“Kenali dan Akui Risiko dari Pengalaman Perempuan Pekerja, Wujudkan K3 Inklusif”
Jakarta, 30 April 2025
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menegaskan bahwa perlindungan dan pemenuhan hak perempuan pekerja harus berlandaskan pada prinsip-prinsip utama, yaitu keselamatan, keamanan, bebas dari diskriminasi, kesetaraan gender, serta penghormatan terhadap hak asasi manusia. Oleh karena itu, Komnas Perempuan terus mendorong peningkatan kualitas Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) dengan memperhatikan risiko, kebutuhan dan pengalaman perempuan pekerja di seluruh sektor kerja formal dan informal. Sistem K3 yang tidak mempertimbangkan pengalaman kerja perempuan dan kelompok rentan beresiko memperkuat diskriminasi di tempat kerja. Komnas Perempuan meyakini bahwa K3 yang inklusif akan mendorong tercapainya ruang aman yang menjamin perempuan pekerja terbebas dari segala bentuk kekerasan di lingkungan kerja.
Risiko keselamatan dan kesehatan kerja (K3) perempuan sering diabaikan, termasuk paparan zat kimia berbahaya, jarak tempuh yang jauh dan berbahaya ke tempat kerja, serta pelecehan dan kekerasan berbasis gender. Perempuan di sektor migas, tambang, sawit, dan laut menghadapi kondisi kerja ekstrem tanpa perlindungan memadai. Di sektor informal dan migran, pekerja perempuan seperti buruh tani, Pekerja Rumah Tangga (PRT), pelayan toko dan pekerja gig tidak tercakup dalam skema K3 formal. Beban kerja ganda dari pekerjaan rumah tangga yang tak dibayar turut memperparah kerentanan perempuan pekerja.
Catatan Tahunan Kekerasan terhadap Perempuan (CATAHU) 2024 mencatat 2.702 kasus kekerasan terhadap perempuan pekerja. Survei Gajimu.com bersama serikat buruh di sektor TGSL yang juga tercatat dalam CATAHU mengungkap 1 dari 23 perempuan pekerja mengalami pelecehan seksual di tempat kerja. Sebanyak 52% tidak mendapat hak cuti haid, 22,6% tidak menerima upah penuh saat cuti melahirkan, dan sebagian mengalami kekerasan berbasis gender seperti diskriminasi upah dan PHK karena menuntut hak.
“Perempuan bekerja bukan hanya di kantor atau pabrik, tapi juga di ladang, rumah tangga, di tengah perkebunan dan pesisir pantai. Sayangnya, sistem K3 kita belum benar-benar melindungi mereka. Kalau kita terus abaikan kebutuhan dan risiko kerja perempuan, berarti kita membiarkan ketidakadilan terus terjadi. Oleh karenanya, K3 harus inklusif dan responsif terhadap risiko dan situasi yang dihadapi pekerja perempuan, termasuk risiko mengalami kekerasan seksual dan kekerasan berbasis gender lainnya di tempat kerja,” ujar Komisioner Yuni Asriyanti.
“Tahun ini tema hari K3 sedunia adalah “Merevolusi kesehatan dan keselamatan: peran Artificial Intelligence (AI) dan digitalisasi di tempat kerja”. Di Indonesia, kebijakan K3 belum sepenuhnya menjangkau pekerja di sektor kerja yang menggunakan teknologi digital seperti gig economy. Alih-alih meningkatkan perlindungan, digitalisasi justru membuka ruang baru bagi berbagai bentuk kekerasan, terutama terhadap perempuan pekerja, akibat ketiadaan regulasi yang melindungi hak dan keselamatan mereka di tempat kerja digital,” ungkap Komisioner Devi Rahayu.
“Komnas Perempuan mendorong agar segala bentuk kekerasan berbasis gender, termasuk kekerasan seksual, menjadi bagian dari jaminan kesehatan dan keselamatan kerja. Komnas Perempuan juga mendesak agar pemerintah meningkatkan kualitas dan kuantitas pengawasan terhadap implementasi kebijakan K3 di seluruh sektor termasuk sektor informal hingga pada level terkecil dan terhadap perempuan pekerja di tempat kerja berbahaya. Terkait dengan perkembangan digitalisasi, pemerintah semestinya mengambil langkah-langkah yang terukur untuk memberikan jaminan perlindungan K3 terhadap perempuan pekerja di sektor gig economy yang bekerja dengan fasilitasi platform digital,” pungkas Komisioner Irwan Setiawan.
Narahubung: Elsa Faturahmah (081389371400).