Siaran Pers Komnas Perempuan
Dalam Peringatan Hari Disabilitas Nasional
Penting Pelibatan Bermakna Perempuan
Disabilitas dalam Pembangunan Inklusi yang Berkeadilan
Jakarta, 4 Desember 2022
Perempuan dengan disabilitas hingga kini masih mengalami diskriminasi, stigma, dan peminggiran baik di masyarakat maupun dalam proses pengambilan keputusan. Diskriminasi dalam ruang pengambilan keputusan berdampak domino, yakni ketertinggalan perempuan dengan disabilitas dalam berbagai bidang kehidupan di Indonesia serta berlanjutnya stereotip baik terkait dengan gender maupun disabilitas yang mengarah pada pelanggaran hak asasi manusia. Stereotip tersebut antara lain dapat dilihat dalam bentuk partisipasi perempuan disabilitas di dunia kerja. Data Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2021 mencatat, proporsi jumlah perempuan disabilitas usia kerja lebih besar (9,32 juta atau 55%) daripada laki-laki usia kerja (7,62 juta atau 45%). Dari angka tersebut, penyandang disabilitas yang bekerja hanya 7,04 juta, sisanya pengangguran terbuka. Perempuan disabilitas yang masuk di dunia kerja lebih sedikit, 3,1 juta orang atau 42,7 persen sementara laki-laki sebanyak 57,3% atau sekitar 4,29 juta orang.
Komnas Perempuan mencatat bahwa indeks inklusivitas Indonesia terbilang rendah pada jenjang dunia maupun kawasan ASEAN. Indeks inklusivitas adalah ukuran holistik dari pembangunan inklusif yang berfokus pada kesetaraan ras, etnik, gender, agama dan disabilitas sebagai representasi politik, kekerasan di luar kelompok, ketimpangan pendapatan, tingkat penahanan serta kebijakan migrasi atau pengungsi. Di tingkat dunia, Indonesia berada di peringkat 125, posisi yang lebih rendah dari Vietnam, Thailand, Filipina dan Singapura. Dengan peringkat inklusivitas sedemikian, pemerintah Indonesia ditantang untuk meningkatkan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas selaku kelompok rentan agar dapat berkembang secara inklusif dan sejalan dengan tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) yakni leaving no one behind.
Komnas Perempuan juga mencatat bahwa perempuan dan anak perempuan dengan disabilitas memiliki kerentanan berlapis dibandingkan non disabilitas, termasuk rentan terhadap kekerasan seksual. Pemantauan Komnas Perempuan terhadap perempuan penyandang disabilitas mental di rumah sakit jiwa di Papua (2021) menemukan bahwa perempuan penyandang disabilitas mental mengalami diskriminasi dan kekerasan berlapis, sebagian besar mereka menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan oleh pasangan dan berasal dari keluarga kurang mampu.
Dalam pengamatan Komnas Perempuan, Pusat Informasi dan Konsultasi Perempuan Penyandang Disabilitas (PIKPPD) yang didirikan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak di 9 wilayah belum terhubung dengan unit penanganan kekerasan terhadap perempuan di daerah (provinsi) tersebut sehingga tidak berjalan optimal. Di sisi lain, Kementerian Kesehatan telah memasukkan layanan dan infrastruktur ramah disabilitas sebagai standar penilaian penyedia layanan kesehatan dasar. Namun dalam pelaksanaannya, banyak Puskesmas belum menyediakan fasilitas yang ramah disabilitas khususnya bagaimana memberikan pelayanan bagi penyandang disabilitas.
Selain jenis kekerasan berbasis gender yang dialami oleh perempuan dan anak perempuan dengan disabilitas, mereka juga mengalami berbagai bentuk kekerasan khusus terkait dengan kondisi disabilitas seperti stigma dan diskriminasi, menghapus atau mengontrol akses ke alat bantu komunikasi vital (seperti alat bantu dengar) atau menolak membantu komunikasi, penghapusan perangkat dan fitur aksesibilitas seperti kursi roda atau ramp, serta penolakan oleh pengasuh untuk membantu aktivitas sehari-hari, seperti mandi, berpakaian, makan dan aktivitas keseharian lainnya. Bentuk-bentuk kekerasan khusus terhadap perempuan dengan disabilitas mencakup intimidasi, pelecehan verbal, dan ejekan karena kondisi disabilitas. Diskriminasi dan kekerasan sedemikian telah menghambat perempuan dan anak perempuan dengan disabilitas untuk dapat berpartisipasi secara aktif dalam kehidupan bermasyarakat dan pembangunan.
Berkaitan dengan tema peringatan Hari Penyandang Disabilitas Internasional, 3 Desember 2022, yakni Transformative solutions for inclusive development: the role of innovation in fuelling an accessible and equitable world“, Komnas Perempuan mendorong agar pemerintah, masyarakat termasuk lembaga agama, dunia akademis dan berbagai pihak terkait dapat menyediakan berbagai solusi yang transformatif dalam mewujudkan tatanan kehidupan yang inklusif: mudah diakses dan adil untuk pemenuhan hak-hak perempuan dengan disabilitas dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan maupun teknologi.
Oleh karena itu, Komnas Perempuan mendorong berbagai pihak untuk mengembangkan program strategis dan lintas kementerian/lembaga yaitu;
- Pemerintah RI agar menyelaraskan perundang-undangan nasional yang masih diskriminatif terhadap perempuan penyandang disabilitas seturut dengan UU No. 16/2018 tentang Penyandang Disabilitas dan Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas.
- Kementerian Sosial RI agar melakukan kampanye dan pendidikan publik untuk menghapus stigma dan diskriminasi terhadap penyandang disabilitas khususnya perempuan disabilitas dengan memanfaatkan teknologi komunikasi digital yang berkembang;
- Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mengembangkan inovasi sistem pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan dengan disabilitas dengan teknologi yang terjangkau dan mudah diakses oleh perempuan dengan disabilitas;
- Kementerian Telekomunikasi dan Informasi agar mengembangkan inovasi sarana, prasarana, dan layanan, termasuk akses teknologi informasi dan komunikasi yang ramah terhadap perempuan dengan disabilitas;
- Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengembangkan inovasi untuk kurikulum dan metode pembelajaran berbasis teknologi yang memudahkan penyandang disabilitas khususnya perempuan dengan disabilitas berpartisipasi penuh dalam pembelajaran.
Narasumber
1.
Bahrul Fuad
2. Rainy M. Hutabarat
3. Mariana Amiruddin
Narahubung: 0813-8937-1400