...
Siaran Pers
Siaran Pers Komnas Perempuan : Komnas Perempuan Meminta Pemerintah untuk melakukan Revisi UU No.1 PNPS Tahun 1965 dan Bersikap Tegas Pada Tindakan Intoleransi dan/atau Tindakan Persekusi (Jakarta, 25 Juli 2018)

Siaran Pers Komnas Perempuan

Komnas Perempuan Meminta Pemerintah untuk melakukan Revisi UU No.1 PNPS Tahun 1965 dan Bersikap Tegas Pada Tindakan Intoleransi dan/atau Tindakan Persekusi

Jakarta, 25 Juli 2018

 

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyesalkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait perkara Nomor 56/PUU-XV/2017 yang dibacakan pada hari Senin, 23 Juli 2018, yang menyatakan MK menolak memberikan penafsiran terhadap Pasal 1,2, dan 3 UU No.1/ PNPS/1965, yang selama ini telah digunakan secara semena-mena dan eksesif oleh kelompok-kelompok intoleran dan dominan untuk melanggar hak konstitusional warga terkait dengan hak kebebasan beragama dan berkeyakinan, yang telah dijamin secara tegas dalam Konstitusi pasal 28 E ayat 1 dan 2 UUD RI 1945. Para Pemohon Judicial Review adalah Warga Jemaat Ahmadiyah yang selama ini telah menjadi korban dan mengalami sejumlah kerugian akibat tindakan persekusi dan intoleransi yang dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu dengan menggunakan norma dan materi muatan Pasal 1,2, dan 3 UU PNPS sebagai pembenarannya. Para Pemohon meminta MK melakukan penafsiran konstitusional bersyarat terhadap Pasal 1,2 dan 3 UU No. 1 PNPS Tahun 1965, agar pelanggaran Hak Konstitusional Warga Jemaat Ahmadyah yang telah berlangsung bertahun-tahun dapat segera dihentikan.

Berdasarkan pemantauan Komnas Perempuan tentang kasus-kasus pelanggaran hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan terhadap kaum minoritas, salah satu penyebab utamanya adalah adanya UU dan regulasi yang tidak selaras dengan jaminan hak kebebasan beragama dan berkeyakinan yang digariskan oleh Konstitusi dan Undang-Undang.  Adalah UU No. 1/PNPS/1965 yang memberikan peluang besar kepada aparat negara maupun masyarakat untuk melakukan intervensi pada forum internum berupa pelarangan keyakinan dan berlebihan dalam membatasi forum eksternum serta memiliki kecenderungan untuk bertindak diskriminatif terhadap agama, aliran agama, dan keyakinan minoritas lainnya yang dianggap berbeda dengan keyakinan mainstream.

Komnas Perempuan juga telah menggali secara mendalam pengalaman perempuan Ahmadiyah dalam konteks kasus-kasus kekerasan dan intoleransi melalui sejumlah pemantauan yang dilakukan pada tahun 2008, 2011, 2013, dan 2014. Pemantauan ini menghasilkan gambaran tentang kekerasan dan diskriminasi yang dialami oleh kelompok Perempuan Ahmadiyah baik sebagai Ibu, Isteri, Mertua, Anak, dan seluruh identitas yang melekat pada dirinya, yaitu; mengalami kekerasan fisik, psikis, dan seksual, kesulitan mencatatkan perkawinan, kesulitan mendapatkan KTP, kehilangan pekerjaan, kesulitan akses kesehatan reproduksi, kehilangan tempat tinggal dan akses pendidikan anak-anak mereka menjadi terlantar. Perempuan Ahmadyah mengalami diskriminasi yang berlapis karena mereka perempuan dan berasal dari kelompok agama minoritas. Dari temuan pemantauan ini pula Komnas Perempuan menyimpulkan, telah terjadi pelembagaan diskriminasi terhadap warga Jemaat Ahmadyah di Indonesia.

Dengan berbagai pertimbangan di atas, Komnas Perempuan memutuskan menjadi Pihak terkait guna memperkaya dan memperluas pertimbangan Mahkamah Konstitusi mengenai Pelaksanaan Tanggung Jawab Negara dalam pemenuhan Hak Asasi  Manusia (HAM), sebagaimana dimandatkan pada Pasal 28 I (4) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Khususnya mengenali pengalaman perempuan sebagai korban kekerasan dan diskriminasi dalam konteks kasus-kasus intoleransi. Komnas Perempuan menyesalkan putusan  MK yang seharusnya dapat menggunakan kesempatan ini sebagai  the  guardian  of constitution,  yang menjadi sandaran bagi warga negara atas persoalan norma UU No.1/PNPS/1965 yang bermasalah dan telah memakan banyak korban.

Namun demikian, dalam putusannya MK mengakui bahwa UU PNPS perlu segera direvisi melalui upaya legislasi biasa yang memungkinkan bagi semua pihak untuk terlibat dalam pembahasannya secara mendalam. MK juga menegaskan jika ada seseorang atau sekelompok orang melakukan perbuatan main hakim sendiri atau persekusi dengan dalih Pasal 1 UU 1/PNPS/1965, maka negara wajib hadir dan bersikap tegas. Terhadap kekhawatiran terjadinya pembiaran oleh negara, Mahkamah menegaskan bahwa negara harus menjamin perlindungan bagi setiap warga negara yang hendak melaksanakan hak konstitusionalnya secara damai, termasuk dalam menganut agama dan keyakinannya (Putusan MK hal. 539-540)

Atas putusan MK ini Komnas Perempuan mendesak kepada pemerintah, untuk melakukan langkah-langkah sebagai berikut :

  1. Membentuk tim untuk melakukan perubahan/revisi atas Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 sebagaimana ditegaskan dalam putusan Mahkamah Konstitusi dengan pertimbangan asas kepastian hukum dalam pemenuhan Hak Asasi Manusia;
  2. Menyerukan kepada Pemerintah Daerah untuk tidak mengeluarkan kebijakan-kebijakan diskriminatif yang melakukan pembatasan dan pelarangan terhadap hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan bagi kelompok-kelompok minoritas;
  3. Mencegah berulangnya kasus-kasus intoleransi yang mengatasnamakan “penodaan agama”  dan melakukan tindakan tegas terhadap para pelaku main hakim sendiri dan/atau pelaku tindakan intoleran agar tidak menyuburkan impunitas.

 

Narasumber:
Yuniyanti Chuzaifah, Komisioner (081311130330)
Budi Wahyuni, Komisioner (0811293712)
Khariroh Ali, Komisioner (081284659570)
Imam Nahei, Komisioner (082335346591)

 

Link unduh dokumen :

Siaran Pers Komnas Perempuan : Komnas Perempuan Meminta Pemerintah untuk melakukan Revisi UU No.1 PNPS Tahun 1965 dan Bersikap Tegas Pada Tindakan Intoleransi dan/atau Tindakan Persekusi ( Jakarta, 25 Juli 2018)

 

 

 

 

Komis

 


Pertanyaan / Komentar: