...
Siaran Pers
Siaran Pers Komnas Perempuan Memperingati Hari Lahir Pancasila 2025

Pancasilais itu menjunjung Kesetaraan dan perlindungan terhadap Perempuan

 

Jakarta, 2 Juni 2025

 

Dalam rangka memperingati Hari Lahir Pancasila, Komnas Perempuan mengajak seluruh elemen bangsa menjadikan momen ini sebagai kebangkitan untuk kembali pada nilai-nilai Pancasila yang menjunjung tinggi kemanusiaan, persatuan, keadilan, dan kebebasan berkeyakinan.

 

Peringatan Hari Lahir Pancasila tidak hanya dirayakan sebagai simbol, tetapi juga diamalkan secara nyata dalam kebijakan publik dan kehidupan sehari-hari dalam berbangsa dan bernegara yang pancasilaismenghormati harkat dan martabat setiap manusia, tanpa memandang jenis kelamin, suku, bahasa, atau asal negara. Pancasila sebagai dasar negara Indonesia, menjadi landasan dalam berbangsa dan bernegara yang mengandung nilai-nilai yang mendukung keadilan dan kesetaraan gender. 

 

Dahlia Madanih, Komisioner Komnas Perempuan, menyampaikan bahwa sila-sila dalam Pancasila, di antaranya sila kedua, "Kemanusiaan yang Adil dan Beradab", dan sila kelima, "Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia", menekankan pentingnya perlakuan yang adil dan setara bagi seluruh warga negara, tanpa memandang jenis kelamin maupun identitas gender.


Dalam Pembukaan UUD 1945 ditegaskan bahwa tujuan berbangsa dan bernegara adalah untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, mewujudkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta berperan dalam menciptakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

 

Sejalan dengan itu, Komisioner Daden Sukendar menegaskan bahwa "Pancasila harus menjadi kompas moral dan politik dalam tata kelola negara dan kehidupan kebangsaan, khususnya dalam melindungi hak-hak perempuan dari berbagai bentuk kekerasan, intoleransi, ekstremisme yang mengarah pada kekerasan, dan terorisme."

 

Falsafah "Kemanusiaan yang Adil dan Beradab" serta "Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia" seharusnya tercermin dalam perilaku yang menjunjung tinggi martabat perempuan. Namun, kuatnya stereotipe dan budaya patriarkal yang mengakar dalam masyarakat justru masih merendahkan perempuan, sebagaimana tergambar dalam laporan Catatan Tahunan (CATAHU) 2024 Komnas Perempuan.

 

Komnas Perempuan mencatat tingginya angka kekerasan terhadap perempuan yang mencapai 445.502 kasus, meningkat hampir 10% dibanding tahun sebelumnya yang berjumlah 401.975 kasus. Dari jumlah tersebut, kekerasan berbasis gender terhadap perempuan mencapai 330.097 kasus—naik 14,17% dari tahun sebelumnya (289.111 kasus).

 

“Selain itu, berdasarkan pemantauan media massa tahun 2024, Komnas Perempuan juga mencatat praktek femisida yang berakibat pada hilangnya nyawa perempuan bahkan banyak terjadi diruang privat atau relasi personal yang mencapai 185 kasus, serta femisida di ruang publik yang terekam sejumlah 105 kasus, yang justru jauh dari cerminan nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” lanjut Dahlia Madanih

 

Untuk itu, Komnas Perempuan menekankan pentingnya falsafah Pancasila menjadi rujukan etik bagi para penyelenggara negara dan seluruh bangsa Indonesia, untuk tidak menyatakan dan bersikap merendahkan martabat kemanusiaan perempuan. 

 

Komisioner Rr. Sri Agustini mengingatkan bahwa perwujudan falsafah kebangsaan dari Pancasila telah dituangkan secara tegas dalam konstitusi, yaitu UUD 1945, yang menjadi landasan hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan. Secara khusus, penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia diatur dalam Pasal 28A hingga 28J sebagai wujud konkret nilai Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.

 

Menurutnya, pandangan misoginis yang masih dianut oleh sebagian penyelenggara negarayang menganggap nilai-nilai kesetaraan gender sebagai nilai-nilai yang diadopsi dari luar, justru mencerminkan sikap yang merendahkan dan mengecilkan makna Pancasila itu sendiri.


Falsafah Ketuhanan yang Maha Esa tercermin dalam jaminan kebebasan beragama, sebagaimana diatur dalam Pasal 28E ayat (1) dan (2), serta Pasal 29 ayat (1) dan (2) UUD 1945. Namun, dalam praktiknya, pelanggaran terhadap jaminan tersebut masih terjadi. Salah satu bentuknya adalah pemaksaan penggunaan busana berdasarkan ajaran agama tertentu di lingkungan pendidikan maupun kantor pemerintahan.

Menurut Komisioner Daden Sukendar, radikalisme dan ekstremisme yang mengarah pada kekerasan serta terorisme juga telah menyusup ke institusi pendidikan, rumah ibadah, bahkan lembaga negara. Infiltrasi ini berdampak langsung pada perempuan, yang menjadi semakin rentan terhadap ancaman, kekerasan, dan diskriminasi. Kondisi ini bertentangan dengan semangat kebangsaan dan nilai-nilai inklusif yang diajarkan oleh Pancasila.

 

Narahubung: Elsa Faturahmah (081389371400)


Pertanyaan / Komentar: