“ANGKUTAN
UMUM MERUPAKAN INFRASTRUKTUR POKOK DALAM PEMENUHAN HAK-HAK DASAR TERMASUK AKSES
PADA KEADILAN DAN PEMULIHAN”
Jakarta, 24
April 2023
Transportasi merupakan salah satu infrastruktur pokok dalam
pemenuhan hak-hak asasi manusia, mulai dari hak atas ekonomi, pekerjaan dan
karir, pendidikan, layanan kesehatan, bahkan dalam mengakses keadilan dan
pemulihan. Dengan demikian, transportasi berkonstribusi pada indeks pembangunan
manusia (IPM) dan dalam hal ini Komnas Perempuan memberi perhatian masalah
transportasi pada indeks pembangunan gender (IPG). Oleh karena itu, hambatan
dalam transportasi publik berdampak pada pemenuhan hak-hak asasi manusia. Terlebih
di wilayah kepulauan dan terluar, termiskin dan terpencil yang mendesak
membutuhkan infrastruktur dasar transportasi yang layak untuk kebutuhan
ekonomi, pekerjaan, makanan, pendidikan, partisipasi sosial budaya dan politik,
dan seterusnya.
“Ketersediaan
angkutan umum secara nyata telah kita rasakan mendorong peningkatan ekonomi dan
pemenuhan hak dasar manusia. Seperti pendidikan, kesehatan maupun pekerjaan.
Kami mengapresiasi langkah-langkah pemerintah yang terus mengupayakan
transportasi publik, namun kami berharap hal ini tidak bertumpu di pulau Jawa
saja. Pulau-pulau di luar Jawa membutuhkan transportasi publik ini, negara perlu
hadir di setiap tempat terpencil, terluar dan tertinggal di Indonesia. Agar
pemajuan daerah dapat dirasakan melalui ketersediaan angkutan umum, tentu
dengan sarana dan prasarana jalannya,” ujar Komisioner Retty Ratnawati. Ia mengingatkan
pemerintah untuk memberikan perhatiaan serius pada ketersediaan angkutan umum
khususnya di wilayah Indonesia Timur.
Selain
angkutan umum yang tersedia dan terjangkau, yang tak kalah penting adalah
penyedia jasa angkutan umum memastikan mobilitas perempuan aman dan nyaman dari
kekerasan seksual. Dalam catatan Komnas Perempuan, transportasi umum merupakan
salah satu tempat paling banyak terjadinya pelecehan seksual. Survei dari
Koalisi Ruang Publik Aman pada 2019 mendapati satu dari dua perempuan pernah
mengalami pelecehan seksual di transportasi umum yang tertinggi terjadi di bus
disusul angkot. Pelecehan seksual di KRL juga kita temui melalui pemberitaan di
media massa. Umumnya yang tercatat adalah angkutan umum darat, namun tidak
dapat diartikan di angkutan umum udara dan air, pelecehan seksual tidak
terjadi.
“Salah satu
alasan mengapa perempuan terhambat mobilitasnya, karena kekhawatiran
mendapatkan serangan seksual seperti pelecehan seksual. Bentuknya, mulai dari
siulan, suara kecupan, komentar atas tubuh, serta komentar seksual yang
gamblang, difoto secara diam-diam, diintip, dipertontonkan masturbasi,
diperlihatkan kelamin, didekati dengan agresif, dikuntit, hingga disentuh,
diraba, dan digesek dengan alat kelamin. Hambatan mobilitas karena tidak aman
ini akan mempengaruhi pemenuhan hak perempuan lainnya. Karenanya upaya untuk
membangun mekanisme pencegahan dan penanganan pelecehan seksual telah dilakukan
di PT. KCI, PT. TransJakarta dan PT. Angkasa Pura harus didukung dan dibangun
oleh seluruh penyedia transportasi publik di seluruh Indonesia sebagai bagian
dari pelaksanaan undang-undang tindak pidana kekerasan seksual,” ucap Komisioner
Siti Aminah Tardi. Ia mengingatkan dampak pelecehan seksual di transportasi
publik dan kewajiban penyedia modal transportasi untuk menjalankan mandat UU
TPKS yaitu membangun ruang yang aman dari kekerasan seksual.
Berbasis
paradigma hak-hak asasi manusia, transportasi publik perlu dirancang ramah
disabilitas dan kelompok rentan lainnya seperti lansia. “Perlu dipastikan trasnportasi
yang aman dan nyaman bagi perempuan penyandang disailitas. Gagasan “daftar
hitam” bagi pelaku pelecehan seksual di lingkungan PT KAI dan pemanfaatan CCTV face
recognition di Trans Jakarta, merupakan langkah pencegahan dan mengenali
pelaku yang sulit dikenali di jam-jam padat penumpang,” ujar Komisioner Rainy
Hutabarat.
Sejauh
pemantauan Komnas Perempuan, transportasi publik di Tanah Air belum mengintegrasikan
kebutuhan-kebutuhan khusus penyandang disabilitas. “Saya lihat hal ini masih
sangat kurang, perlu upaya yang lebih keras dalam menyediakan akomodasi yang nyaman
dan aman bagi penyandang disabilitas dan lansia. Satu hal lagi, keterdiaan transportasi publik yang layak sangat dibutuhkan dalam mendukung akses pada
pengaduan, penanganan dan pemulihan bagi perempuan termasuk penyandang
disabilitas korban kekerasan seksual,” tambah Rainy Hutabarat.
Komnas Perempuan juga mendorong
pemerintah-pemerintah daerah agar mengintegrasikan perspektif kelompok rentan
seperti penyandang disabilitas dan lansia dalam kebijakan transportasi publik
dengan kebijakan pencegahan, peanganan serta pemulihan perempuan korban
kekerasan seksual.
Narahubung: 0813-8937-1400