Siaran Pers Komnas Perempuan
Memperingati 94 Tahun Hari Pergerakan Perempuan Indonesia
Kepemimpinan Perempuan Indonesia Masih Menghadapi Kebijakan yang ‘Netral Gender’
Jakarta, 22 Desember 2022
Setelah 94 (sembilan puluh empat) tahun berlangsungnya Kongres Perempuan Indonesia pada 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta, kiprah perempuan Indonesia semakin mewarnai peran-peran strategis di ranah publik, baik di sektor ekonomi, sosial, budaya, dan politik. Pada saat ini, bukan sesuatu yang aneh bila mendengar seorang perempuan menduduki jabatan tinggi sebuah perusahaan, menjadi kepala sekolah, menjadi rektor, menjadi direktur atau manajer sebuah lembaga/instansi, menduduki jabatan menteri dalam kabinet, menjadi direktur jenderal di kementerian, menjadi anggota dewan perwakilan rakyat, menjadi jenderal di jajaran TNI/POLRI, dll.
Dapat dikatakan, saat ini perempuan Indonesia sudah mendapat akses yang sama dan dibuka lebar dalam mengakses peran-peran di ranah publik. Tentu saja perkembangan ini akan memberikan rasa bangga bagi siapa pun para pejuang perempuan dari jaman ke jaman. Keberhasilan-keberhasilan ini pun tidak ada salahnya dirayakan.
Namun demikian, bila kita melihat sejumlah fakta dalam angka-angka, ternyata jumlah perempuan pemimpin masih jauh kecil dibanding laki-laki yang menduduki jabatan pimpinan. Misalnya, jumlah anggota kabinet perempuan di Pemerintahan Joko Widodo, berjumlah 6 orang menteri perempuan dari 34 kementerian (14,7%), Keterwakilan perempuan di legislatif berjumlah 123 dari 573 orang (20,8% ), jumlah petinggi POLRI perempuan berpangkat Brigadir Jenderal dan Inspektur Jenderal hanya 3 (tiga) orang dari 24.722 jumlah polwan. Sementara jumlah anggota TNI perempuan hanya 8.850 dari total jumlah 444.133 personel TNI, berarti sekitar 2% saja (Kemen PPPA), dan yang menduduki jabatan jenderal hanya 4 orang dari total 371 jabatan jenderal.
Sementara itu, jumlah perempuan di lingkungan PNS sudah cukup menggembirakan, yaitu ada 53% (2.143.065) perempuan dan 47% (1.938.759) laki-laki (Kedeputian Manajemen Informasi, 2021). Namun demikian, seiring dengan perjalanan karier, jumlah perempuan yang menduduki jabatan eselon I dan II tidak sebanding dengan jumlah pejabat laki-laki, yaitu hanya 13% (BPS, 2020).
Timpangnya jumlah jabatan strategis antara perempuan dan laki-laki di sejumlah lembaga dan institusi tersebut menjadi sebuah pertanyaan di saat sejumlah kebijakan lembaga/institusi tidak memberlakukan diskriminasi dalam memberikan akses laki-laki dan perempuan dalam meniti jenjang karier. Misalnya, secara khusus, manajemen ASN di Indonesia menggunakan sistem merit yang memastikan setiap kebijakan dan manajemen ASN didasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja secara adil tanpa diskriminasi apa pun, termasuk pada gender. Adanya kebijakan tersebut memberikan dasar penentuan indikator kinerja berbasis potensi dan kapasitas setiap ASN, tanpa memandang jenis kelamin dan pola diskriminasi lainnya, yang dapat dikatakan sangat “netral gender”. Artinya, setiap orang, laki-laki dan perempuan, hanya dinilai berdasarkan keahliannya, dan berasumsi bahwa setiap orang akan mendapat manfaat dari perlakuan yang sama (equal treatment), padahal setiap orang, perempuan dan laki-laki, dan identitas lainnya membutuhkan dukungan dan perlakuan yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhannya (equity treatment). Dalam hal ini kondisi perempuan dan laki-laki tidaklah sama, baik secara biologis dan peran-peran gender dalam keluarga dan masyarakat yang sangat dipengaruhi oleh kultur, khususnya budaya patriarki.
Pemahaman dalam masyarakat patriarki tersebut tak jarang mempengaruhi pola pikir para pengambil kebijakan, seperti,“laki-laki pencari nafkah utama, dan perempuan hanya pencari nafkah tambahan”, atau, “perempuan boleh bekerja di luar rumah, asal jangan melupakan kodratnya sebagai ibu dan istri”. Ini yang menyebabkan beban perempuan karier lebih berat dibanding laki-laki karier. Akhirnya, perempuan cenderung memilih keluarga daripada peluang karier yang ada di depan mata.
Pemahaman ini seolah sudah mengakar dalam masyarakat, dan perempuan pun secara tak sadar mengakui dan menganggap itu kebenaran yang harus dipatuhi dalam berkiprah di ranah publik. Dampaknya, meskipun perempuan diberi peluang yang sama, memiliki kapasitas dan kualifikasi yang sama dengan laki-laki, tetapi perempuan menghadapi hambatan-hambatan yang tidak dimiliki oleh laki-laki.
Melihat kondisi hambatan-hambatan tersebut, Komnas Perempuan menyatakan bahwa perlu adanya pemahaman baru dalam masyarakat dan kebijakan yang memuat perlakuan khusus atau affirmative action untuk mencapai keseimbangan gender atau gender balance dalam jenjang kepemimpinan perempuan di ranah publik. Upaya ini dapat dilakukan dengan strategi-strategi:
- Membangun pemahaman dalam masyarakat (khususnya anggota keluarga) bahwa peran-peran perempuan di ranah publik adalah pilihan setara dengan pilihan peran di ranah domestik. Pilihan perempuan untuk berperan di ranah publik tidak semestinya menimbulkan beban ganda bagi perempuan dan menghambat meniti jenjang karir yang lebih tinggi.
- Membangun pemahaman dalam masyarakat bahwa peran domestik bukanlah peran yang secara eksklusif dibebankan hanya kepada perempuan namun merupakan peran yang dibagi antargender dengan laki-laki. Keterlibatan laki-laki dalam ranah domestik bukanlah dalam rangka membantu perempuan namun merupakan kerja bersama.
- Menguatkan rasa percaya diri kepada perempuan-perempuan yang berkiprah di ranah publik untuk membuat pilihan-pilihan setara antara peran domestik dan publik
- Dalam hal poin 1 dan 2 masih dalam proses perubahan, penting adanya kebijakan pada lembaga/institusi baik publik maupun swasta untuk membuat perlakuan khusus (affirmative action) untuk mewujudkan keseimbangan kepemimpinan antara laki-laki dan perempuan.
Narasumber:
1. Alimatul Qibtiyah
2. Olivia Chadijah Salampessy
3. Mariana Amiruddin
Narahubung: +62 813-8937-1400