...
Siaran Pers
Siaran Pers Komnas Perempuan Hari Internasional Tanpa Toleransi terhadap Pelukaan dan Pemotongan Genital Perempuan (P2GP)

Memperkuat Gerakan Masyarakat untuk Menghapus Praktik P2GP di Indonesia

 

Jakarta, 06 Februari 2025

 

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mendorong adanya kebijakan zero tolerance  terhadap praktik Pelukaan dan atau Pemotongan Genital Perempuan (P2GP).  Kebijakan penghapusan praktik P2GP atau sunat perempuan merupakan bagian dari upaya memastikan kesehatan reproduksi sesuai siklus hidup dan diarahkan untuk semua perempuan di segala usia. Upaya ini dalam rangka mendukung pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG’s) dalam Tujuan 5 pada target 5.3 terkait penghapusan semua praktik berbahaya, termasuk praktik P2GP. Larangan dan atau penghapusan P2GP ini telah dimandatkan dalam berbagai forum dan kesepakatan internasional baik dalam SDG’s maupun deklarasi/konferensi perempuan internasional dan resolusi PBB.

Spirit SDG’s ini sejalan dengan tujuan PBB untuk menghapuskan praktik P2GP hingga tahun 2030, karena hingga saat ini lebih dari 200 juta anak perempuan dan perempuan yang hidup saat ini telah menjalani mutilasi alat kelamin perempuan. Tahun ini, hampir 4,4 juta anak perempuan berisiko mengalami praktik berbahaya ini, setara dengan lebih dari 12.000 kasus setiap hari. Oleh karena itu peringatan Hari Internasional Tanpa Toleransi terhadap P2GP secara global tetap fokus dengan tema Ending Female Genital Mutilation By 2030. Sementara tema tahun 2025 ini adalah Stepping Up the Pace: Strengthening Alliances and Building Movements To End FGM.

Di Indonesia, Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2024 memperlihatkan bahwa masih terjadi praktik P2GP pada perempuan usia 15-49 tahun sebanyak 46,3%. Mayoritas praktik dilakukan secara simbolis (58,6%) dan sisanya dilakukan sesuai kriteria WHO (41,4%). Data lain dari UNICEF 2024, mencatatkan lebih dari 230 juta anak perempuan dan perempuan di seluruh dunia mengalami praktik P2GP, dimana terdapat lebih dari 80 juta terjadi di wilayah Asia.

“Untuk mendorong penghapusan P2GP, diperlukan upaya terkoordinasi dan sistematis, dan upaya tersebut harus melibatkan seluruh masyarakat dan berfokus pada hak asasi manusia, kesetaraan gender, pendidikan seksual, dan perhatian terhadap kebutuhan perempuan dan anak perempuan yang menderita akibatnya,” kata Alimatul Qibtiyah, Komisioner Komnas Perempuan.

Komnas Perempuan telah melakukan empat kali penelitian dan kerja-kerja advokasi dalam pencegahan dan atau penghapusan P2GP. Pertama dalam kerangka penelitian bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan berbasis budaya (2012); kedua, fokus pada sejarah, pemahaman, pengetahuan, sikap dan praktik-praktik P2GP di 10 Provinsi, 17 Kabupaten/kota di Indonesia (2017); ketiga, dalam penelitian terkait Hak Kesehatan Reproduksi dan Seksual (2019); dan keempat dalam pemantauan implementasi Roadmap pencegahan P2GP di tiga wilayah dengan prevalensi tinggi praktik P2GP (Provinsi Gorontalo, Kabupaten Belitung Timur, dan Lebak, Banten) (2023-2024).

“Secara eksplisit, larangan P2GP atau sunat perempuan di Indonesia tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2024, namun masih banyak yang belum tahu tentang aturan ini,” terang Maria Ulfah Anshor, Komisioner Komnas Perempuan.

Maria Ulfah Anshor juga  menegaskan dari hasil pemantauan implementasi Roadmap pencegahan P2GP, dalam level kesadaran dan pengetahuan tentang dampak P2GP, tercatat lebih banyak (66%) yang mempraktekan sunat perempuan dari yang tidak melakukan (34%). Sebagian besar (60%) tidak mengetahui adanya kebijakan terkait penghapusan atau pelarangan praktek P2GP.

“Komnas Perempuan memandang roadmap tersebut penting untuk terus dikawal mengingat praktik P2GP masih banyak terjadi di sejumlah wilayah di Indonesia. Massifikasi koordinasi berjenjang antar Lembaga dalam implementasi kebijakan dari tingkat pusat hingga daerah yang meliputi pihak dalam roadmap perlu diperluas.” Ujar Satyawanti Mashudi, Komisioner Komnas Perempuan.

Satyawanti menambahkan, faktor ketidaktahuan adanya kebijakan larangan atau penghapusan berpengaruh terhadap praktik yang dilakukan oleh mayoritas masyarakat. Sebaliknya mayoritas yang mengetahui adanya kebijakan pelarangan tidak melakukan praktik. Artinya sosialisasi kebijakan yang melarang atau menghapus menjadi sesuatu yang sangat penting untuk dikuatkan.

“Melalui tarjih, Muhammadiyah menyampaikan tidak menganjurkan sunat perempuan. Sedangkan NU melalui muktamar memberikan hukum yang beragam, yaitu makrumah, wajib, sunnah, mubah. Disisi lain sejumlah klinik menawarkan khitan perempuan sebagai bagian dari paket bersalin. Proses pencegahan yang melibatkan alim ulama dan pengawasan pada klinik kesehatan menjadi usulan yang perlu digarisbawahi. “pungkas Imam Nakhei, Komisioner Komnas Perempuan.

 

Narahubung: Elsa (0813-8937-1400)

 

 

 

 


Pertanyaan / Komentar: