“Komnas Perempuan: Negara Jangan Abai Hak Kesehatan dan Kesentosaan Perempuan“
Jakarta, 12 November 2025
Dalam momentum Hari Kesehatan Nasional bertema “Generasi Sehat, Masa Depan Hebat”, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menegaskan bahwa kesehatan mencakup kondisi hidup yang , aman, bebas dari penyakit, bermartabat, serta bebas dari kekerasan. Generasi bangsa yang hebat hanya dapat lahir dari perempuan yang sehat secara fisik, mental, dan sosial di mana perempuan yang dihormati martabat dan hak atas tubuhnya.
Komnas Perempuan mencatatkan berbagai isu kesehatan yang sangat serius dihadapi perempuan. Hal ini digambarkan dalam dokumen dan data Pemerintah tentang kesehatan perempuan. Indeks Ketimpangan Gender Indonesia Tahun 2024 memberikan gambaran bahwa perempuan masih menghadapi persoalan serius terkait kerentanan kesehatan reproduksi, yang digambarkan dengan masih tingginya angka kematian Ibu (4.150 kematian), jauh dari target RPJMN 2024 (183 kematian per 100.000 kelahiran). Sementara berdasarkan data BPS 2024 mencatatkan bahwa perempuan sebagai kelompok yang memikili keluhan kesehatan tinggi (12,81%) dibanding dengan laki-laki (11,42). Angka kehamilan yang tidak dikehendaki yang berdampak pada aborsi tidak aman, serta masih kuatnya praktek pelukaan dan pemotongan genetalia perempuan, serta persoalan layanan untuk perempuan korban kekerasan seksual yang tidak dicakup oleh BPJS.
Wakil Ketua Komnas Perempuan, Dahlia Madanih menegaskan bahwa komunitas internasional melalui berbagai mekanisme PBB, termasuk Komite Hak Sipil dan Politik serta Komite Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, telah menyoroti sejumlah persoalan serius dalam pemenuhan hak kesehatan di Indonesia. Dalam rekomendasi tahun 2024, kedua komite tersebut secara khusus menekankan kekhawatiran atas masih adanya regulasi yang berpotensi memidana perempuan korban perkosaan yang menjalani layanan aborsi setelah usia kehamilan 14 minggu.
Isu lain yang turut menjadi sorotan adalah pencegahan kehamilan yang tidak diinginkan melalui peningkatan kesadaran publik mengenai kesehatan seksual dan reproduksi, serta persoalan penahanan terhadap penyandang disabilitas psikososial, termasuk praktik pemisahan anak dari ibu dan tindakan sterilisasi paksa. Sementara Komite Cedaw (2021) menekankan pentingnya Indonesia untuk meningkatkan akses layanan kesehatan di daerah pedesaaan dan terpencil, termasuk layanan kesehatan untuk perempuan dengan HIV/AIDS, dan perempuan berhadapan dengan hukum.
Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan 2025 (data 2024) mencatat 330.097 kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan, meningkat 14,17% dari tahun sebelumnya. Mayoritas korban berusia 18–24 tahun, sementara pelaku banyak berada pada usia produktif hingga lansia. Data menegaskan urgensi penguatan layanan pemulihan bagi perempuan penyintas, sebagai bagian dari kewajiban negara untuk memastikan hak atas rasa aman, kesehatan, dan pemulihan yang bermartabat.
Hak atas kesehatan dijamin oleh Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 dan diperkuat oleh Konvensi CEDAW, termasuk Rekomendasi Umum No. 24 tentang hak atas kesehatan dan No. 35 tentang kekerasan berbasis gender. Keduanya menegaskan tanggung jawab negara untuk menjamin kesehatan perempuan secara menyeluruh, termasuk kesehatan reproduksi dan mental, tanpa kekerasan dan diskriminasi.
Komnas Perempuan menyoroti dampak kekerasan seksual dan kekerasan berbasis gender seperti kekerasan seksual, kekerasan dalam rumah tangga, dan pernikahan anak berdampak terhadap kesehatan fisik dan mental perempuan mulai dari trauma psikologis, gangguan reproduksi, risiko penyakit menular, stunting, hingga penurunan kualitas hidup. Karena itu, pemulihan dari kekerasan adalah bagian dari hak atas kesehatan. “Pembangunan kesehatan nasional harus menempatkan pemulihan korban kekerasan sebagai bagian integral dari sistem kesehatan publik, tegas Komisioner Yuni Asriyanti.
Komnas Perempuan menegaskan bahwa fasilitas dan layanan kesehatan harus menjadi ruang aman bagi semua perempuan, ruang yang tidak hanya menyembuhkan luka fisik, tetapi juga memulihkan martabat. Sistem kesehatan perlu dibangun dengan bedasar pada HAM dan kesetaraan gender, di mana setiap tenaga medis memahami bahwa trauma dan kekerasan adalah bagian dari konteks kesehatan perempuan. Oleh karena itu, negara perlu memperkuat koordinasi antara fasilitas kesehatan, lembaga layanan, dan pemerintah daerah agar penanganan korban kekerasan berjalan terpadu dan berkeadilan.
Narahubung: Elsa Faturahmah (081389371400)
