...
Siaran Pers
Siaran Pers Komnas Perempuan Memperingati Hari Internasional Menentang Hukuman Mati

Siaran Pers Komnas Perempuan

Memperingati Hari Internasional Menentang Hukuman Mati

 

Tidak Ada Keadilan Tanpa Pemenuhan Hak Hidup 

 

Jakarta, 10 Oktober 2022

 

Mengupayakan penghapusan hukuman mati di dalam sistem pidana di Indonesia sebagai bagian tidak terpisahkan dari komitmen penghormatan pada hak asasi manusia menjadi pesan utama dalam peringatan Hari Internasional Menentang Hukuman Mati yang mulai diperingati sejak tahun 2003 setiap tanggal 10 Oktober. Komnas Perempuan sebagai Lembaga Negara HAM (LNHAM) menegaskan bahwa hukuman mati/pidana mati merupakan salah satu bentuk penghukuman yang bertentangan dengan  hak paling dasar bagi setiap individu yakni hak untuk hidup dan karena itu tergolong  penyiksaan dan perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, dan melanggar HAM.  Hak hidup merupakan  conditio sine qua non atau prasyarat bagi pemenuhan hak-hak asasi manusia lainnya.  Komnas Perempuan juga berpandangan bahwa hukuman mati merupakan bentuk paling ekstrim dari kekerasan berbasis gender terhadap perempuan dan menjadi bagian dari femisida, atau pembunuhan berbasis gender terhadap perempuan. Hal ini karena praktik hukuman mati berinterseksi dengan sejumlah isu lain kekerasan terhadap perempuan, antaranya feminisasi kemiskinan, perdagangan orang, dan peredaran narkoba serta juga beririsan dengan sistem hukum yang tidak berpihak kepada perempuan korban dan  pelanggaran hak atas peradilan yang adil.

Pemenuhan hak untuk hidup dijamin dan dilindungi oleh Konstitusi RI dan konvensi-konvensi internasionalnya yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Pasal 28A UUD RI Tahun 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Konstitusi pada Pasal 28I Ayat 1 juga menyatakan bahwa hak hidup adalah salah satu hak yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apa pun. Pasal 4 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM mengamanatkan, “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapa pun” dan  ditegaskan dalam Pasal 9: (1) Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya. (2) Setiap orang berhak hidup tentram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin. Demikian juga Konvensi Internasional tentang Hak Sosial Politik, mengamanatkan hak untuk hidup sebagai hak fundamental. 

Penghapusan hukuman mati juga merupakan arah pelaksanaan Konvensi Menentang Penyiksaan, Penghukuman atau Perlakuan yang Kejam atau Tidak Manusiawi Lainnya, yang telah diratifikasi dalam UU No. 5 Tahun 1998. Selain itu, berada di deret tunggu bagi terpidana mati merupakan bentuk penyiksaan dan perlakuan yang tidak manusiawi. Apalagi dengan waktu tunggu yang panjang, menghadapi ketidakpastian dan berakibat  gangguan kesehatan mental. 

Sekurangnya terdapat 11 perempuan dari 400 terpidana mati di Indonesia, menurut Data Ditjenpas 07 Oktober 2021. Sementara itu, data Kementerian Luar Negeri pada September 2022 mencatatkan kasus WNI terancam hukuman mati di luar negeri total kasus 233 dengan jumlah 78 kasus telah inkracht. Di antaranya terdapat 30 perempuan terancam hukuman mati di beberapa negara, yaitu 23 orang di Malaysia 2 Arab Saudi, 3 Persatuan Emirat Arab, dan masing-masing 1 orang di Singapura dan Laos 1. Data Kementerian Luar Negeri  juga menunjukkan bahwa ada 4 dari 8 WNI yang telah dieksekusi hukuman mati pada rentang tahun 2011 - 2022. 

Komnas Perempuan mencatat berbagai kajian yang menunjukkan bahwa hukuman mati berpotensi menyasar kepada perempuan dari kelompok rentan karena status sosial ekonominya maupun karena menjadi korban kekerasan yang berlapis. Hal ini dipermudah dengan adanya jurang hukum dimana Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dan UU Narkotika belum mengenali eksploitasi baru untuk tujuan penyelundupan narkoba. Akibatnya, sejumlah perempuan yang sebetulnya adalah korban perdagangan orang dan eksploitasi harus berhadapan dengan hukuman mati ketika mereka dimanfaatkan untuk perdagangan narkotika. Pemantauan Komnas Perempuan menunjukkan bahwa peran perempuan dalam sindikasi kejahatan narkoba berada di lapis paling luar dan lemah (powerless), namun seringkali dipaksa atau dimanipulasi melakukan tindakan-tindakan kejahatan yang berisiko langsung untuk tertangkap dan berhadapan dengan hukuman mati. 

