“Memperkuat
Keluarga, Menghapuskan Kekerasan berbasis Gender”
Jakarta,15
Mei 2024
Komnas Perempuan mengajak masyarakat untuk memperkuat dan menjadikan
keluarga sebagai ruang aman dari kekerasan terhadap perempuan dan anak serta
bebas dari diskriminasi. Juga mendorong negara untuk memperkuat keluarga dengan
mengoptimalisasikan pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang melindungi
perempuan dan anak, seperti UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
(PKDRT), UU Perlindungan Anak dan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Ajakan ini diberikan dalam memperingati
Hari Keluarga Internasional yang diperingati setiap tanggal 15 Mei. Pada tahun
1993, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendeklarasikan Hari Keluarga
Internasional dengan tujuan untuk berbagi pengetahuan terkini tentang keluarga.
Tema pada 2024 adalah “merangkul keberagaman, memnperkuat keluarga”. Tema ini
relevan dengan situasi di Indonesia mengingat masih banyaknya kekerasan berbasis
gender di dalam keluarga yang menjadi penghalang tercapainya tujuan
berkeluarga, berupa kebaikan dan kebahagiaan.
“Sebagai unit terkecil dalam
masyarakat, keluarga seharusnya merupakan tempat aman dan bertumbuhnya potensi
kebaikan secara maksimal bagi seluruh anggota keluarganya. Namun fakta dan data
yang terus muncul sepanjang tahun memperlihatkan bahwa sebagian rumah bukan
lagi ruang aman dan nyaman tetapi justru ruang di mana kekerasan dibangun
sedemikian rupa dan ditutupi. Kekerasan juga muncul karena minimnya penghargaan
pada perbedaan yang bisa jadi ada di dalam keluarga seperti perbedaan keyakinan
atau cara pengasuhan anak,” ungkap Alimatul Qibtiyah, Ketua Sub Komisi
Pendidikan.
Komnas Perempuan mencatat sejak 2001,
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) terus menjadi data tertinggi yang
dilaporkan. Laporan 21 Tahun Catatan Tahunan, tercatat 2.5 juta kekerasan di ranah personal. Di antaranya kekerasan
terhadap istri (KTI) yang paling banyak dilaporkan yaitu 484.993 kasus dan kekerasan terhadap anak perempuan (KTAP) yang
dilakukan oleh anggota keluarga menjadi urutan ketiga sebanyak 17.097 kasus.
Hal ini menunjukkan tujuan UU PKDRT untuk mencegah segala bentuk kekerasan
dalam rumah tangga dan melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga masih belum terwujud dan implementasinya belum maksimal.
Theresia Iswarini, Ketua Sub Komisi
Pengembangan Sistem Pemulihan menyampaikan, “Selama 20 tahun pelaksanaan UU
PKDRT, ada banyak temuan yang memperlihatkan terjadinya miskonsepsi UU PKDRT
dan implementasinya. Permasalahannya bukan pada normanya tetapi pada
pelaksanaannya. Selain mengikuti pemenuhan unsur pidana, pelaksanaan UU PKDRT seharusnya
mengikuti tujuan penghapusan KDRT dalam Pasal 4 UU PKDRT yaitu melindungi
perempuan sebagai kelompok rentan, menindak pelaku dan memulihkan korban. Belum
optimalnya layanan penanganan dan pemulihan seperti terbatasnya rumah aman, konselor,
visum masih berbayar, tidak ada BPJS bagi korban kekerasan terhadap perempuan,
terbatasnya konselor adalah kendala lain yang dihadapi.”
Siti Aminah Tardi, Ketua Sub Komisi
Reformasi Hukum dan Kebijakan menambahkan terkait pelaksanaan UU PKDRT yang terkendala
oleh perspektif aparat penegak hukum, keterbatasan sarana prasarana dan budaya
yang masih menganggap KDRT sebagai persoalan privat. UU PKDRT kini juga
diperkuat dengan UU TPKS khususnya untuk kekerasan seksual dalam rumah tangga.
“UU PKDRT tidak memandatkan peraturan
pelaksana, akibatnya ketentuan mengenai perlindungan sementara, kewajiban
menjaga jarak pelaku dengan korban dan sanksi untuk mengikuti program konseling
belum dilakukan. Hal ini harus kita pikirkan bersama untuk mengoptimalkan
norma-norma UU PKDRT yang progresif tersebut. Demikian juga dalam penanganan
KDRT, lembaga layanan dan kepolisian belum dibekali penilaian tingkat
kebahayaan KDRT, sehingga korban kerap dikembalikan ke rumahnya yang berakibat
pada memburuknya kekerasan dan berakhir dengan femisida. Kemajuan penting dalam
UU TPKS adalah pengakuan bahwa keluarga berpartisipasi untuk mencegah TPKS,
juga menjadi pendukung utama bagi pemulihan korban. Agar keluarga menjadi
pencegah, pendukung dan pemulih bagi korban, maka pendidikan keluarga tentang
kekerasan berbasis gender harus dilakukan.”
Kekerasan dalam rumah tangga tidak
dapat dilepaskan dari relasi yang timpang sebagai akibat pembakuan peran gender
laki-laki dan perempuan. Komnas Perempuan mengidentifikasi adanya risiko pembakuan peran
domestik berbasis gender terhadap perempuan dalam RUU Kesejahteraan Ibu dan
Anak yang saat ini sedang dibahas di DPR. Pembakuan peran domestik antara lain,
disebutkan bahwa peran edukasi, pengembangan wawasan, pengetahuan, dan
keterampilan tentang perawatan, pengasuhan, pemberian makan, dan tumbuh kembang
anak pada Ibu, namun tidak ada edukasi tentang pengembangan ataupun menjaga
karier, utamanya bagi Ibu yang cuti dari pekerjaanya. Edukasi tentang perawatan
tersebut tidak didapatkan oleh suami. Cuti yang diberikan kepada suami juga
hanya tiga hari. Hal ini berarti bahwa pengasuhan adalah tanggung jawab perempuan
semata.
“Jika risiko ini tidak diantisipasi dengan baik
maka kekerasan di dalam rumah tangga akan muncul sebagai akibat pembakuan peran
domestik terhadap perempuan. Lebih jauh diskriminasi terhadap perempuan
terlanggengkan sementara Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
terhadap Perempuan memandatkan bahwa kebijakan tidak seharusnya menjadi alat
diskriminasi baru bagi perempuan di dalam keluarga,” tutup Theresia Iswarini.
Narahubung: Elsa Faturahmah (081389371400)