui penerbitan PERMA No. 3 Tahun 2017 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum. Selain itu, Kapolri juga diminta untuk dapat melanjutkan penerapan Sistem Peradilan Pidana Terpadu dalam Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan (SPPT-PKKTP), yang telah diuji coba pada tahun 2011 – 2015 melalui Penandatanganan MoU antara Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kejaksaan Agung RI, Mahkamah Agung RI, Polri dan Komnas Perempuan. SPPT-PKKTP ini dapat menjadi mekanisme untuk memastikan koordinasi dan kesepahaman dalam penanganan kekerasan seksual, agar tidak ada lagi penyangkalan terhadap pengalaman kekerasan seksual korban, yang akan semakin memperparah impunitas bagi pelaku.
Komnas Perempuan meminta Kapolri untuk melakukan klarifikasi publik, sebagai bentuk rasa empati pada korban dan mengembalikan kepercayaan pada institusi kepolisian yang menjadi gerbang terdepan bagi perlindungan korban.
Narasumber:
Masruchah, Komisioner (087887233388)
Sri Nurherwati, Komisioner (082210434703)
Unduh Dokumen :
Siaran Pers Komnas Perempuan Atas Pemberitaan Tito Karnavian