Bersama Bangun Lingkungan yang Mendukung Anak Perempuan sebagai Penggerak Perubahan
11 Oktober 2025
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) turut memperingati Hari Anak Perempuan Sedunia (International Day of the Girl Child) yang diperingati setiap 11 Oktober berdasarkan adopsi Resolusi 66/170 pada Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 19 Desember 2011. Peringatan hari ini ditujukan sebagai pengakuan hak-hak yang dimiliki anak perempuan serta berbagai tantangan yang secara spesifik dihadapi anak perempuan dalam penikmatan hak asasi manusianya.
Tiga puluh (30) tahun sejak disepakatinya Kesepakatan Global Beijing Platform for Action (BPfA +30), anak perempuan di seluruh dunia masih mengalami tantangan. Diantaranya akses atas pendidikan, tertinggal dalam literasi dan akses internet, rentan mengalami kekerasan di ranah personal, mengalami Pelukaan/Pemotongan Genitalia Perempuan (P2GP) dan stigma yang dilekatkan dengan praktik P2GP, perkawinan usia anak, serta memiliki risiko kematian ibu yang tinggi akibat reproduksi usia anak.
Komnas Perempuan mencatat bahwa sepanjang 2024, sejumlah 3.681 atau 18,9% dari total 19.460 dari kasus kekerasan di ranah personal di Indonesia merupakan Kekerasan terhadap Anak Perempuan (KTAP). Ketimpangan relasi kuasa antara anak perempuan dengan orang tuanya membuat rumah belum menjadi ruang yang aman bagi anak perempuan. Kekerasan psikis maupun paparan terhadap kekerasan yang dilakukan oleh orang tua juga turut membentuk perilaku kekerasan hingga mereplikasi kekerasan dan merentankan anak perempuan untuk berhadapan dengan hukum. Jerat perkawinan anak juga masih mengintai anak perempuan, meski Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah mengubah usia kawin dari 16 tahun menjadi 19 tahun untuk laki-laki dan perempuan. Hal ini terlihat dari lonjakan pengabulan dispensasi kawin oleh Pengadilan Agama sejak tahun 2020. Angka pengabulan dispensasi kawin terus mengalami penurunan meski bersifat gradual. Pada tahun 2024 tercatat masih terdapat 32.706 dispensasi kawin yang dikabulkan. Padahal, perkawinan anak meningkatkan potensi terjadinya Kekerasan Terhadap Istri (KTI).
Selain kekerasan di ranah personal, praktik yang membahayakan juga mengintai anak perempuan, seperti Pelukaan dan Pemotongan Genital Perempuan (P2GP)/sunat perempuan yang menempatkan anak perempuan menjadi korban kekerasan, meningkatkan kerentanan berlanjut, serta memberikan trauma psikologis berkepanjangan.
Sekolah sebagai tempat kedua anak perempuan juga belum memberikan pelindungan menyeluruh dari kekerasan. Ketimpangan relasi kuasa antara anak perempuan dan orang dewasa masih merentankan anak perempuan mengalami kekerasan yang dapat turut menghambat akses pendidikan maupun menghambat penikmatan sejumlah hak lainnya. Di sisi lain, lingkungan pendidikan memiliki peran penting untuk memperkuat upaya pencegahan kekerasan dan pemulihan korban, termasuk untuk menjaga pemenuhan hak anak perempuan atas pendidikan. Untuk itu, penting untuk melakukan kolaborasi bersama dalam memperkuat implementasi kebijakan yang melindungi anak perempuan di lingkungan pendidikan, termasuk Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) 46 Tahun 2023.
Di tengah himpitan kerentanan, memberdayakan anak perempuan menjadi hal yang krusial. Pendidikan yang mengintegrasikan Hak Asasi Manusia Berperspektif Gender (HAMBG) penting untuk membangun lingkungan yang aman untuk mendukung anak perempuan sebagai penggerak perubahan. Komisioner Devi Rahayu menyatakan, “Sebagai pendidik dan konselor sebaya, anak perempuan mengambil peran penting dalam pemenuhan hak kesehatan seksual dan reproduksi, termasuk membangun generasi yang mampu berperilaku asertif terhadap otoritas tubuhnya.”
“Hal lain yang menjadi perhatian pada masa sekarang adalah dunia digital. Hal ini menjadi salah satu bentuk kerentanan juga bagi anak perempuan. Dunia digital semakin mudah diakses oleh siapa saja dan bisa menimbulkan dampak positif maupun negatif. Semakin berkembangnya teknologi dan dinamika dunia yang terus berkembang membuat tindak kejahatan selalu berkembang. Bentuk kejahatan yang terjadi di dunia digital ini berupa penipuan, grooming, dan dapat berujung pemerasan. Tidak jarang, kasus penipuan bisa berujung penculikan dan/atau prostitusi. Hal negatif lain adalah konten-konten yang tidak seharusnya ditujukan bagi mereka yang sesuai dengan usianya (konten 17+ atau untuk dewasa). Meski begitu, dunia digital tetap memberikan dampak positif seperti kemudahan mengakses informasi sehingga anak-anak bisa menjadi lebih paham dengan sekitarnya namun tentu ini perlu adanya pengawasan dari orang tua atau orang dewasa yang lebih memahami”, tutur Komisioner Irwan Setiawan.
Negara berkewajiban untuk melindungi hak anak perempuan, sejalan dengan komitmen internasional yang telah diratifikasi seperti CEDAW dan CRC, serta BPfA yang secara khusus menggarisbawahi isu anak perempuan, serta SDGs Tujuan 4, 5, dan 16. Komnas Perempuan menyerukan agar Pemerintah Republik Indonesia bersama lintas pihak untuk memperkuat kolaborasi dalam membangun ruang yang aman dan mendukung anak perempuan serta melibatkan anak perempuan dalam pembangunan sebagai penggerak menuju Indonesia yang setara, adil, dan bebas dari kekerasan.
Sejalan dengan tema Hari Anak Perempuan Sedunia 2025 bertajuk, “The Girl I Am, The Change I Lead: Girls on the Frontlines of Crisis,” Komisioner Chatarina Pancer Istiyani menyatakan, “Negara perlu menjamin pemenuhan dan pelindungan hak-hak anak perempuan untuk mendukung mereka sebagai penggerak perubahan.”
Narahubung: Elsa Faturahmah (081389371400)