Kondisi ini tampak dalam Kasus Merri Utami (MU) dan Mary Jane Veloso (MJV). MU divonis pidana mati karena kedapatan membawa heroin 1,1 kilogram di dalam tasnya saat tiba di Bandara Soekarno Hatta, sepulang dari liburan bersama Jerry pacarnya di Nepal. Tas yang dibawanya merupakan titipan untuk disampaikan kepada Jerry yang memilih pulang terlebih dulu. Pengalaman Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang MU alami dalam perkawinan sebelumnya, menyebabkannya Jerry gampang memanipulasi harapan dan perasaan MU. Sedangkan MJV, warga negara Filipina, dipidana mati oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sleman pada 22 Oktober 2010. MJV ditangkap di Bandara Adi Sutjipto Yogyakarta pada 25 April 2010 setelah ditemukannya 2,6 kg heroin di dalam koper yang dibawanya dari Malaysia. Pada 2019, Mahkamah Agung Filipina memberikan kesempatan kepada MJV untuk menyampaikan kesaksian tertulis untuk pengadilan atas dugaan tindak pidana perdagangan orang yang dilakukan oleh Christina P. Sergio dan Julius L. Lacanilao. Kesaksian MJV diharapkan dapat mengonfirmasi bahwa ia adalah korban perdagangan orang dan oleh karena itu tidak dapat dipidana. Namun, sampai saat ini pemberian kesaksian MJV belum terlaksana. Saat ini, keduanya tengah menanti putusan grasi dari Presiden RI, Joko Widodo, dimana MU telah menjalani hukuman lebih dari 20 tahun dan MJV lebih dari 10 tahun. Juga ada kelompok advokasi yang tengah mengusulkan peninjauan kembali melalui Pengadilan Tangerang pada kasus MU.

Bertolak dari fakta di atas, dalam peringatan Hari Internasional Menentang Hukuman Mati 2022, Komnas Perempuan menyampaikan hal-hal sebagai berikut:

  1. Pemerintah dan DPR RI untuk menghapus pidana mati di dalam pembahasan RKUHP, RUU Narkotika dan produk hukum nasional lainnya, sekaligus mengadopsi dalam revisi KUHP kebijakan komutasi untuk kasus pidana mati yang kini berada dalam deret tunggu eksekusi.
  2. Pemerintah RI dan DPR RI untuk melakukan moratorium pelaksanaan hukuman mati di Indonesia sembari meninjau ulang kasus-kasus terpidana mati terkait dengan pemenuhan hak atas peradilan yang jujur dan adil.
  3. Presiden RI memberikan Grasi kepada dua terpidana mati perempuan yaitu Mary Jane Velosi dan Merri Utami yang merupakan korban dari sindikat perdagangan orang untuk tujuan eksploitasi perdagangan narkoba.
  4. Kementrian Luar Negeri untuk meningkatkan layanan bantuan hukum dan psikososial terhadap perempuan pekerja migran Indonesia yang berhadapan dengan hukuman mati di luar negeri.
  5. Jaksa Agung RI dan aparat terkait untuk mendukung dan memfasilitasi pengambilan kesaksian MJV oleh pengadilan Filipina sebagai korban tindak pidana perdagangan orang. Hal ini juga menjadi wujud komitmen Indonesia pada perjanjian internasional Protokol Palermo yaitu Protokol untuk Mencegah, Menindak, dan Menghukum Perdagangan Orang, terutama perempuan dan anak-anak, selain Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang No. 14 Tahun 2009.
  6. Pengadilan Tangerang untuk menerima permohonan peninjauan kembali kasus Merri Utami dengan mempertimbangkan Perma 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum.
  7. Organisasi masyarakat sipil dan media massa untuk membangun kepedulian publik untuk turut mendukung penghapusan hukuman mati, termasuk dengan mendukung upaya PK kasus MU, serta mendukung grasi bagi MU dan MJV.


Narasumber:

1. Tiasri Wiandani

2. Rainy Maryke Hutabarat

3. Veryanto Sitohang

4. Andy Yentriyani

Narahubung: +62 813-8937-1400



Pertanyaan / Komentar: