...
Siaran Pers
Siaran Pers Komnas Perempuan Catatan Tahunan (CATAHU) 2017

Siaran Pers Komnas Perempuan Catatan Tahunan (CATAHU) 2017

Labirin Kekerasan terhadap Perempuan:

Dari Gang Rape hingga Femicide, Alarm bagi Negara untuk Bertindak Tepat

Jakarta, 7 Maret 2017

 

Tanggal 8 Maret diperingati sebagai Hari Perempuan Sedunia sebagai solidaritas internasional untuk terbebas dari diskriminasi dan kekerasan. Kesejarahan awalnya dimulai dari berbagai tuntutan pada awal 1908 atas isu pemberlakuan 8 jam kerja dan upah layak, kesetaraan upah pekerja perempuan dan laki-laki, keterlibatan perempuan dalam ranah politik (hak memilih dan dipilih), tuntutan perdamaian, serta tuntutan kesetaraan lainnya. Tema sentral yang akan jadi pembahasan dunia dalam CSW 61 (The Commission on the Status Of Women/Komisi Status Perempuan) pada tahun 2017 di PBB adalah penguatan hak ekonomi perempuan. Artinya sudah lebih dari seabad, persoalan perempuan masih belum banyak perubahan pada hak-hak dasar.

Hari Perempuan Sedunia, Komnas Perempuan memperingati dengan peluncuran Catatan Tahunan (CATAHU) yang merupakan catatan pendokumentasian berbagai kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani oleh berbagai lembaga negara dan lembaga layanan, serta yang dilaporkan ke Komnas Perempuan selama tahun 2016 dan diluncurkan sehari sebelum Hari Perempuan Sedunia pada 7 Maret 2017. Pada tahun ini CATAHU dikompilasi dari 233 formulir hasil kompilasi kasus-kasus yang dilaporkan kepada berbagai lembaga mitra dan yang diadukan ke Komnas Perempuan.

Dalam CATAHU 2017, Komnas Perempuan menemukan  259.150 kasus kekerasan terhadap perempuan yang terdiri dari 245.548 kasus bersumber pada data kasus/perkara yang ditangani oleh 359 Pengadilan Agama, serta 13.602 kasus yang ditangani oleh 233 lembaga mitra pengada layanan yang tersebar di 34 Provinsi. Data kekerasan yang terlaporkan menurun karena perubahan pola pendokumentasian di sejumlah lembaga negara, tidak meratanya akses layanan di sejumlah daerah dan keengganan korban melaporkan karena masih rumitnya akses keadilan.

Dalam pembagian ranah kekerasan terhadap perempuan, Komnas Perempuan menemukan sebagai berikut:

Kekerasan di ranah personal masih menempati angka tertinggi. Pengadilan Agama menyebutkan 245.548 kasus kekerasan terhadap istri yang berujung dengan perceraian. Sementara kasus yang ditangani lembaga mitra pengada layanan, kekerasan yang terjadi di ranah personal tercatat 10.205 kasus. Data pengaduan langsung ke Komnas Perempuan juga menunjukkan trend yang sama, yaitu sebanyak 903 kasus dari total 1.022 kasus yang masuk. Untuk kekerasan di ranah rumah tangga/relasi personal (KDRT/RP), kekerasan terhadap istri (KTI) menempati peringkat pertama 5.784 kasus, disusul kekerasan dalam pacaran (KDP) 2.171 kasus, kekerasan terhadap anak perempuan 1.799 kasus dan sisanya kekerasan mantan suami, kekerasan mantan pacar, serta kekerasan terhadap pekerja rumah tangga.

Jenis kekerasan ranah personal pada persentase tertinggi adalah kekerasan fisik 42% (4.281 kasus), diikuti kekerasan seksual 34% (3.495 kasus), kekerasan psikis 14% (1.451 kasus) dan kekerasan ekonomi 10% (978 kasus). Kekerasan seksual di ranah KDRT/RP tahun ini, perkosaan menempati posisi tertinggi sebanyak 1.389 kasus, diikuti pencabulan sebanyak 1.266 kasus. Di tahun ini juga CATAHU dapat menampilkan data perkosaan dalam perkawinan sebanyak 135 kasus dan menemukan bahwa pelaku  kekerasan seksual tertinggi di ranah KDRT/RP adalah pacar sebanyak 2.017 orang.

Kekerasan di ranah komunitas mencapai angka 3.092 kasus. Kekerasan seksual menempati peringkat pertama sebanyak 2.290 kasus, diikuti kekerasan fisik 490 kasus dan kekerasan lain yaitu kekerasan psikis 83 kasus, buruh migran 90 kasus dan trafiking 139 kasus. Jenis kekerasan yang paling banyak pada kekerasan seksual di ranah komunitas adalah perkosaan (1.036 kasus) dan pencabulan (838 kasus). Adapun kekerasan di ranah Negara yang paling mengedepan adalah kasus penggusuran, yang dilaporkan dan dipantau Komnas Perempuan antara lain kasus Cakung Cilincing di Jakarta sebanyak 1 kasus dengan 304 korban, kasus penggusuran Bukit Duri, Kampung Pulo dan Konflik SDA pembangunan pabrik Semen di Pegunungan Kendeng Jateng.

Dalam CATAHU 2017, beragam spektrum dan bentuk kekerasan yang bervariasi sepanjang tahun 2016. Keragaman ini perlu mendapatkan perhatian serius untuk melihat ketepatan Negara dalam merespon persoalan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan. Persoalan tersebut misalnya terkait angka dispensasi perkawinan yang cukup tinggi yaitu mencapai 8488 kasus. Artinya terdapat 8488 perkawinan di bawah umur yang disahkan oleh negara. Lalu di isu disabilitas, sebanyak 93% kekerasan seksual dialami oleh perempuan dengan disabilitas ditengah menggeliatnya upaya untuk memasukkan layanan disabilitas pada lembaga-lembaga layanan.

Perkosaan berkelompok (gang rape), penganiayaan seksual disertai dengan pembunuhan perempuan karena mereka perempuan (femicide) merupakan peristiwa kekerasan yang menarik perhatian publik di sepanjang tahun 2016. Hal ini semakin menegaskan pentingnya pengesahan rancangan UU Penghapusan Kekerasan Seksual. Data pelaporan dari lembaga layanan, menunjukkan bahwa femicida adalah kekejian yang luar biasa baik dari motif pembunuhannya, pola pembunuhannya hingga dampak pada keluarganya, karenanya penting bagi Negara untuk mengenali dimensi kekerasan ini. Disisi lain, kekerasan dan kejahatan  cyber semakin rumit pola kasus kekerasannya. Kekerasan ini mengarah pada pembunuhan karakter, pelecehan seksual melalui serangan di dunia maya yang dirasakan dan berdampak langsung dan berjangka panjang pada korban.

Pembatasan akses bagi kelompok dengan keragaman orientasi dan ekspresi seksual masih terjadi. Khususnya dalam mengakses penghidupan karena dilarang bekerja (larangan waria bekerja di salon), juga akses layanan kesehatan. Pelaksanaan hukuman mati di Indonesia tahun 2016 menguatkan temuan Komnas Perempuan tentang adanya kaitan erat antara kejahatan narkoba, perdagangan manusia dan migrasi. Perempuan pekerja migran merupakan salah satu kelompok yang rentan jadi korban sindikat perdagangan narkoba. Belum lagi masyarakat, khususnya kaum perempuan dihadapkan pada ketegangan antara kebijakan pembangunan dengan prioritas politik infraktrusktur yang mengakibatkan penggusuran, perluasan perkebunan, pembabatan hutan adat sehingga perempuan terancam dari akses kehidupan. Selain itu, komitmen pemerintah untuk menuntaskan pelanggaran  HAM masa lalu belum menyentuh akar persoalan pemenuhan hak korban. Perhatian khusus juga ditujukan kepada aparatur penegak hukum, dimana kriminalisasi terhadap perempuan korban kian meningkat.

