Siaran Pers Komnas Perempuan
Memperingati Hari Perempuan Kepala Keluarga
"Pentingnya Perlindungan Substantif bagi Perempuan Kepala Keluarga dari Kekerasan berbasis Gender"
23 Juni 2023
Komnas Perempuan berpandangan bahwa perempuan-perempuan yang menjadi kepala keluarga berhak untuk mendapatkan perlindungan yang substantif dari kekerasan dan diskriminasi berbasis gender yang dialami selama ini. Perhatian khusus untuk menghapus kekerasan berbasis gender di ruang siber dan stigma pada perempuan kepala keluarga juga dibutuhkan. Oleh karena itu, upaya pemberdayaan perempuan kepala keluarga hendaknya dibarengi dengan upaya mendekatkan mereka pada akses teknologi sekaligus memperkuat pengetahuan dan pemahaman di berbagai aspek seperti hukum, politik, dan regulasi.
Hal ini sejalan dengan tema peringatan Hari Perempuan Kepala Keluarga pada 2023 yaitu inovasi dan teknologi bagi kesetaraan gender. Pada konteks Indonesia, tema ini menjadi relevan mengingat masih banyaknya kekerasan terhadap perempuan kepala keluarga dalam teknologi utamanya di ruang siber. Hari Perempuan Kepala Keluarga sendiri dicanangkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mendeklarasikannya pada 23 Juni tahun 2011. Peringatan tersebut bertujuan untuk mengakhiri kemiskinan serta kesulitan para perempuan kepala keluarga di seluruh dunia dalam menghadapi stigma di masyarakat juga tuntutan hidup dalam menafkahi diri dan keluarganya.
Data Badan Pusat Statistik (BPS), 2022, menunjukkan sebanyak 12,72% kepala rumah tangga berjenis kelamin perempuan. Namun berbagai lembaga menyatakan bahwa jumlah kepala rumah tangga berjenis kelamin perempuan ini bisa lebih besar mengingat perempuan kepala keluarga bukan hanya pada kasus perempuan yang telah bercerai atau ditinggal wafat oleh pasangannya, tetapi juga perempuan yang secara faktual menjadi pencari nafkah utama, baik dalam perkawinan maupun dalam status lajang bagi keluarganya.
Di tingkat sosial, perempuan kepala keluarga juga mengalami berbagai stigma dan diskriminasi terutama perempuan kepala keluarga yang bercerai. Komnas Perempuan mencatat adanya 624 korban dengan status perkawinan cerai pada 2018-2022.
“Catatan Tahunan Komnas Perempuan tahun 2022, dengan bersumber pada data Badan Peradilan Agama (Badilag) menunjukkan adanya 326.534 perempuan yang menghadapi perceraian akibat kekerasan berbasis gender. Perceraian mengakibatkan perempuan mengalami perubahan status dan memungkinkan perempuan memperoleh peran baru, yaitu sebagai kepala keluarga,” ujar Theresia Iswarini, Komisioner Komnas Perempuan.
Pada konteks teknologi, Komnas Perempuan mencatat kenaikan kasus kekerasan berbasis gender di ruang siber sejak 2017 dan mengalami puncaknya di masa pandemi Covid-19. Kerentanan perempuan terhadap teknologi muncul karena kebanyakan dari mereka tidak terbiasa dengan dunia siber ditambah kerentanan sebagai perempuan kepala keluarga yang penuh stigma dan diskriminasi serta terasing dari teknologi. “Penyebaran video atau foto bernuansa seksual untuk pembalasan dendam tercatat paling banyak dilakukan oleh pasangan intim seperti suami, mantan suami, pacar, mantan pacar, hingga teman dekat”, kata Komisioner Satyawanti Mashudi.
Data selama 5 tahun Komnas Perempuan (2016-2020) mencatat 889 kasus kekerasan yang dilakukan mantan suami, baik dalam bentuk kekerasan fisik, psikis, seksual – termasuk siber – dan/atau ekonomi. Situasi ini memperlihatkan bahwa kekerasan siber yang dilakukan mantan suami merupakan bentuk KDRT berlanjut (post separation abuse). Sayangnya, perlindungan perempuan dari kekerasan berbasis gender termasuk di ruang siber masih amat minim.
“Merespons situasi ini penting bagi negara untuk betul-betul memberikan perlindungan substantif bagi perempuan kepala keluarga yang mengalami kekerasan oleh mantan suami yang kerap bertumpang tindih dengan kekerasan lainnya,” tegas Wakil Ketua Komnas Perempuan Mariana Amiruddin.
Di Indonesia, sebutan ‘Perempuan Kepala Keluarga’ lebih dikenal dengan janda, sehingga dapat juga disebut ‘Hari Janda Internasional’ yang bertujuan untuk mengatasi kemiskinan dan ketidakadilan yang dihadapi oleh jutaan janda di seluruh dunia. Terinspirasi dari seorang perempuan yang menjadi janda di usia 37 tahun dan harus membesarkan ketujuh anaknya sendirian dalam kemiskinan dan ketidakadilan.
Mariana menambahkan, selain kemiskinan, ketidakadilan yang dihadapi janda adalah stigmatisasi sosial. Banyak janda cerai mati ataupun hidup cenderung disalahkan ketika kehilangan atau ditinggal suaminya.
Di Indonesia ada kebudayaan atau kebiasaan yang menjadikan atribut janda sebagai simbol seks atau bahan pelecehan seksual, yaitu sebagai perempuan yang ‘lapar seks’, penggoda atau perebut suami orang, sehingga keberadaannya sering dianggap ancaman bagi perempuan-perempuan yang bersuami.
“Faktanya, tidak sedikit janda yang enggan menikah lagi karena kuatir menambah beban dengan keberadaan suami baru yang tidak bisa mendukung kondisinya,” imbuhnya.
Narahubung: Elsa (0813-8937-1400)