”Stop Femisida: Negara Harus Hadir Selamatkan Nyawa Perempuan”
Jakarta, 25 November 2025
Pada momentum Hari Internasional untuk Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan yang diperingati setiap 25 November, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengingatkan bahwa femisida bukan sekadar tindak pidana umum, melainkan puncak dari kekerasan berbasis gender terhadap perempuan. Fenomena ini masih berlangsung dan seringkali luput dari perhatian negara. Femisida adalah pembunuhan terhadap perempuan karena jenis kelamin dan gendernya, terjadi karena perempuan adalah perempuan, dipicu oleh rasa memiliki, kontrol, dominasi, dan kebencian terhadap perempuan.
Berdasarkan data pengaduan yang masuk ke Komnas Perempuan pada 2025, setidaknya terdapat 10 kasus femisida, terdiri atas 7 femisida intim dan 3 femisida non-intim. Salah satunya berupa femisida intim tidak langsung, ketika penelantaran dan kekerasan psikis bertahun-tahun menyebabkan korban meninggal dunia.
Sementara berdasarkan pemantauan media, kurun 1 November 2024–31 Oktober 2025 terdapat 453 pemberitaan pembunuhan perempuan, dan 239 kasus teridentifikasi sebagai femisida. Dari data tersebut Komnas Perempuan menyoroti femisida yang dialami oleh perempuan yang dilacurkan 15 kasus, femisida dalam konteks kekerasan berbasis gender online 11 kasus, 5 kasus femisida di dalam konteks konflik bersenjata, 2 kasus terkait keragaman identitas gender dan seksual (KIGS) dan 1 kasus femisida terhadap penyandang disabilitas. Selain juga femisida terhadap anak perempuan yang angkanya mencapai 24 kasus.
Mayoritas pelaku adalah orang terdekat yaitu suami/pasangan dan pacar, menegaskan bahwa rumah dan relasi intim bukan selalu ruang aman bagi perempuan. Sementara bentuk kekerasan yang dilakukan para pelaku sangat brutal, mulai dari dicekik, diperkosa, hingga digorok. Bahkan perkosaan, kekerasan seksual, penghinaan dan pelecehan masih berlanjut pada tubuh korban setelah meninggal, seperti dibuang, diikat, dimutilasi, dibakar, dan lain-lain.
Motif yang kerap disebut “cemburu”, “sakit hati”, atau konflik ekonomi sesungguhnya mencerminkan kontrol dan dominasi, di mana pelaku menggunakan kekerasan ekstrem saat perempuan mengambil keputusan atas hidupnya seperti ingin berpisah, aktif di dunia digital, berkawan, bekerja, menolak hubungan seksual, atau ingin mandiri.
Dalam konteks relasi digital, laporan menemukan pola relasi yang dimulai dari komunikasi daring, dengan kedekatan semu yang cepat dibangun. Pelaku memetakan kerentanan korban, menumbuhkan rasa memiliki, mengundang ke pertemuan di ruang privat (misalnya hotel), yang kemudian berujung pada kekerasan fisik, kekerasan seksual, hingga pembunuhan ketika korban tidak memenuhi keinginan pelaku. Teknologi di sini menjadi perantara relasi kuasa yang timpang.
Komnas Perempuan juga memberikan perhatian terhadap teman, keluarga, dan pendamping yang menyampaikan laporan ke Komnas Perempuan karena mereka juga berisiko mengalami ancaman serta membutuhkan pemulihan. Meski kekerasan ekstrem ini terus terjadi, pendataan femisida belum menjadi standar dalam sistem hukum dan statistik nasional. Banyak kasus dicatat sebagai “pembunuhan biasa” tanpa mengidentifikasi konteks gender. Sehingga tidak terlihat pola kekerasan sebelumnya, tidak terdeteksi potensi eskalasi KDRT menjadi femisida, dan penegakan hukum sering gagal menghadirkan keadilan bagi korban.
"Bentuk lain dari kasus femisida potensial bersinggungan kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Kasus TPPO merupakan kejahatan transnasional terorganisir, yang dikarenakan kejahatan ini dimulai dari perekrutan hingga bisa berujung kekerasan dan tidak jarang bisa sampai menyebabkan kematian," jelas Komisioner Irwan Setiawan.
Komnas Perempuan menegaskan, bahwa negara wajib memastikan protokol investigasi femisida yang cepat, tepat, dan berpusat pada korban, termasuk pengakuan riwayat kekerasan, relasi kuasa, serta pemenuhan hak pemulihan bagi anak korban. Untuk memperkuat akuntabilitas ini, Komnas Perempuan telah mengembangkan model pendokumentasian, standar statistik femisida, serta instrumen identifikasi risiko untuk digunakan dalam penanganan dan pemantauan nasional yang terukur dan berbasis bukti.
Komisioner Chatarina Pancer Istiyani menegaskan bahwa, “Femisida bukan peristiwa personal, bukan spontatinas ledak emosi sesaat, tetapi kegagalan struktural dalam melindungi hak hidup perempuan. Oleh karena itu, negara wajib hadir mencegah, mengintervensi, dan mengadili setiap kasus tanpa diskriminasi.”
Nyawa perempuan tidak boleh hilang dalam senyap. Setiap korban menuntut perubahan sistem agar tidak ada lagi femisida di negeri ini. Pencegahan harus dilakukan mulai dari laporan KDRT. Banyak femisida merupakan puncak dari rentetan kekerasan yang terabaikan.
Untuk itu Komnas Perempuan menyampaikan sejumlah rekomendasi untuk mencegah dan mengurangi risiko femisida: .
Narahubung: Elsa Faturahmah (081389371400)