CATAHU menunjukkan meningkatnya angka pengaduan langsung para korban ke Komnas Perempuan. Selain itu korban masih cenderung mendatangi layanan yang dibuat CSO/LSM. Kecenderungan korban ini bisa diakibatkan dari dampak penegakan hukum yang lemah, masih banyaknya kebijakan diskriminatif, dan impunitas bagi pelaku. Hal ini ditunjukan dari 46 surat rekomendasi yang dikeluarkan Komnas Perempuan, 54% (25 surat) ditujukan ke Kepolisian.

Meskipun demikian, ada sejumlah kemajuan yang berhasil dicatat di Catatan Tahunan 2017 ini, diantaranya adalah: tersedianya instrumen monitoring dan evaluasi implementasi UU nomor 23/2004 yang disusun oleh Komnas Perempuan dan lembaga pengadalayanan, tingginya dukungan publik untuk RUU Penghapusan Kekerasan seksual melalui kampanye Gerak Bersama, pengakuan  Presiden Joko Widodo yang menetapkan 8 hutan adat dan 1 alokasi hutan adat sebagai bentuk pengakuan terhadap nilai-nilai asli dan jati diri Indonesia, lahirnya UU No. 8 Tahun 2016 tentang Perlindungan Hak Penyadang Disabilitas, dan adanya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 27 Tahun 2016 Tentang Layanan Pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Pada Satuan Pendidikan.

Berangkat dari temuan dan pendokumentasian data CATAHU 2017, Komnas Perempuan merekomendasi Negara untuk mengupayakan pendalaman pengetahuan, pegenalan pola dan  pencegahan serta penanganan korban Kekerasan terhadap Perempuan termasuk pada kekerasan yang terus berulang dan keji seperti perkosaan berkelompok (gang rape) dan  femicide. Selain itu Negara berkewajiban dalam hal Penanganan, Perlindungan dan Pemulihan Korban, serta pentingnya Kebijakan Negara yang tidak diskriminatif dalam merespon dan memulihkan hak korban kekerasan komunal dalam bentuk pengusiran paksa atas alasan identitas agama dan keyakinan serta pembangunan tidak dapat ditolerir. Diperlukan juga Negara membangun mekanisme internasional secara berkelanjutan untuk mendukung penghapusan kekerasan terhadap perempuan secara global.

 

Kontak Narasumber:

Azriana, Ketua Komnas Perempuan (08116762441)

Yuniyanti Chuzaifah, Wakil Ketua Komnas Perempuan (081311130330)

Sri Nurherwati, Komisioner (082210434703) (082122089993)

Indraswari, Komisioner, (081572158806)

Mariana Amiruddin, Komisioner (081210331189)

 

Lembar Fakta Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan Tahun 2017


Labirin Kekerasan terhadap Perempuan: Dari Gang Rape hingga Femicide, Alarm bagi Negara untuk Bertindak Tepat


Jakarta, 7 Maret 2017

 

 

Tentang Catatan Tahunan Komnas Perempuan

  1. Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan diluncurkan setiap tahun untuk memperingati Hari Perempuan Internasional pada tanggal 8 Maret.
  2. CATAHU Komnas Perempuan dimaksudkan untuk memaparkan gambaran umum tentang besaran dan bentuk kekerasan yang dialami oleh perempuan di Indonesia dan memaparkan kapasitas lembaga pengadal ayanan bagi perempuan korban kekerasan.
  3. Data yang disajikan dalam CATAHU Komnas Perempuan adalah kompilasi data kasus riil yang ditangani oleh lembaga layanan bagi perempuan korban kekerasan, baik yang dikelola oleh negara maupun atas inisiatif masyarakat. Termasuk di dalamnya adalah lembaga penegak hukum.
  4. Data CATAHU juga memuat pengaduan kasus yang diterima, serta hasil pemantauan dan kajian Komnas Perempuan.
  5. Catahu Komnas Perempuan diluncurkan sejak tahun 2001.

