Kesehatan Mental merupakan Pilar Pemulihan dan Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan
Jakarta, 10 Oktober 2025
Pada peringatan Hari Kesehatan Mental Sedunia, Komnas Perempuan menegaskan bahwa kesehatan mental merupakan bagian tak terpisahkan dari hak asasi manusia dan pilar utama dalam pemulihan serta penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Pemenuhan hak atas kesehatan mental menjadi fondasi penting bagi proses pemulihan perempuan penyintas kekerasan, kelompok rentan, serta perempuan dalam situasi bencana dan krisis. Kesehatan mental bukan sekadar isu medis, tetapi juga cermin dari kualitas kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya yang berkeadilan.
Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan 2024 mencatat sebanyak 330.097 kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan atau KBGtP, yang menggambarkan skala kekerasan dengan dampak langsung terhadap kesehatan mental korban. Lebih dari 93 persen di antaranya merupakan kekerasan dalam ranah personal, seperti kekerasan dalam rumah tangga dan relasi intim, yang secara konsisten menimbulkan trauma psikologis dan gangguan stres pascatrauma (PTSD). CATAHU juga menegaskan bahwa mayoritas lembaga layanan mitra Komnas Perempuan baik lembaga layanan berbasis komunitas dan UPTD PPA, melaporkan kebutuhan utama korban bukan hanya pendampingan hukum, tetapi juga dukungan psikologis dan layanan kesehatan mental yang berkelanjutan sebagai bagian dari proses pemulihan.
CATAHU juga menunjukkan bahwa banyak korban kekerasan tidak melanjutkan proses hukum akibat kelelahan emosional dan psikologis, yang menandakan lemahnya dukungan psikososial dan tingginya beban mental selama proses penanganan kasus. Dalam pemantauan terhadap kasus kekerasan seksual, Komnas Perempuan juga menemukan berbagai gejala psikologis berat pada korban, seperti depresi, kecemasan, insomnia, hingga keinginan bunuh diri, yang diperparah oleh stigma sosial dan trauma berulang. Pada saat yang sama, akses terhadap layanan pemulihan psikologis masih sangat terbatas, terutama di wilayah 3T dan kepulauan, dan daerah yang terdampak bencana, sehingga memperpanjang siklus penderitaan dan menghambat pemulihan yang berkeadilan bagi perempuan korban kekerasan.
Tahun ini, World Federation for Mental Health (WFMH) mengangkat tema Kesehatan Mental dalam Bencana dan Keadaan Darurat (Mental Health in Disasters and Emergencies) yang menyoroti dampak bencana terhadap kesehatan mental, baik bagi korban maupun relawan. Sekitar sepertiga penyintas bencana berpotensi mengalami gangguan mental.
Perlindungan bagi perempuan dalam situasi bencana telah diatur dalam PP No. 21 Tahun 2008 dan SML KemenPPPA–BNPB yang mewajibkan ruang aman, layanan reproduksi, dan dukungan psikososial di pengungsian. Komisioner Sondang Friskha menegaskan kebutuhan spesifik perempuan sering terabaikan, sementara beban fisik dan mental mereka meningkat. Komnas Perempuan menegaskan pentingnya dukungan kesehatan mental berbasis gender dalam sistem tanggap darurat nasional bagi perempuan, kelompok rentan, dan tenaga kemanusiaan.
Komnas Perempuan mengingatkan bahwa melindungi kesehatan mental masyarakat, khususnya perempuan, merupakan bagian dari kewajiban negara dalam memenuhi hak asasi manusia. Sejalan dengan hal ini, Komnas Perempuan menggarisbawahi rekomendasi mekanisme HAM Internasional diantaranya Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang menegaskan pentingnya mendekatkan akses layanan kesehatan mental dengan daerah rawan bencana. Karena itu, Komnas Perempuan mendorong pemerintah untuk menunjukkan komitmen nyata dengan mengintegrasikan isu kesehatan mental ke dalam kebijakan nasional, termasuk sistem kebencanaan dan perlindungan sosial.
“Kesehatan mental perempuan tidak boleh dipandang sebagai isu tambahan, melainkan bagian esensial dari hak atas pemulihan dan kehidupan yang bermartabat,” pungkas Komisioner Yuni Asriyanti.
Narahubung: Elsa Faturahmah (081389371400)