“Perkuat Regulasi Perlindungan dan Penanganan Pengungsi Luar Negeri dengan Mengintegrasikan Berperspektif HAM dan Keadilan Gender”
Jakarta, 20 Juni 2024
Komisi Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) berpandangan bahwa pemenuhan hak-hak pengungsi dari luar negeri terutama dari negara-negara yang sedang berkonflik merupakan upaya mewujudkan penanganan pengungsi yang mengedepankan HAM dan kesetaraan gender. Oleh karena itu, Komnas Perempuan mendorong upaya Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan RIuntuk merevisi Peraturan Presiden No 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri. Revisi tersebut diharapkan dapat mendorong upaya lebih jauh terkait pemenuhan hak-hak dasar pengungsi dari luar negeri dan keterpaduan layanan termasuk dalam penanganan kekerasan terhadap perempuan. Perspektif HAM dan keadilan gender juga diharapkan menjadi arus utama dalam regulasi tersebut.
Hal tersebut sejalan dengan tema Hari Pengungsi Sedunia 2024 For A World Where Refugee are Welcomed yang berfokus pada solidaritas terhadap pengungsi agar dunia menerima para pengungsi. Solidaritas terhadap orang-orang yang terpaksa mengungsi berarti memberikan solusi atas penderitaan mereka, berupaya mengakhiri konflik sehingga para pengungsi dapat kembali ke rumah dengan aman. Selain itu,memastikan mereka memiliki peluang untuk berkembang di komunitas yang menerima mereka serta menyediakan sumber daya yang diperlukan dan didukung oleh negara-negara pengungsi.
Berdasarkan laman, Komisioner Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi (UNHCR) mencatat, pada Juli 2023 jumlah pengungsi di Indonesia sebanyak 12.097 jiwa, terdiri dari pengungsi dewasa 73%, perempuan 27% dan anak-anak 27%. Mereka berasal dari sekitar 50 negara dan lebih dari setengahnya dari Afghanistan. Lokasi sebaran di Medan, Pekanbaru, Tanjung Pinang, Jabodetabek, Semarang, Surabaya, Bali, Makassar dan Kupang. Sedangkan data per 4 Desember 2023 dari International Organization for Migration(IOM), jumlah pengungsi dan pencari suaka yang mendapatkan bantuan dan layanan dari IOM adalah sebesar 1.474 orang. Dari jumlah tersebut sebanyak 969 orang (66%) adalah laki-laki dan sebesar 505 orang (34%) perempuan. Sedangkan jumlah orang dewasa 981 orang (67%) dan 493 orang (33%) adalah usia anak. Sebanyak 1.462 orang (99%) adalah pengungsi, sedangkan 12 orang (1%) pencari suaka.
Komnas Perempuan mencatat, jumlah tersebut belum mencakup pengungsi Rohingya yang mengungsi ke Aceh pada periode 2024. Sejauh pantauan Komnas Perempuan, data terpilah terkait jumlah pengungsi Rohingya yang hilang juga belum tersedia.
Indonesia belum mengesahkan Konvensi tentang Pengungsi Tahun 1951 namun Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Perpres No. 125 tahun 2016 sebagai upaya untuk memastikan penanganan pengungsi dari luar negeri dapat berjalan dengan prinsip kemanusiaan. Keberadaan perpres tersebut telah mengubah cara pandang Pemerintah Indonesia dari yang awalnya menganggap semua pengungsi tergolong illegal immigrant, kemudian mengakui status asylum seeker sehingga pengungsi dari luar negeri bukan lagi subjek penahanan atau detention. Namun, perubahan besar ini belum diiringi dengan upaya pemenuhan hak-hak dasar bagi pengungsi dari luar negeri.
Selain itu, penanganan pengungsi Indonesia belum dilakukan secara terpadu dan berkelanjutan khususnya pengungsi mandiri yang tidak terdaftar di UNHCR dan IOM Indonesia. Masih terdapat pelanggaran hak-hak paling dasar yang mengakibatkan hidup para pengungsi belum merasa aman dan terlindungi dari ancaman kekerasan di tengah-tengah hidup yang jauh dari kepastian dan kecukupan.
Pengungsi di Indonesia, baik yang terdaftar maupun yang mandiri, sebagian telah menetap selama satu dasawarsa bahkan ada yang lebih. Mereka mengalami hambatan-hambatan pemenuhan kebutuhan dasar seperti akses penanganan kekerasan berbasis gender dan layanan kesehatan.
“Perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga, juga mengalami hambatan dalam melaporkan kasusnya. Ada hambatan kultural yang menabukan kasus pelecehan seksual dibicarakan, apalagi dilaporkan. Karena itu, perempuan korban tidak memiliki support system terdekat di samping ketakutan untuk bersuara. Akibatnya, korban lebih memilih menyimpan pengalaman kekerasan yang dialaminya,” ungkap Rainy Hutabarat, Komisionr Komnas Perempuan.
Rainy Hutabarat menambahkan, di sisi lain perundang-undangan terkait penanganan kekerasan berbasis gender khususnya Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) dan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) ditujukan bagi warga Indonesia dan tidak menjangkau perempuan pengungsi yang menjadi korban kekerasan berbasis gender. Dari hasil konsultasi dengan salah satu Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) di Tangerang, diketahui bahwa meskipun tidak ada kebijakan khusus terkait penanganan kasus KDRT yang dialami pengungsi, DP3AP2KB tetap berkomitmen untuk menerima pengaduan, menyediakan ruang aman bagi korban, dan mendukung pemulihan psikis.
Hambatan atas layanan kesehatan, juga dihadapi pengungsi perempuan dan pengungsi umumnya.
“Meskipun para pengungsi terdaftar mendapat dukungan asuransi kesehatan dalam jumlah tertentu melalui IOM Indonesia namun jumlah biaya berobat yang harus dikeluarkan, sering lebih besar dari nilai asuransi, untuk membayar biaya pengobatan penyakit tertentu, termasuk persalinan dan kebutuhan obat-obatan lainnya,” ungkap Komisioner Theresia Iswarini.
Lebih jauh Theresia Iswarini menyatakan bahwa untuk layanan kesehatan mental terkait pencegahan bunuh diri akibat stress masa tunggu resettlement dan persoalan lainnya, IOM menyediakan layanan daring. Untuk penyakit yang tidak terlalu serius seperti pusing dan batuk, biasanya para pengungsi akan mengambil langkah alternatif dengan mengonsumsi obat-obatan herbal seperti jahe atau lemon sebagai upaya mandiri. Perempuan pengungsi yang tinggal sendirian di Indonesia, menghadapi tantangan tambahan saat sakit karena tidak ada orang lain yang membantu misalnya dalam hal mengurus hal administratif.
Komisioner Satyawanti Mashudi menyampaikan, pengungsi mandiri yang datang ke Indonesia akibat konflik internal bersenjata dan ancaman kekerasan dan penyiksaan dari rezim yang memerintah, seperti pengungsi Rohingya di Aceh, masih mengalami pengusiran dan penelantaran bahkan sebagian dari mereka hilang tanpa diketahui rimbanya.
“Mereka terpaksa kembali ke kapalnya dan terkatung-katung di laut sementara untuk kembali ke negaranya, hidup mereka terancam. Hal ini menunjukkan bahwa para pengungi belum mendapatkan perlindungan dengan baik,” ujar Satyawanti.
Komnas Perempuan juga mengapresiasi berbagai pihak termasuk masyarakat sipil dan media massa yang memberikan perhatian terhadap isu pengungsi luar negeri ini. Kerja-kerja mereka telah membuka ruang pemantauan bahkan berbagai rekomendasi dari Komite PBB untuk mencegah kekerasan termasuk pada perempuan dan anak. Selain itu mendorong Pemerintah Indonesia agar memastikan perlindungan pengungsi, mencegah pengusiran yang pada dasarnya bertentangan dengan prisip non refoulment PBB dan pemenuhan kebutuhan hak-hak dasarnya.
Narahubung: Elsa Faturahmah (081389371400)