Temuan dalam Catatan Tahunan 2017

  1. Ada 150 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani selama tahun 2016, yang terdiri dari 245.548 kasus bersumber pada data kasus/perkara yang ditangani oleh 359 Pengadilan Agama (browsing laman BADILAG), serta 13.602 kasus yang ditangani oleh 233 lembaga mitra pengada layanan, tersebar di 34 Provinsi. Data ini turun dari data tahun sebelumnya karena kendala teknis pendokumentasian di Pengadilan Agama dan perubahan struktur di beberapa layanan berbasis Negara. Tahun 2017 Komnas perempuan mengirimkan 674 lembar formulir kepada lembaga mitra Komnas Perempuan di seluruh Indonesia dengan tingkat respon pengembalian mencapai 34%, yaitu 233 formulir.
  2. Seperti tahun lalu, kekerasan yang terjadi di ranah personal mencatat kasus paling tinggi. Data PA sejumlah 245.548 adalah kekerasan terhadap istri yang berujung pada perceraian. Sementara dari 13.602 kasus yang masuk dari lembaga mitra pengada layanan, kekerasan yang terjadi di ranah personal tercatat 75% atau 10.205 kasus. Data pengaduan langsung ke Komnas Perempuan lewat juga menunjukkan trend yang sama, KDRT/RP Lain menempati posisi kasus yang paling banyak di adukan yaitu sebanyak 903 kasus (88%) dari total 1.022 kasus yang masuk.
  3. Untuk kekerasan di ranah rumah tangga/relasi personal. Kekerasan terhadap istri (KTI) menempati peringkat pertama 5.784 kasus (56%), disusul kekerasan dalam pacaran 2.171 kasus (21%), kekerasan terhadap anak perempuan 1.799 kasus (17%) dan sisanya kekerasan mantan suami, kekerasan mantan pacar, serta kekerasan terhadap pekerja rumah tangga.
  4. Di ranah rumah tangga/personal, persentase tertinggi adalah kekerasan fisik 42% (4.281 kasus), diikuti kekerasan seksual 34% (3.495 kasus), kekerasan psikis 14% (1.451 kasus) dan kekerasan ekonomi 10% (978 kasus).
  5. Untuk kekerasan seksual di ranah KDRT/personal tahun ini, perkosaan menempati posisi tertinggi sebanyak 1.389 kasus , diikuti pencabulan sebanyaj 1.266 kasus. Di tahun ini juga CATAHU dapat menampilkan data perkosaan dalam perkawinan sebanyak 135 kasus dan menemukan bahwa pelaku kekerasan seksual tertinggi di ranah KDRT/personal adalah pacar sebanyak 2.017 orang.
  6. Kekerasan di ranah komunitas mencapai angka 3.092 kasus (22%), di mana kekerasan seksual menempati peringkat pertama sebanyak 2.290 kasus (74%), diikuti kekerasan fisik 490 kasus (16%) dan kekerasan lain di bawah angka 10%; yaitu kekerasan psikis 83 kasus (3%), buruh migran 90 kasus (3%); dan trafiking 139 kasus (4%). Jenis kekerasan yang paling banyak pada kekerasan seksual di ranah komunitas adalah perkosaan (1.036 kasus) dan pencabulan (838 kasus).
  7. Di ranah (yang menjadi tanggung jawab) Negara adalah kasus penggusuran Cakung Cilincing di Jakarta sebanyak 1 kasus dengan 304 korban dan 1 kasus dari Jawa Tengah Konflik SDA petani melawan perhutani.
  8. Ranah personal artinya pelaku adalah orang yang memiliki hubungan darah (ayah, kakak, adik, paman, kakek), kekerabatan, perkawinan (suami) maupun relasi intim (pacaran) dengan korban.
  9. Ranah komunitas jika pelaku dan korban tidak memiliki hubungan kekerabatan, darah ataupun perkawinan. Bisa jadi pelakunya adalah majikan, tetangga, guru, teman sekerja, tokoh masyarakat, ataupun orang yang tidak dikenal.
  10. Ranah negara artinya pelaku kekerasan adalah aparatur negara dalam kapasitas tugas. Termasuk di dalam kasus di ranah negara adalah ketika pada peristiwa kekerasan, aparat negara berada di lokasi kejadian namun tidak berupaya untuk menghentikan atau justru membiarkan tindak kekerasan tersebut berlanjut.
  11. Mayoritas korban di ranah personal ada di rentang usia 25-40 tahun, demikian juga dengan pelaku. Sedangkan untuk ranah komunitas sama seperti tahun sebelumnya, mayoritas usia korban adalah 13 – 18 tahun. Pelaku di ranah komunitas mayoritas ada di rentang usia 25-40 tahun.
  12. Catahu 2017 memberikan perhatian serius pada persoalan:
  • Kebijakan memberikan dispensasi perkawinan adalah ruang penyuburan dan pelanggengan

perkawinan anak. Tahun ini tercatat angka dispensasi perkawinan yang dikabulkan pengadilan agama sebanyak 8.488 perkara. Praktik perkawinan anak berkontribusi pada angka kekerasan terhadap perempuan. Putusan MK menolak permohonan  uji materi untuk menaikkan batas usia perkawinan  anak turut mengukuhkan praktik perkawinan anak dan kekerasan terhadap anak perempuan.

  • Femisida atau pembunuhan terhadap perempuan karena dia perempuan, adalah isu serius yang menjadi perhatian dunia namun masih minim menjadi perhatian Indonesia. Setidaknya terlihat dari pendataan yang masih menyederhanakan isu femisida sebagai kriminal biasa. Tidak digalinya dimensi kekerasan berbasis gender serta minimnya pelaporan femisida  ke lembaga layanan karena korban sudah meninggal. Dari data yang diolah, menunjukkan bahwa femisida adalah kekejian yang luar biasa baik dari motif pembunuhannya, pola pembunuhannya hingga dampak pada keluarganya.
  • Pola kekerasan terhadap perempuan semakin kompleks, beragam pola dan tingkat kekerasannya, serta lebih cepat dari  kemampuan Negara untuk merespon. Salah satunya adalah kekerasan dan kejahatan  cyber  yang semakin rumit pola kasus kekerasannya, dari pembunuhan karakter, pelecehan seksual melalui serangan di dunia maya yang dirasakan dan berdampak langsung dan berjangka panjang pada korban, terkadang  pelaku sulit dideteksi, namun respon dan perlindungan hukum belum cukup memadai, karena disederhanakan menjadi  ranah UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik).
  • Kerentanan kelompok dengan keragaman orientasi dan ekspresi seksual semakin tinggi, dan ruang ekpresi semakin menyempit, hingga mencerabut hak dasar mereka atas akses penghidupan karena dilarang bekerja (larangan waria bekerja di Salon), akses kesehatan dan hak dasar lainnya.
  • Diskriminasi dan kekerasan seksual pada penyandang disabilitas perempuan semakin muncul ke permukaan, karena mulai menggeliatnya upaya untuk memasukkan layanan disabilitas pada lembaga-lembaga layanan. Kekerasan seksual pada perempuan dengan disabilitas terjadi karena asumsi bahwa disabilitas adalah makhluk a-seksual atau menstigma bahwa disabilitas (terutama disabilitas intelektual) memiliki kebutuhan seksual yang berlebih, sehingga melanggengkan praktek kekerasan seksual yang terjadi pada mereka.
  • Pelaksanaan hukuman mati di Indonesia pada tahun 2016 menguatkan temuan Komnas Perempuan tentang adanya kaitan erat antara kejahatan narkoba, perdagangan manusia dan migrasi. Perempuan pekerja migran merupakan salah satu kelompok yang rentan terlibat dan menjadi korban pada kasus tersebut. Pada sejumlah kasus kejahatan narkoba dimana perempuan sebagai pelaku, narasi dan latar belakang perempuan hingga menghadapi hukuman mati, belum didengar dan diperhitungkan dalam proses penyidikan, penyelidikan dan pengadilan.
  • Ketegangan antara kebijakan pembangunan dengan prioritas politik infrakstruktur disatu sisi dengan isu-isu hak asasi semakin menguat karena menyuburnya kebijakan tata bangun dan tata ruang, yang mengakibatkan penggusuran, perluasan perkebunan, pembabatan hutan adat,dll. Dampak serius pada perempuan adalah, terancamnya hak dasar atas penghidupan, air, lingkungan seimbang dan sehat, hak kultural, sumber obat-obatan, dll.
  • Komitmen pemerintah untuk menuntaskan pelanggaran HAM masa lalu  belum menyentuh akar persoalan pemenuhan hak korban atas keadilan, kebenaran dan pemulihan korban. Bahkan hambatan terbesar adalah dukungan lembaga-lembaga kunci Negara baik kejaksaan maupun institusi keamanan yang masih belum menunjukkan komitmen politiknya pada korban. Selain itu politisasi isu komunisme, rasisme, bahkan pembubaran hak berkumpul semakin menjauhkan upaya penuntasan tersebut.
  • Kriminalisasi mengalami peningkatan. Kriminalisasi pada perempuan korban KDRT oleh suami atau mantan suami juga harus menjadi perhatian Negara, antara lain pelaporan balik suami padahal isteri yang seharusnya jadi korban lebih awal, tuduhan pencurian ATM suami padahal untuk menghidupi anak-anaknya, tuduhan pemalsuan dokumen karena mengkoreksi identitas suami dalam kartu keluarga karena masih berstatus lajang. Kriminalisasi oleh mantan suami juga isu yang penting, selain kekerasan KDRT yang tidak berhenti dengan perceraian, tetapi paska perceraian juga menyisakan kekerasan yang sulit disoal oleh perlindungan hukum lain, karena sudah diluar relasi perkawinan.
  • Data CATAHU menunjukkan bahwa korban masih cenderung datang ke layanan yang dibuat CSO/LSM yang harus ditelusur lebih jauh penyebabnya. Padahal Negara tengah memperbanyak layanan di berbagai daerah, dimana upaya tersebut harus mengedepankan kualitas layanan yang ramah pada korban, memastikan petugas yang memahami isu dan prinsip layanan yang memulihkan korban, dibanding upaya-upaya formalisme layanan yang mengedepankan status kelembagaan, fasilitas infrastruktur baik gedung dan mobil. Kendati infrastruktur penting, tetapi korban lebih perlu layanan cepat dan bersahabat.
  • Partisipasi dan inisiatif publik semakin meluas dan responsif. Publik menjadi elemen penting pengambil kebijakan yang turut menentukan arah dan respon Negara dalam menyikapi kekerasan terhadap perempuan.
  • Meningkatnya angka pengaduan langsung ke Komnas Perempuan menunjukkan kesadaran perempuan korban atau masyarakat yang membutuhkan perlindungan di luar sistem yang tersedia dalam struktur negara dan kondisi penanganan kekerasan terhadap perempuan yang belum membaik atau masih mengalami stagnasi penegakan hukum dan penanganannya.

 

Unduh Dokumen :

Siaran Pers Komnas Perempuan Catatan Tahunan (CATAHU) 2017

Lembar Fakta Catahu 2017

 

 


Pertanyaan / Komentar: