...
Siaran Pers
Siaran Pers Komnas Perempuan, Komnas HAM, KPAI, KND Merespons Hari Pekerja Rumah Tangga (PRT) Nasional

 “Mendorong Percepatan Pengesahan RUU PPRT”


Jakarta, 13 Februari 2025


Memperingati Hari Pekerja Rumah Tangga (PRT) Nasional yang diperingati setiap tanggal 15 Februari, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dan Komisi Nasional Disabilitas (KND) terus mendesak pengesahan Rancangan Undang-Undang Pelindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT). 

Perjuangan untuk pengesahan RUU PPRT telah memasuki usia 21 tahun sejak diinisiasi oleh beberapa lembaga dan organisasi ke DPR pada tahun 2004. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mendorong pengesahan RUU PPRT, seperti melakukan komunikasi intensif dengan DPR RI dan pendekatan kepada simpul-simpul masyarakat sipil. Momentum peringatan Hari PRT nasional tahun 2025 ini diharapkan menjadi ruang pemenuhan harapan lebih dari 4 juta PRT di Indonesia terhadap pengesahan RUU PPRT menjadi undang-undang. 

Komnas Perempuan mengapresiasi masuknya RUU PPRT dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025-2029. Sebagaimana saran dan rekomendasi yang disampaikan Komnas Perempuan pada Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Badan Legislasi (Baleg) DPR RI pada 28 Oktober 2024. Komnas Perempuan mengharapkan agar pemerintah saat ini juga dapat memberikan dukungan yang sama besarnya dengan pemerintah sebelumnya dalam mendorong pengesahan RUU PPRT. Keberpihakan terhadap RUU PPRT merupakan komitmen bersama terhadap keadilan sosial dan hak asasi manusia.

“Perlindungan bagi pekerja di sektor  informal masih sangat kurang, termasuk bagi  pekerja rumah tangga yang mayoritasnya perempuan. Hingga saat ini kekerasan terhadap PRT terus terjadi dalam berbagai bentuk kekerasan dan penyiksaan yang paling kejam. Hingga 2024, Komnas Perempuan masih menerima kasus pengaduan terhadap kekerasan yang dialami oleh PRT diantaranya Kekerasan hingga berakhir meninggal dalam kondisi mengenaskan yakni ditemukan gantung diri lantaran dituduh melakukan pencurian oleh majikannya. Bukan hanya kasus penyiksaan PRT yang mengarah pada femisida, terdapat pula kasus PRT yang mengalami kekerasan berlapis, yakni  korban TPPO (Tindak Pidana Perdagangan Orang) lewat perekrutan, mengalami kekerasan seksual dan delayed in justice agar kasus diupayakan selesai dengan mekanisme Restorative Justice,” ungkap Olivia Chadidjah Salampessy, Wakil Ketua Komnas Perempuan.”

Anis Hidayah, Komisioner Komnas HAM juga menegaskan bahwa Komnas HAM memberi perhatian terhadap kelompok rentan dan marginal yang memiliki potensi kuat terhadap pelanggaran hak asasi manusia. Salah satunya adalah Pekerja Rumah Tangga (PRT). Selama ini Komnas HAM telah menerima pengaduan kasus pekerja rumah tangga yang mengalami pelanggaran hak asasi manusia, antara lain gaji tidak dibayar, hilang kontak, kekerasan, perdagangan orang, dan kekerasan seksual.

Hak atas pekerjaan merupakan bagian dari hak asasi manusia yang diatur secara jelas dalam UUD 1945 dan berlaku tanpa diskriminasi. Negara memiliki kewajiban untuk menghormati, melindungi, memenuhi seluruh hak asasi manusia termasuk hak atas pekerjaan. Pasal 28D ayat (2) UUD NRI 1945 menjamin “setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan adil dan layak dalam hubungan kerja”.

Pada tahun 2024, Komnas HAM telah menyusun Standar Norma dan Pengaturan (SNP) tentang Hak atas Pekerjaan yang Layak. Dalam SNP tersebut ditegaskan bahwa Pekerja Rumah Tangga merupakan salah satu kelompok rentan yang membutuhkan pengaturan khusus dalam pemenuhan hak atas pekerjaan. PRT selama ini mendapat kesulitan untuk pemenuhan hak atas pekerjaan yang layak, dikarenakan jenis hubungan kerjanya sering kali dikecualikan dari hubungan kerja menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, karena pemberi kerjanya adalah orang perseorangan, dan hubungan kerjanya sering kali dianggap bersifat kekeluargaan. Akibatnya, mereka rentan untuk menanggung risiko pekerjaan secara mandiri, hilangnya tanggung jawab dari pemberi kerja karena tidak adanya landasan hukum yang dapat digunakan sebagai alas hak untuk menjamin dan memperjuangkan haknya, serta tidak memperoleh/hilangnya akses dan layanan maksimal dari Negara, seperti fasilitas kesejahteraan, penegakan hukum dan kebebasan berserikat. 

 

Faktanya, hingga saat ini, Indonesia belum meratifikasi Konvensi ILO C 189 - Domestic Workers Convention, 2011 (No. 189). Pengaturan saat ini hanya merujuk pada Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga. Untuk itu, dibutuhkan UU yang memberikan jaminan bagi Pekerja rumah tangga untuk mendapatkan perjanjian kerja yang berisi hak dan kewajiban yang mengikat bagi pemberi kerja dan pekerja rumah tangga, jaminan sosial kesehatan dan jaminan sosial ketenagakerjaan, pendidikan dan pelatihan, yang dapat diselenggarakan oleh pemerintah maupun penyalur Pekerja Rumah Tangga, penempatan dan penyaluran tenaga kerja yang bebas diskriminasi dan bermartabat serta hak untuk berkumpul dan berserikat sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Atas dasar hal tersebut, Komnas HAM mendukung percepatan pengesahan RUU PPRT yang berlandaskan pada penghormatan hak asasi manusia dan mendorong proses pembahasan yang partisipatif. RUU PPRT yang kembali menjadi Prolegnas 2025-2029 tidak memiliki alasan untuk penundaan pembahasan dan pengesahannya. 


“PRT anak merupakan bentuk-bentuk Pekerjaan terburuk anak/BPTA yang sangat membahayakan tumbuh kembang serta merampas hak anak seperti pendidikan, kesehatan, pengasuhan dan partisipasi dalam hidupnya. sehingga upaya menghapus pekerja anak dan anak dalam BPTA menjadi agenda prioritas pemerintah dalam optimalisasi perlindungan anak. Akan tetapi KPAI masih menerima pengaduan anak korban eksploitasi ekonomi dan atau seksual berupa PRT anak yang disertai kekerasan fisik dan/psikis serta seksual, dan bahkan tidak diberikan gaji dan makanan yang layak. 

Beberapa kasus di Lampung (tahun 2023) dan di Jakarta Pusat (tahun 2024) menjadi catatan kelam anak-anak direkrut dan ditempatkan menjadi PRT tanpa perlindungan. RUU PPRT harus segera disahkan sebagai payung hukum semangat pencegahan dan penanggulangan serta perlindungan pada PRT terutama manipulasi usia yang seharusnya tidak menjadikan anak-anak sebagai PRT yang selalu berpotensi mengalami kerentanan kekerasan dan pelanggaran hak dasar anak,” tegas ketua KPAI Ai Maryati Solihah

Komisioner Komnas Disabilitas Fatimah Asri menambahkan, ”Hadirnya Rancangan Undang-Undang Pelindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) merupakan oase di tengah kekosongan hukum mengenai pelindungan bagi pekerja rumah tangga yang selama ini berada dalam ruang hampa.  Selama ini, Pekerja Rumah Tangga rentan terhadap kekerasan dan eksploitasi yang tak jarang berimplikasi pada kedisabilitasan baik fisik maupun mental. Meski belum ditemukan data pasti berapa jumlah PRT yang menjadi disabilitas akibat kekerasan dan eksploitasi, namun beberapa kasus yang mencuat ke permukaan, bisa menjadi indikator kuat akan hal tersebut.” 

Oleh karena itu, Komisi Nasional Disabilitas sangat berharap kehadiran RUU PPRT menjadi momentum bagi negara untuk menciptakan pelindungan yang optimal dan komprehensif terhadap seluruh Pekerja Rumah Tangga, termasuk para pekerja migran yang rentan menjadi korban akibat praktik yang ilegal. 

“Tidak hanya itu, RUU PPRT ini dapat lebih progresif dengan memberikan kepastian  dan keadilan bagi Penyandang Disabilitas yang bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga,” Pungkas Fatimah.


Narahubung: Elsa (081389371400)


Pertanyaan / Komentar: