...
Siaran Pers
Siaran Pers Komnas Perempuan Atas Pengurangan Pemotongan Kasus Tindak Pidana Korupsi Terhadap PSM Oleh Hakim Banding Pengadilan Tinggi Jakarta (16 Juni 2021)

Siaran Pers Komnas Perempuan Atas

Pengurangan Pemotongan Kasus Tindak Pidana Korupsi Terhadap PSM Oleh Hakim Banding Pengadilan Tinggi Jakarta

Jakarta, 16 Juni 2021

 

 

Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyayangkan pengurangan hukuman terhadap PSM oleh Hakim Banding di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dari 10 tahun menjadi empat tahun penjara. Keputusan ini mengindikasikan adanya persoalan yang lebih mendalam dalam aspek perspektif kesetaraan dan keadilan gender dan dalam hal sistem pemidaan secara lebih luas.

 

Korupsi merupakan kejahatan yang serius pada kemanusiaan karena berdampak langsung maupun tidak langsung terhadap kesejahteraan rakyat yang terkait pemenuhan hak dasar warga. Karena perempuan lebih rentan dan mengalami rintangan lebih besar dalam menikmati hak asasi, tindak pidana korupsi juga mengakibatkan kerugian dan dampak sosial yang berbeda terhadap laki-laki dan perempuan, terutama akibat dari korupsi di sektor layanan publik. Korupsi menjadi perintang utama dalam penghapusan kemiskinan, pemenuhan hak asasi manusia seperti kesehatan, pendidikan, infrastruktur pokok (air bersih, listrik, transportasi), rasa aman, perawatan ibu hamil, pemenuhan gizi ibu dan anak, sampai penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan. Itulah sebabnya, gerakan pemajuan hak perempuan perempuan akan selalu menjadi bagian dari gerakan pemberantasan tindak pidana korupsi.

 

Karena dampak yang diakibatkannya, tindak kejahatan korupsi juga merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia, khususnya hak sosial dan ekonomi. Juga, karena begitu luas dan sistemik, sehingga merisikokan kehidupan berbangsa dan bernegara, tindak pidana korupsi diperlakukan sebagai kejahatan luar biasa yang menuntut langkah-langkah pencegahan dan pemberantasan yang juga luar biasa. Atas dasar pemikiran inilah bahkan tindak pidana korupsi dalam kondisi tertentu dapat dipidana maksimum berupa hukuman mati, sebagaimana diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

 

Posisi korupsi sebagai kejahatan luar biasa tentunya perlu menjadi cara pandang hakim dalam memeriksa kasus-kasus tindak korupsi. Dalam hal ini, putusan pengadilan tentang pemidanaan pelaku merupakan penegasan pada betapa seriusnya tindak pidana korupsi tersebut. Penegasan ini penting dalam mendukung upaya pencegahan tidak berulang, menghadirkan keadilan, kesempatan rehabilitasi pelaku dan juga melindungi masyarakat luas.

 

Selain derajat keseriusan tindak pidana, hakim juga dapat mempertimbangkan beberapa faktor dalam perumusan putusan pemidanaan, baik untuk memberatkan ataupun meringankan hukuman. Hal ini dimaksudkan agar hukuman yang diberikan juga proporsional dengan kebutuhan untuk mencapai tujuan dari pemidanaan itu. Hanya saja, sampai sekarang tidak ada pedoman yang jelas yang dapat dirujuk oleh hakim dalam perumusan hukuman yang dijatuhkan itu. Akibatnya, ada disparasi yang besar dari putusan untuk tindak pidana sejenis dalam kondisi yang serupa. Kondisi ini menimbulkan kecurigaan pada akuntabilitas proses hukum yang dapat menyebabkan hilangnya kepercayaan pada institusi penegak hukum.  

 

Terkait pertimbangan pengurangan hukuman terhadap PSM,  ada kebutuhan untuk membaca secara utuh dan tidak hanya menyoal alasan terkait peran gender sebagai ibu. Pertimbangan lain yang juga disebutkan adalah hakim tinggi menilai bahwa “perbuatan PSM tidak terlepas dari keterlibatan pihak lain yang turut bertanggung jawab”. Pertimbangan ini perlu dicermati lebih jauh dan dapat menjadi pintu masuk untuk membuka pihak-pihak lain yang terlibat dalam kasus ini.

 

Sementara itu, terkait pertimbangan berbasis peran gender, ada kebutuhan untuk memperkuat pemahaman mengenai kesetaran dan keadilan substansif yang menjadi kerangka pikir dalam Peraturan Mahkamah Agung 3 tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perempuan Yang Berhadapan Hukum (PBH). Dalam peraturan ini Hakim dalam pemeriksaan perkara baik tingkat pertama, banding maupun kasasi perlu mempertimbangkan kesetaraan gender dan mewujudkan prinsip non-diskriminasi berbasis gender. Aplikasinya di dalam proses persidangan termasuk untuk mawas pada sterotipe gender  yang menyudutkan PBH yang dapat terejahwantah dalam sikap dan cara bertanya hakim. Dengan cara serupa ini maka pengadilan dapat berkontribusi secara aktif dalam melaksanakan tanggung jawab negara untuk pemenuhan hak konstitusional, UUD NRI 1945, khususnya pada hak atas keadilan dan perlindungan hukum pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum (Pasal 28D Ayat 1) serta hak untuk bebas dari diskriminasi (Pasal 28I Ayat 2). 

 

Kemawasan pada sterotipe gender semestinya juga perlu diaplikasi dalam perumusan pertimbangan hukuman. Perlu dicatat bahwa sampai sekarang sejumlah putusan hakim juga masih menggunakan pertimbangan peran gender baik pada terdakwa laki-laki juga perempuan.  Dengan alasan adanya anggota keluarga yang tergantung pada terpidana dan posisi terdakwa sebagai tulang punggung atau pencari nafkah utama keluarga, misalnya, ada hukuman yang meringankan pelaku perkosaan. Hal yang sama dicatatkan pada kasus PSM, dimana kondisinya sebagai seorang ibu dari balita berusia 4 tahun dijadikan salah satu pertimbangan alasan yang meringankan.

 

Dampak sosial budaya dari pemidaan, termasuk kesejahteraan keluarga dan tumbuh kembang anak dari terpidana, tentunya perlu mendapatkan perhatian serius. Namun, solusi yang diambil tentunya tidak boleh mengurangi kemampuan pemindaan dari pencapaian tujuan pemidaan itu sendiri. Karenanya, solusi atas dampak sosial budaya tidak melulu berupa pengurangan sanksi. Program pengentasan kemiskinan dapat menjadi salah satu titik masuk penyikapan persoalan. Demikian juga memastikan perbaikan infrastruktur di lembaga pemasyarakatan bagi pemenuhan hak terpidana terkait keluarga, termasuk ruang laktasi dan interaksi dengan anggota keluarga yang berkunjung. Di dalam kerangka penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, pencarian opsi-opsi solusi yang mengurangi celah pengukuhan peran gender, apalagi untuk menjadi celah hukum yang merintangi keadilan, menjadi sangat penting. Untuk tujuan ini, langkah pencarian opsi juga perlu dibarengi dengan pelaksanaan prinsip uji cermat tuntas. Dalam uji cermat tuntas, opsi yang diajukan di atas dapat diperkuat dengan dukungan penguatan ekonomi bagi perempuan sehingga memutus ketergantungan ekonomi dari terpidana, maupun melalui pembinaan anggota keluarga sehingga peran pengasuhan tidak saja direkatkan sebagai tanggung jawab ibu semata.

 

Mengingat kejahatan korupsi adalah kejahatan luar biasa, dan bahwa ada langkah lain yang dapat dilakukan untuk juga mengurangi dampak sosial budaya dari pemidanaan terhadap terpidana, atas putusan kasus PSM Komnas Perempuan merekomendasikan Penuntut Umum untuk mengajukan upaya hukum Kasasi. Penting juga mencatat bahwa dalam kasus korupsi oleh AS, seorang  perempuan anggota legislatif, Mahkamah Agung justru memperberat hukumannya dari 4, 5 tahun menjadi 12 tahun penjara dan tambahan pidana senilai 40 milyar (21 November 2013). Upaya kasasi pada kasus PSM diharapkan dapat mengurangi disparitas hukuman, yang dapat berkontribusi pada penguatan kepercayaan pada institusi hukum dan negara pada umumnya dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. 

 

Komnas Perempuan juga mendorong Mahkamah Agung untuk menyusun pedoman bagi pertimbangan hakim terhadap faktor-faktor pemberat maupun yang meringankan hukuman. Pedoman ini terutama penting terkait faktor kondisi personal terdakwa dengan memperhatikan kerentanan-kerentanan khusus yang dihadapinya di dalam ketimpangan relasi sosial, termasuk gender. Dalam pedoman ini, dapat diatur pula pada kasus-kasus mana pertimbangan itu dapat dilakukan dan sampai sejauh mana hukuman dapat diperingan atas dasar pertimbangan tersebut. Pedoman ini diharapkan dapat mengurangi diparitas putusan dan sebaliknya, menguatkan akuntabilitas putusan pengadilan demi tegaknya keadilan dan negara hukum Indonesia.

 

 

Narasumber

Siti Aminah Tardi

Rainy M Hutabarat

Alimatul Qibtiyah

Andy Yentriyani

 

Narahubung

Chrismanto Purba (chris@komnasperempuan.go.id)

 

 



Pertanyaan / Komentar: